Ihsan dalam Ber-Medsos

oleh Redaksi

11 Februari 2025 | 07:48

Ihsan dalam Ber-Medsos

Ihsan dalam ber-Medsos


Oleh: Andri Hendrawan

Bidgar Pengembangan Media dan Digital (PMD)

Ketua LP3M STAI Persis Bandung



Gaya komunikasi manusia di planet bumi ini, hampir sepenuhnya terkuasai oleh jaringan internet hingga berdampak pada perilakunya. Tak dipungkiri bahwa penguasaan media berbasis internet pun tak dapat dihindari, termasuk manusia sebagai makhluk sosial. Jika dulu manusia ingin bersosial, maka raganya mesti bertemu satu sama lain namun di era sekarang raga itu tak terlalu diharapkan. Hal ini disebut dengan fenomena cyber connected yang menandai kehidupan modern bahkan postmodern dan tentu mempengaruhi laku hidup manusia.


J.L. Austin mengistilahkan dengan performative utteren yakni pesan juga harus dianggap sebagai suatu tindakan (kata-kata bertindak). Dalam dunia digital, kita juga bisa bertindak strategis, menyatakan emosi, dan juga bertindak moral. Misal di Group Whatsapp laku tindak bisa mengucilkan seseorang, memblok orang tertentu atau anggotanya tetiba bisa meninggalkan grup tersebut tanpa alasan atau beralasan. (F.B.Hardiman, 2021: 215) Oleh karenanya, sikap ber-ihsan selaku muslim mesti membaca perubahan zaman juga. Ihsan yang biasa kita pahami sebagai perilaku baik harus diterapkan ke berbagai aspek, termasuk dalam menggunakan media sosial.


Moralitas Tindakan-Bahasa


Moralitas merupakan sikap hati orang yang tercermin dalam tindakan lahiriah. Moralitas tampak jika seseorang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggungjawabnya, dan tentunya bukan karena ia ingin mencari untung. Sederhananya bahwa moralitas bentuk sikap dan perbuatan baik yang benar-benar tanpa pamrih. Inilah yang disebut dengan Tindakan rasional-nilai sebagai tindakan sosial yang ditentukan dengan keyakinan-keyakinan sadar pada nilai-etis, estetis, religius, atau apa pun yang dapat ditafsirkan sebagai nilai-intrinsik tanpa syarat suatu sikap tertentu yang murni dan tidak tergantung pada hasilnya. (F.B.Hardiman, 2021: 210)


Selain sikap tindak ini, bahasa yang digunakan itu sendiri mempunyai peran sangat besar dalam mengendalikan perilaku manusia. Secara psikologis, Bahasa ibarat remote control yang dapat menyetel manusia menjadi tertawa-bahagia, sedih-menyendiri, marah-angkaramurka, lunglai-takberdaya, semangat-berapi-api, dan berbagai ekspresi-emosi lainnya. Sehingga bahasa mesti bernilai santun dalam arti bermoral demi menjaga tindakan manusia. Karena tutur bahasa bisa memberikan maksud tertentu kepada yang lain, baik cara berkata dengan seseorang, memakai isyarat tertentu, atau bertutur dengan struktur bahasa yang tak lazim.


Perilaku Pesan yang Disampaikan


Jika melihat pada beberapa pesan singkat (short message) yang berseliweran di berbagai status atau beranda sosial media, seringkali kita masuk dan terjebak pada situasi status tersebut, apakah bernilai-atau tidak bagi dirinya atau lingkungannya. Filterisasi pesan yang ada pada kita sangat begitu kurang untuk mempertanyakan sohih-tidaknya. 


Sebut saja pesan-pesan yang ada di grup whatsapp, twitter, Facebook, Instagram, Tik Tok, telegram, dll., pesan menjadi lebih penting daripada pengirimnya sehingga dalam perjalanannya saling berbalas pesan, saling meresponi berbagai pesan. Di era inilah, perilaku pesan yang melakukan komunikasi dengan pesan-pesan lain, sementara orang-orang berfungsi hanya sebagai media untuk meneruskan pesan. Dan ini disebut oleh Niklas Luhmann, bukan orang-orang yang berkomunikasi melainkan “komunikasi berkomunikasi dengan komunikasi” dalam masyarakat informasi.


Guiders Berpesan dalam Alquran


Paling tidak ada beberapa panduan berpesan baik yang tersurat maupun tersirat dalam Alquran, bila kita sebagai pelaku yang menyampaikan, terutama dalam memberikan pesan-pesan ajakan kebaikan. Di antaranya menggunakan; Qaulan Baligha, Qaulan Sadida, Qaulan Layyina, Qaulan Ma’rufa, Qaulan Karima, Qaulan Maisura, dan Qaulan Tsaqila.


Pertama, Qaulan Baligha. Terdapat dalam QS. An-Nisa; 63. Diartikan sebagai perkataan yang membekas pada jiwa (Al-Asfahani dalam al-Mu’jam). Dalam menyampaikan pesan tentu harus mengungkapkan sesuatu yang penuh makna hingga memiliki kesan baik dalam hati seseorang yang mendengarkannya atau yang membaca pesannya. Bisa disampaikan dengan bahasa atau tulisan yang ringan, ringkas, jelas, dan tegas penuh dengan isi kebenaran.


Kedua, Qaulan Sadida. Terdapat dalam QS. An-Nisa; 9 dan QS. Al-Ahzab; 70. Berarti Perkataan yang benar. Kata Sadid yang dihubungkan dengan Qaul menurut Ibnu Manzur dalam Lisan al-Arab memiliki arti Yushib al-Qashda (mengenai sasaran). Materi pesan yang disampaikan penuh dengan substansi isi, baik dari segi bahasa maupun logika apalagi disampaikan dengan landasan takwa. Fazlur Rahman mendefinisikan takwa adalah aksi moral yang integral. Jika pesan disampaikan dengan berbobot moral (moral-force) dan keluar dari tuturan orang yang bermoral, maka akan tepat dan benar mengenai sasaran serta berefek jalinan komunikasi yang kondusif, efektif dan efisien. (Ahmad Mubarok, 2014: 204)


Ketiga, Qaulan Layyina. Terdapat dalam QS. Thaha; 44. Kalimat Layyin oleh Al-Asfahani dalam al-Mu’jam diartikan lembut atau halus, kebalikan dari arti kasar. Meski kata ini sebelumnya teruntuk mensifati kata benda yang mudah diraba, hanya kemudian kata ini sering disematkan dengan sifat akhlak. Kaitannya dengan penyampaian pesan, tentu Qaulan Layyinan memiliki rangkaian kalimat yang santun, lembut, dan beradab sehingga orang yang membacanya pun menjadi terbawa suasana yang adem, nyaman, dan penuh dengan kekhidmatan.


Keempat, Qaulan Ma’rufa. Kalimat ini terdapat dalam beberapa ayat dan surat, antara lain; QS. Al-Baqarah: 235 dan 263, QS. An-Nisa; 5 dan 8, QS. Al-Ahzab: 32. Mempunyai arti yang sama yakni Perkataan yang baik, meski kalimat tersebut termaktub dalam beberapa situasi dan kondisi yang diterangkan dalam Alquran. Fahruddin Al-Razi dalam At-Tafsir al-Kabir-nya memberikan penjelasan pada halaman 152, bahwa meski dalam beberapa konteks, qaulan ma’rufa (perkataan yang baik), yang menancap ke dalam jiwa sehingga yang diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (safih; perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu; perkataan yang tidak menyenangkan/menyakitkan). Sedangkan Bawazier menjelaskan bahwa qaulan ma’rufa merupakan perkataan yang baik dan pantas. Baik artinya sesuai norma dan nilai yang ada di masyarakat. Pantas maksudnya sesuai dengan latar belakang dan status orang yang diajak bicara. 


Kelima, Qaulan Karima. Terdapat dalam QS. Al-Isra: 23. Kata karima berarti penuh kebajikan (katsir al-khair) jika dihubungkan dengan qaulan berarti mempunyai arti sahlan wa layyinan (yang mudah dan lembut). Dalam ayat tersebut memang sedang membicarakan sekaligus mengajarkan kita untuk beretika dalam pergaulan kepada meraka yang sudah lanjut usia termasuk pada orang tua. Sehingga dalam pengungkapan pesan mesti menggunakan kalimat penuh kemuliaan, kebaikan, keindahan, kesantunan, dan keutamaan. Hingga terkesan oleh yang mendengar dan membacanya merasa dihormati dan muliakan.


Keenam, Qaulan Maisura. Terdapat dalam QS. Al-Isra: 28. Artinya perkataan yang ringan. Maisura terambil dari akar kata yasr; mudah, lawan kata dari qaulan ma’sura; perkataan yang sulit. Dalam menyampaikan pesan pada khalayak tentu yang mudah diterima, dapat dimengerti, yang ringan, yang sesuai dengan bahasa kaumnya, sederhana, tidak berliku-liku dan tidak bersayap, bahkan disampaikan dengan penuh empati. 


Yang paling terakhir adalah Qaulan Tsaqila. Terdapat dalam QS. Al-Muzammil: 5. Kalimat Tsaqil Artinya berat. Dalam tafsir Jalalain, Al-Mahalli menyebutkan bahwa Qaulan disana adalah Alquran dan Tsaqil adalah berat. Yang mempunyai maksud sebagai suatu perkataan yang agung atau perkasa karena pesan yang terkandung di dalamnya (Alquran). Al-Razi pun bersepakat dengan tafsiran demikian, karena memiliki penyampaian pesan yang berbobot dan penuh makna, nilai yang mendalam, sehingga yang membacanya merasa terbawa pada perenungan yang menusuk dalam kalbu, tersuasana dalam batin, dan terpikirkan dalam akal. 


Penutup; Realitas Baru Kodrat Manusia


Bahwa dimungkinkan dengan maraknya berbagai aplikasi pesan berbasis teknologi dan informasi telah memasuki zaman yang mempermudah dan memperlancar pertukaran informasi, namun demikian posisi kita baik sebagai pemberi maupun penerima pesan bila tanpa diimbangi dengan kesadaran moral untuk membangun dan mengubah dunia ke arah lebih baik menjadi keniscayaan bagi setiap insan, terlebih insan yang “ber-ihsani” dalam menghadapi arus zaman ini dengan ditandai realitas baru kodrat manusia untuk bercengkrama, berdialog, dan bersilaturahim melalui perangkat pesan yang memungkinkan tidak bertatap muka langsung, dan ini mesti disikapi dan direspon oleh segenap kaum muslim, terutama dalam menyebarkan dan mensyiarkan pesan seruan dakwah secara luas. 

BACA JUGA:

Khutbah Jumat: Agar Rumah Tangga Diberkahi Allah

Reporter: Redaksi Editor: Ismail Fajar Romdhon