Warga Palestina siap Mempertaruhkan Jiwa Demi Al-Quds

oleh Reporter

11 Desember 2017 | 07:22

Betlehem, Tepi Barat – ratusan orang Palestina berjalan menyusuri betlehem dalam sebuah protes “hari kemarahan” menentang pengakuan Donald Trump atas Al-Quds (yang hari ini zionis menyebutnya Jerusalem) sebagai ibu kota Israel, sejalan dengan terus menyebarnya kemarahan atas keputusan kontroversial itu di seluruh wilayah pendudukan Palestina.

Kekuatan militer Israel menembakkan gas air mata dan peluru karet kepada para pendemo Palestina di Betlehem pada hari Kamis, dan setidaknya tujuh pemuda terluka pada bentrokan tersebut, diantaranya adalah seorang anak kecil.

Laki-laki dan wanita dewasa juga anak-naka ikut serta dalam protes ini, salah satu dari sekian banyak protes yang dilakukan di tepi barat, jalur Gaza dan Jerusalem timur, juga di kota-kota besar di wilayah tersebut, selama sehari penuh.

Para pemimpin Palestina juga menyatakan aksi mogok masal di seluruh wilayah Palestina.
“Di aksi protes ini saya menyaksikan orang-orang yang belum pernah keluar melakukan aksi demonstrasi semacam ini sebelumnya,” ujar Rabee Alo, 32 tahun kepada Al Jazeera di Betlehem.

“Jerusalem dan Al Aqsa (masjid) sangat berarti bagi setiap orang di sini bahkan bagi anak-anak kecil sekalipun. Keputusan AS ini adalah sebuah kesalahan besar.”

Trump pada hari Rabu mengumumkan bahwa ia mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan bahwa ia akan memulai proses pemindahan kedubes AS dari Tel Aviv ke kota tersebut, sebuah keputusan yang sulit dipercaya oleh para pemimpin Palestina dan pemimpin-pemimpin dunia.

Saat ini tidak ada negara yang memiliki kedubes di Jerusalem.
Jerusalem barat dirampas oleh Israel saat terjadi perang Arab Israel pada tahun 1948, ketika lebih dari 750.000 orang Palestina diusir dari kota bersejarah itu, sebuah kejadian yang oleh bangsa Palestina disebut dengan Nakba (bencana), saat ketika secara resmi Israel didirikan.

Selanjutnya secara berturut-turut Israel menduduki dan merampas bagian timur kora tersebut setelah kemenangan militer yang diraih pada perang tahun 1967, namun penguasaannya atas bagian timur Jerusalem tidak pernah mendapatkan pengakuan dari masyarakat internasional.

Rakyat Palestina menginginkan Jerusalem timur sebagai ibukota negara masa depan mereka sementara Israel menyatakan bahwa kota itu tidak bisa dibagi.

Tatkala Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel berterima kasih kepada Trump atas keputusan yang dibuatnya minggu ini, para pemimpin Palestina menyatakan tiga “hari kemarahan” untuk memprotes manuver yang kontroversial ini.

Munther Amira, pimpinan sebuah komite koordinasi perjuangan terkenal yang berbasis di Betlehem mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Jerusalem adalah “garis merah” bagi rakyat Palestina.

“Keputusan ini bertentangan dengan hukum Internasional dan bertentangan dengan hak kami sebagai rakyat Palestina,” jelas Amira, matanya memerah akibat terkena gas air mata saat melakukan protes di Betlehem.

“Bertahun-tahun negosiasi dan proses perdamaian didasarkan pada solusi bagi dua negara, dengan tetap menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota kami,” ujar Amira seraya menambahkan bahwa keputusan yang diambil Trump akan mengantarkan munculnya kembali “intifada”, atau penentangan terhadap Trump dan Israel.

“Trump tidak hanya mengumumkan bahwa Jerusalem adalah ibu kota Israel. Ia juga telah memperlihatkan kepada kita semua bahwa AS dan Israel adalah satu entitas yang sama,” pungkas Amira. (Aljazeera/Lukman)

Reporter: Reporter Editor: admin