Tak Kenal Maka Tak Sayang

oleh Reporter

21 Juni 2016 | 08:53

Oleh. Tatang Muttaqin UNTUK meningkatkan keterampilan dalam mengolah data, dua tahun lalu saya ikut bergabung dalam suatu kegiatan Data Analysis yang bertempat di Kota Warsawa, Polandia tepat di akhir Ramadhan. Ramdahan di negeri yang jarang sekali umat Islamnya tentu terasa lain apalagi jika dikumpul dalam suatu kegiatan dan tinggal bersama. Penduduk Polandia sebagian besar atau mencapai 96 persen beragama Katolik Roma dengan etnis tunggal Polski yang mencapai 97 persen. Di saat perang dunia kedua berkecamuk di Eropa, Polandia menjadi negara paling luluh lantah karena menjadi medan pertempuran paling sengit antara tentara NAZI Jerman dengan tentara Beruang Merah, Uni Sovyet yang merenggut sekitar 6 juta rakyat Polandia tewas. Perang akhirnya dimenangkan Uni Sovyet sehingga Polandia menjadi Republik Komunis dalam barisan Blok Timur dengan kesepakatan Pakta Warsawa yang menjadi kerja sama militer negara-negara Eropa Timur untuk menghadapi kemungkinan ancaman dari aliansi Altantik Utara (NATO). Kini Pakta Warsawa telah tumbang seiring dengan memudarnya kekuasaan Uni Sovyet lewat kesepakatan pertemuan di Praha pertengahan tahun 1991 seiring dengan runtuhnya tembok Berlin yang menyatukan kembali Jerman Timur dan Jerman Barat. Sebagaimana negeri di Eropa Timur, persentuhan warga Polandia dengan Islam sangat terbatas sehingga cukup asing dibanding dengan di Eropa Barat. Persentuhan dalam beragam kesempatan lintas-bangsa secara sekilas membuktikan pesan Ilahi dan juga peribahasa "Tak kenal, maka tak sayang". Setiba di Hotel Falenty tempat kami bekerja dan menginap, saya mendapat kamar berdua dengan peneliti lembaga Riset Polandia, sebutlah Andreanoviska. Sebagaimana lazimnya kegiatan di beragam negeri Eropa, pesta perkenalan bersama diawali dengan minum kalau di kampus ada acara pekanan "Borel" alias "minum wine atau bir bersama" karena kebetulan musim panas dan udara mendukung acara dilakukan di luar sekaligus panitia menjadikannya sebagai pesta barbeque. Kami semeja berlima, saya dan empat lainnya peneliti Polandia. Karena saya tak mengambil beragam daging bakar yang tersedia, mereka menganggap saya sebagai "vegetarian", suatu yang cukup lazim di Eropa Timur dan Eropa Barat. Namun mereka cukup terheran ketika semuanya bergantian dalam antrian memilih beragam minuman "penghangat" yang beralkohol dan dikenal berkualitas aduhai, saya berulang hanya mengambil jus jeruk. Beberapa kali mereka menawarkan beragam minuman yang katanya sangat "sensasional" dan beragam yang diproduksi baik di Eropa maupun diimpor khusus dari Amerika Latin. Tentu saya tak mencicipinya, dan cukup menyampaikan saya tidak merokok dan minuman beralkohol. Usailah pesta "ice-breaking", kami berjalan-jalan menyusuri pinggir danau yang asri dengan udara musim panas yang terasa sangat nyaman sehingga tak terasa sudah cukup malam sekalipun masih terang sehingga saya pamit duluan untuk menyiapkan diri acara besok hari yang cukup padat, bahkan relatif lebih panjang dibanding irama kerja di kampus. Singkat cerita, setelah beberapa hari melihat saya bangun dini hari sekitar jam 3.15 sebagaimana jadwal shubuh di Groningen yang nampaknya keliru karena sekalipun jamnya sama namun terbit dan terbenamnya matahari di Polandia selisih 1 jam lebih sehingga seharusnya shubuh jam 2.30, Andreanoviska bertanya: "Setiap dini hari, Anda bangun ke kamar mandi terus seperti melakukan gerakan-gerakan dan lalu tidur kembali. Apa yang kamu kerjakan tiap malam tersebut?". Saya jelaskan: saya bangun untuk sholat atau berdoa. "Memang agama kamu apa?" tanyanya berkerut. Saya jawab: agama saya Islam. Jawaban biasa ini ternyata cukup membelalakkan mata karena mungkin Andrianovista nyaris tak pernah bersentuhan dengan orang Islam. Ada raut "terkejut" dan sedikit curiga terhadap respon saya tersebut. Dialog tersebut menjadi "perpisahan" karena Andreanovista besoknya sudah mengepak kopernya dan tak kembali tidur sekamar. Dia beralasan mau tidur di rumah agar bisa sekalian ke kantor untuk menyelesaikan pencetakan laporan. Nampaknya, persentuhan Islam dengan Eropa Timur agak sedikit mirip dengan Asia Timur sebagaimana pengalaman saya beberapa tahun sebelumnya sewaktu mengikuti pelatihan di Jepang dan juga Korea Selatan. Terbatasnya interaksi saat itu karena sekarang nampaknya makin kuat interaksinya terutama terkait ekpansi pariwisata, membuat mereka tak cukup mengenal dekat dengan sosok Muslim kecuali dari berita yang secara "umum" tidak bersahabat dan sering disalahpahami. Hal ini berbeda dengan Eropa Barat, di mana banyak umat Islam yang bermigrasi atau sekolah di sana sehingga sekeras-kerasnya orang di AS, UK atau Australia masih sedikit punya pemahaman interaksi dengan Muslim sehingga tetap lebih ramah. Dan tak aneh jika mudah ditemui masjid di belahan negara tersebut sekalipun untuk di pinggiran tetap "asing". Lagi-lagi, intinya, tak kenal, maka tak sayang. Oleh karenanya, perkenalkanlah wajah Islam ke berbagai belahan dunia dan kita sejatinya "duta" agama yang kita anut. Dan jadilah duta yang baik dengan akhlak yang baik yang membuat banyak orang penuh respek alias pikabitaeun, dan jika kita menjadi "pribumi" tetaplah respek dan mengayomi pada yang beraroma berbeda atau sedikit asing termasuk keyakinan yang kita tak tahu, karena sejatinya kehidupan itu bertimbal balik alias resiprokal, jika kita penuh respek dan toleran terhadap keragaman maka akan berkembang juga toleransi dan penghormatan terhadap keyakinan kita. Maha benar Allah SWT, yang jauh-jauh menyampaikan pesan yang cukup popular di telinga kita, yaitu: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal (ta’aruf). Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling taqwa". (Al-Hujuraat: 13). Wallahu’alam. [***] Penulis adalah peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands.
Reporter: Reporter Editor: admin