Sastra adalah cara cerdas menyampaikan opini. Demikian ungkapan dosen sastra Unpad, M.Irfan Hidayatullah. Dapat kita cermati makna 'cara cerdas' yang dimaksud. Dikatakan cara cerdas, sebab sastra mampu memilah bahasa, melakukan perumpamaan, hingga karya yang terlahir adalah karya yang bernilai artistik.
Sekalipun pesan yang hendak disampaikan adalah sesuatu yang menyakitkan, namun sastra mampu merekayasanya dengan keindahan. Menyakiti tanpa menampar. Memarahi tanpa hujatan. Mengkritisi tanpa rasis.
Belum lama ini, beredar video berisikan puisi berjudul "Ibu Indonesia". Puisi yang dibacakan oleh seseorang yang mengaku budayawati, Sukmawati Soekarnoputri.
Dalam puisinya, Sukma mengatakan "Aku tak tahu syari'at Islam," kemudian ia menyebut konde lebih indah dari cadar, suara kidung lebih merdu dari suara adzan. Hal itu sontak mengundang banyak reaksi dari kalangan masyarakat. Terutama umat Islam.
Mochtar Lubis pernah mengatakan bahwa seorang sastrawan mestinya peka terhadap gejala sosial. Bahkan karya sastra yang dilahirkan mestilah merupakan respons atas gejala sosial yang sedang terjadi.
Kehadirannya harus mampu menggugah dan mengubah masyarakat menjadi lebih baik. Sedangkan diskriminasi apa pun dasarnya, rasial, agama, kelas, etnik, sosial, politik, ekonomi, budaya, adalah ketidakadilan.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, sastra mestinya merupakan medium untuk menyampaikan pendapat dengan cara cerdas. Namun puisi Sukma tidak demikian.
Ia memaksakan diri untuk menyebut dengan gamblang simbol-simbol dalam agama Islam untuk kemudian mengomentarinya dengan tidak adil. Celakanya, simbol-simbol itu dihadirkan untuk dibandingkan dengan sesuatu yang sulit dikatakan relevan.
Pengarang harus mampu memergunakan bakat dan kepekaan artistiknya, dan kemampuannya untuk menemui kebenaran yang telah diselimuti oleh propaganda dan kebohongan. Bukan sebaliknya, hadir sebagai sosok provokator!
Sastra dan ideologi politik sulit dipisahkan. Sejarah telah mencontohkan polemik kebudayaan antara Lekra dan Lesbumi pada kurun waktu 1950-1965. Perang sastra dalam panggung politik terdengar sangat berisik pada zaman itu. Sastra menjadi alat propaganda. Kehadirannya kadang mengusik sensitivitas masyarakat, kadang menakuti penguasa.
Ya, sastra adalah alat. Untuk apa digunakan, tergantung siapa yang menggunakan. Oleh Komunis dijadikan media untuk memperolok Umat Islam, oleh Ulama dijadikan media untuk bertafakur. Maka, dimanakah posisi Sukma dalam konteks ini?
Sukma, bagaimanapun juga adalah pengarang. Ia tentu sudah memprediksi reaksi masyarakat pasca pembacaan puisinya. Apalagi ia mengklaim sebagai budayawati.Tak mungkin ia abai memikirkan akibat. Maka muncullah pertanyaan, apa motivasi di balik pembacaan puisinya itu? Pengalihan isu? Propaganda islamphobia? Social Experiment? Semua itu mungkin terjadi. Maka kita jangan hanya fokus dengan isi puisinya, namun ingat juga, bahwa karya sastra memiliki unsur ekstrinsik yang mesti dibaca!
***
Penulis: Hilman Indrawan, Koordinator Pesantren Sastra PP Pemuda Persis