Muktamar Persis ke 15 yang diadakan di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta tahun 2015 ini kembali memunculkan perdebatan mengenai sistem pemilihan ketua Persis, apakah melalui musyarah mufakat atau atau voting.
Pencalonan Ketua Umum pada Muktamar kali ini berbeda dengan sebelumnya. Pada beberapa Muktamar yang telah berlalu kursi Ketua Umum tidak pernah tergantikan, kecuali kewafatan yang dialaminya, namun sekarang tidak demikian.
Bahkan jauh-jauh hari nama beberapa kandidat Ketua Umum telah dijagokan masing-masing “komunitas”. Namun tetap masih dalam genggaman pertanyaan, akankah Musyawarah mufakat bisa disepakati?.
Untuk menelusuri lebih jauh tentang kesiapan mengikuti sistem pemilihan Ketua Umum melalui Musyawarah Mufakat, ada beberapa pendapat diantara para peserta muktamar mengenai sitem ini.
Tiar Anwar Bachtiar (Ketua Umum PP. Pemuda Persis)
Musyawarah itu hasilnya adalah kesepakatan. Jadi, mufakat adalah hasil dari musyawarah. Musyawarah yang tidak menghasilkan kesepakatan artinya musyawarah yang tidak efektif. Hasilnya hanya “tawaqquf” bukan “mufakat”. Hanya saja mekanisme untuk sampai mufakat itu pasti beragam. Mulainya adalah pertukaran pikiran dan gagasan. Setiap pihak yang memiliki pendapat menyampaikannya agar bisa dipahami orang lain. Bila tidak disetujui bisa dibantah dengan menyampaikan argumentasi. Bila salah satu bisa menerima maka akan terjadi kesepakatan. Bila masih sulit saling menerima, bisa dengan mengambil suara terbanyak. Ini juga bagian dari mekanisme musyawarah untuk sampai pada “mufakat.”
Hj. Gyan Puspa Lestari, Lc, M.Pd (Ketua Umum PP. Pemudi Persis)
“Sebelumnya kita harus fahami dulu konsep tentang musyawarah. Jadi di Islam itu musyawarah diartikan sebagai pertukaran pendapat untuk mencari mana yang paling benar, mana yang paling tepat. Nah musyawarah mufakat itu adalah suatu cara yang disepakati yang dilandaskan bukan pada yang terbanyak tetapi yang terbaik dari yang ada”.
Ust. Aef – (Ketua PD. Persis Kota Tasikmalaya)
“Itu sangat di inginkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan supaya tidak muncul perkiraan-perkiraan, lobi-lobi untuk calon Ketua. Saya pernah ngobrol dengan Ust. Aceng Zakaria waktu Muktamar di Garut, kata beliau ada seorang Ulama hanya mendapatkan 1 (satu) suara saja, menurut saya itu bisa menjatuhkan citra ulama dengan mendaptkan 1 suara”
Ust. Halbi (Ketua PC. Persis Curug Serang)
“Saya setuju dengan Musyawarah Mufakat, supaya tidak terjadi gejolak perdebatan yang sangat lama”
Ust. Thariq (Ketua PD. Persis kota Serang)
“Saya setuju, tetapi harus ada proses pemilihan, jangan asal tunjuk untuk satu orang supaya melahirkan yang lebih baik”
Ust. M. Tamrin (Ketua PD. Alor, NTT)
“Kami ingin Musyawarah Mufakat agar menghindari debat kusir , sehingga suasana akan efektif”
Ust. Ramli Fadjar (Ketua PW. Persis Gorontalo)
“Kita kembali kepada ajaran Islam, yaitu Syuro. Jadi kami ingin melalui musyawarah mufakat. Kalaupun tidak bisa kami tidak menginginkan demokrasi ala Barat. Alternatifnya bisa menggunakan sistem formatur seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar R.a sebelum beliau wafat”
Ust. Mimran Yus (Ketua PD. Persis Kota Bima, NTB)
“Persis pada prinsipnya tetap konsisten berpedoman pada QA-QD dimana tidak ada suksesi, bagi kami tidak ada masalah kalaupun harus Musyawarah Mufakat”.