Akhlak Mulia sebagai Puncak Kebaikan: Tafsir Hadis al-Birr dan al-Itsm

oleh Redaksi

06 Mei 2025 | 08:04

Akhlak Mulia sebagai Puncak Kebaikan: Tafsir Hadis al-Birr dan al-Itsm

Bagusnya Akhlaq sebagai Puncak Kebaikan

Rizal Samsul Mutaqin



حَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمِ بْنِ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِىٍّ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ الأَنْصَارِىِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْبِرِّ وَالإِثْمِ فَقَالَ « الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ ».


Dari Nawas bin Sam’an al-Anshari, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tentang al-Birr (kebaikan) dan al-Itsm (dosa). Rasulullah berkata: “al-Birr (kebaikan) adalah baiknya akhlaq dan al-Itsm (dosa) adalah apa-apa yang mengganjal dalam hatimu, dan kamu benci perkara itu diketahui oleh manusia”


Takhrij Hadis


Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya di Kitab al-birr wa al-Shilah wa al-Adab pada Bab tafsir al-Birr wa al-Itsm nomor 2553. Imam al-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya, pada Abwab al-Zuhd ‘an Rasulillah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, Bab maa jaa fii al-Birr wa al-Itsm nomor 2389. Imam al-Darimi dalam Musnad-nya, di Kitab al-Riqaq, pada Bab fii al-Birr wa al-Itsm, nomor 2831. Imam Ahmad dalam Musnad al-Syamiyyin, hadits al-Nawas bin Sam’an al-Kilabi al-Anshari, nomor 17631-17633.


Syarah Mufradat


الْبِرِّ : memperluas perbuatan baik, kata yang mencakup semua kebaikan, mengerjakan amal shaleh dengan berkesinambungan. Al-birr digunakan dalam banyak makna, bisa bermakna kebaikan, perbuat baik sebagai perwujudan ihsan, jujur, ketaatan dan shihah. Secara umum bisa dikatakan maknanya adalah melakukan kebaikan dalam cakupannya yang luas.


حُسْنُ الْخُلُقِ: akhlaq yang baik seperti jujur dalam mu’amalah, lemah lembut dalam mujadalah, adil dalam berhukum, berjuang dalam ihsan (kebaikan), ta’at dalam kebaikan.


 الإِثْمِ: dosa, maksiyat kepada Allah. Al-itsm bisa diterjemahkan juga dengan lambat/telat karena orang yang berdosa lambat dari kebaikan.


حَاكَ: hati yang ragu sehingga engkau tidak suka kalau orang-orang mengetahuinya.


Syarah Ijmali


Hadis ini masyhur di kalangan santri, terlebih di kalangan para asatidz. Hadis yang menjelaskan tentang jawaban Nabi terhadap pertanyaan sahabat yang bertanya tentang dua hal berbeda dan saling bersebrangan yaitu kebaikan dan dosa. Imam al-Bassam menjelaskan bahwa al-Birr adalah ism jami’un lil khairat (nama yang mencakup berbagai kebaikan). Dalam Bahasa arab, terdapat beberapa kata yang jika diterjemahkan memiliki makna yang sama yaitu kebaikan, seperti kata al-birr, al-khair, ma’ruf, hasan, thayyib. Yang menarik dalam hadis ini karena menggunakan kata al-birr


Kata al-birr sendiri, dalam konteks penggunaannya menunjukkan arti “kebaikan yang dilakukan secara terus-menerus tanpa mengenal waktu dan tempat.” Kebaikan dalam bentuk birr itu dapat dilakukan oleh seseorang kepada sesamanya, dan dapat pula dilakukan oleh Allah terhadap makhluk-makhluk-Nya. Yang menjadi inti dalam kata “birr” itu adalah kebaikan yang secara terus-menerus dilakukan tanpa batas waktu dan tempat. Mengenai al-birr (kebaikan); Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “al-birr mencakup semua bentuk ketaatan batin, seperti iman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya; dan masuk juga ketaatan secara lahiriah, seperti mendermakan harta untuk hal yang Allah cintai, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji, bersabar menghadapi ketentuan takdir Allah seperti sakit dan kemiskinan, dan juga bersabar dalam menjalankan ketaatan. Jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam hadits an-Nawwâs di atas bisa mencakup semua kriteria tersebut. Karena bisa juga yang dimaksudkan dengan akhlak yang bagus adalah berperilaku dengan tatanan dan norma syariat, dan beretika dengan etika yang diajarkan Allâh dalam Kitab-Nya.


Kita tidak bisa membatasi akhlaq baik hanya sekedar berperilaku lembut dan meninggalkan hal-hal buruk semata. Demikian juga kita tidak bisa melihat bahwa kalau orang sudah menerapkannya, itu artinya telah memperbagus akhlaknya. Namun yang harus diperhatikan adalah akhlak yang bagus adalah bila seseorang merealisasikan akhlak dan sifat-sifat kaum Mukminin, menjalankan perilaku dan akhlak mereka, dan bisa menghadapi cobaan dan gangguan yang menyakitkan dengan baik sehingga sesuai dengan apa yang tercantum dalam al-quran dan yang dicontohkan oleh Rasulullah.


Berbuat baik kepada kedua orangtua menggunakan kata al-birr, yaitu birrul walidain. Hal demikian mengindiskasikan bahwa berbuat baik kepada kedua orangtua harus dilakukan di atas berbuat baik kepada siapapun. Seperti dijelaskan oleh Imam al-Bassam bahwa al-birr tidak memandang waktu dan tempat dan dilakukan secara terus menerus. Seorang anak harus melakukan al-birr (kebaikan) terhadap kedua orang tuanya, baik pada saat kedua orang tuanya berkemampuan maupun pada saat mereka tidak berkemampuan, baik pada saat mereka masih sehat mapupun pada saat mereka sakit, baik pada saat mereka masih hidup maupun setelah mereka meninggal dunia.


Berbeda dengan al-khair adalah kebaikan yang tidak bisa semua orang mengetahuinya bahkan menyetujuinya. Kebaikan ini tertumpu pada penjelasan dalil. Islam adalah al-khair, karena tidak semua manusia setuju dan mengerti tentang kebaikan Islam. Dan Kebaikan Islam perlu penjelasan dan ilmu. 


Adapun al-Ma’ruf adalah jenis kebaikan yang tanpa dalil-pun orang tahu bahwa itu suatu kebaikan. Bahkan semua orang menyetujuinya. Seperti berbuat baik kepada orang tua, atau memberi makan yang kelaparan. Jangankan umat Islam, luar Islampun sadar bahwa itu kebaikan. Oleh karena itu asal arti al-ma’ruf adalah (sudah) dikenal atau sudah biasa dikenal. Karenanya adat istiadat disebut al-’urf


Hadis ini menjelaskan bahwa yang disebut dengan kebaikan adalah baiknya akhlaq. Hal ini bisa difahami bahwa akhlaq merupakan ihsan dalam rukun agama, akhlaq pula menjadi buah dari iman dan islam. Dalam berinteraksi dengan sesama manusia, manusia menampilkan akhlaq. Dapat dipahami bahwa akhlaq yang dimaksud adalah akhlaq yang sesuai dengan syari’at Allah, hal demikian selaras dengan salah satu hadis yang menjelaskan bahwa akhlaq Rasul adalah al-quran (kana khuluquhul qur’an). Seseorang yang berakhlaq baik, dan akhlaqnya sesuai dengan syari’at, secara tidak langsung ia telah mengamalkan dan mempraktikan apa yang ada pada al-quran dalam kehidupannya.


Begitupun dengan kata dosa, dalam Bahasa arab terdapat beberapa kata yang memiliki makna dosa seperti al-itsm, al-dzanbu, al-‘ishyan, dan dalam hadis ini menggunakan kata al-itsm. Al-itsm biasanya digunakan untuk suatu kesalahan yang dilakukan secara sengaja dan ia mengetahui bahwa itu salah meskipun sebenarnya dia bisa menghindari perbuatan tersebut.


Sedangkan dzanbun digunakan untuk mengistilahi hasil dari perbuatan buruk atau konsekwensi dari kesalahan tersebut. dzanbun bisa diterjemahkan juga dengan ekor, karena suatu perbuatan buruk, pasti ada akibat yang akan diterima di masa depan atau ada buntutnya di kemudian hari karena perbuatan buruk tersebut.


‘ishyan biasa diterjemahkan juga dengan durhaka, berpisah dan tidak mau mengikuti induknya. Hal demikian karena seorang yang melakukan dosa tidak mau mengikuti aturan Allah, syari’at agama, dan tidak mencontoh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.


Dalam hadis ini tersirat makna, pada dasarnya tidak ada seorang manusiapun yang ingin diketahui dosanya. Secara factual menunjukan bahwa jarang ada seseorang yang dengan terang-terangan melakukan dosa, kecuali orang tersebut sudah terbiasa dengan perbuatan tersebut sehingga tidak menganggap bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah perbuatan dosa. Dalam al-quran, Allah menyebut manusia dengan kata an-nas yang bermakna sifat yang baik dan akhlaq yang mulia, menunjukan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluq yang berakhlaq mulia. Namun karena kuatnya godaan syetan menjadikan manusia keluar dari fitrahnya dan melakukan perbuatan dosa.


Begitupun dengan sifat mendasar lainnya yang dimiliki manusia adalah mudah melakukan kebaikan, sehingga salah satu kata yang digunakan dalam al-quran yang menjelaskan manusia adalah al-ins yang bermakna jinak dan mudah melakukan kebaikan. Penjelasan Rasul dalam hadis ini selaras dengan sifat yang dimiliki oleh manusia.


Setiap kebaikan dan dosa yang dilakukan tentu berimplikasi jauh ke depan, karena surga dan neraka yang telah Allah sediakan merupakan konsekwensi logis dari setiap perbuatan manusia baik berupa kebaikan maupun dosa. Al-quran dan hadis Nabi menjadi pedoman utama sehingga manusia selalu menghadirkan kebaikan dalam berbagai aspek kehidupannya, bukan hanya yang berkaitan dengan hubungannya yang bersifat vertical dengan sesame manusia tetapi juga yang bersifat horizontal hubungan dengan Allah sang Khaliq. Dengan berbagai penjelasan ini lah akhlaq yang baik menjadi puncak dari kebaikan.


Kesimpulan 


  1. Al-birr adalah kebaikan yang dilakukan secara terus menerus tanpa mengenal tempat dan waktu, juga berkaitan dengan berbagai aspek dalam kehidupan baik yang bersifat duniawi maupun bersifat ukhrawi. Sehingga ada istilah birul walidain, berbuat baik kepada kedua orang tua. 
  2. Akhlak yang mulia adalah bentuk kebaikan yang paling utama.
  3. Al-Itsm atau dosa yang dimaksud dalam hadits adalah semua dosa.
  4. Hadits ini menunjukkan dorongan untuk berakhlak baik sebagai puncak dari kebaikan. Karena kebaikan harus senantiasa dihadirkan dalam berbagai aspek kehidupan untuk menghadirkan kemaslahatan dan kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat.


Wallahu a’lam 


BACA JUGA:

UNIPI Gelar Wisuda ke-4: Wujudkan Generasi Berintegritas, Berdaya Saing, dan Berakhlakul Karimah

Reporter: Redaksi Editor: Ismail Fajar Romdhon