Sejarah Saba: Kemakmuran, Kejayaan, dan Kehancuran Menurut Al-Qur'an

oleh Redaksi

22 Januari 2025 | 09:06

Sejarah Saba: Kemakmuran, Kejayaan, dan Kehancuran Menurut Al-Qur'an

2. Kehancuran pertama


Firman Allah, Saba 19,


فَقَالُوا رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا وَظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ فَجَعَلْنَاهُمْ أَحَادِيثَ وَمَزَّقْنَاهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ.


Maka mereka berkata: Ya Rabb kami jauhkanlah jarak perjalanan kami, dan mereka menganiaya diri mereka sendiri; maka Kami jadikan mereka buah mulut dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur”. (QS. Saba [34]:19)


Karena kehendak dan perbuatan tangan-tangan mereka, kampung-kampung mereka menjadi pecah setelah persatuan dan jalinan kehidupan mereka sangat kuat (al-Jauzi, 6:449) Saba terpecah menjadi beberapa golongan, yang antara lain, Ghasân, al-Anshâr, Khazâ’ah, al-Azdu (al-Suyuthi, 6:694) Antara satu golongan dengan golongan yang lain, saling menjelekkan, merendahkan dan meng’aibkan, bahkan saling bunuh-membunuh, tidak ada rasa aman dan ketentraman (Ramli, 808). Mereka tidak tenang, tidak senang tinggal di Saba, akhirnya mereka meninggalkan tanah airnya, pindah ke negeri tetangga karena tidak aman. Gashân pergi dan tinggal di Syam, Anshâr tinggal di Yatsrib (Madinah), yang disebut ‘Aush dan Khajraj, dan al-Azdu, tinggal di Amman (al-Thabari, 12:86). Kesatuan dan persatuan Saba yang kuat menjadi hancur lebur, akhirnya menjadi buah bibir manusia pada zaman selanjutnya (Faja’alnâhum ahâdits). Sehingga ada satu pepatah (mitsal) pada bangsa Arab, Jika suatu kaum menjadi hancur, dan kacau setelah aman, mereka berkata, Tafarraqû aidî Saba (hancur sehancur-hancurnya) (al-Maraghi, 8:74)


3. Kehancuran ke dua


Firman Allah, Saba 16,


فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُم بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَى أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِّن سِدْرٍ قَلِيلٍ.


Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. (QS. Saba [34]:16)


Menurut al-Maraghi (8:74), setelah kampung tidak aman, pecah menjadi beberapa golongan, Allah mendatangkan banjir bendungan ‘Arîm (Sailu al-Arim). Kata al-Arîm menurut al-Jauzi (6:445) menunjukkan; 1) makna al-Syadîd (sangat). 2) Nama danau. 3) Makna al-Sakar wa al-Musannah (bendungan) dan 4) Makna al-Zaradzu (tikus mondok), bentuknya besar dan pendek. Hal ini karena Allah mendatangkan tikus mondok ke tanggul itu lalu melubanginya, kemudian terjadilah banjir. Adapun sebab-sebab terjadinya banjir ‘Arîm, ada beberapa keterangan antara lain, Ibnu Jarir menjelaskan, karena tikus yang melubangi Bendungan ‘Arîm,


أَخْرَجَ ابْنُ الْجَرِيْرِ... إِنَّمَا يُخْرِبُ سَدَّهُمْ ذَلِكَ فَأرَةٌ, فَلَمْ يَتْرُكُوْا فَرْجَةً بَيْنَ حَجَرَيْنِ إِلاَّ رَبِطُوْا عِنْدَهَا هِرَّةً, فَلَمَّا جَاءَ زَمَانُهُ وَمَا أَرَادَ اللهُ بِهِمْ مِنَ التَّفْرِيْقِ, أَقْبَلَتْ فِيْمَا يَذْكُرُوْنَ فَأْرَةٌ حَمْرَاءُ إِلَى الْهِرَةِ مِنْ تِلْكَ الْهِرَرِ, فَسَاوَرَتَهَا حَتَّى اسْتَأْخَرَتْ عَنْهَا الْهِرَّةُ, فَدَخَلَتْ فِي الْفَرْجَةِ الَّتِي كَانَتْ عِنْدَهَا, فَتَغَلْغَلَتْ بِالسَّدِّ فَحَفَّرَتْ فِيْهِ حَتَّى رَقَّقَتْهُ لِليَسْلِ وَهُمْ لاَيَدْرُوْنَ.


“Ibnu Jarir mengeluarkan (hadits)… Sesungguhnya yang merobohkan tanggul mereka itu tikus, mereka tidak meninggalkan lubang diantara dua batu kecuali mereka ikat padanya seekor kucing. Ketika datang waktunya dan apa yang Allah kehendaki pada mereka kehancuran datang padanya tikus merah pada kucing-kucing itu lalu mengusirnya sehingga kucing-kucing itu pergi lalu tikus merah masuk pada lubang yang ada di sana dan melubangi tanggul, menggalinya sehingga banjir menjadi mudah sementara mereka tidak tahu” (Al-Suyuthi, 6:690)


Dan menurut Ibnu Abbas, karena binatang yang membuat lubang padanya,


رَوَاهُ الْعَوْفَي عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ اللهَ تَعَالَى بَعَثَ عَلَى سَكَرِهِمْ دَأَبَّةً مِنَ الأَرْضِ فَنَقَبَتْ فِيْهِ نَقْبًا, فَسَالَ ذَلِكَ الْمَاءُ إِلَى الْمَوْضِعِ غَيْرِ الْمَوْضِعِ الَّذِي كَانُوْا يَنْتَفِعُوْنَ بِهِ.


“Al-Aufâ meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Sesungguhnya Allah mendatangkan kepada tanggul mereka binatang dari tanah lalu membuat lubang padanya lalu ait itu meluap (mengalir) ke tempat selain tempat yang mereka manfaatkannya” (Al-Jauzi, 6:444)


Dan menurut pendapat yang lain, seperti yang dijelaskan al-Thabari (12:80) karena banjir yang meluap,


أَنَّ السَّيْلَ لَمَّا وَجَدَ عَمَلاً فِي السَّدِّ عَمِلَ فِيْهِ, ثُمَّ فَاضَ الْمَاءُ عَلَى جَنَّاتِهِمْ فَغَرِّقَهَا وَخَرَّبَ أَرْضَهُمْ وَدِيَارَهُمْ.


“Sesungguhnya banjir ketika berada di tanggul, bergerak padanya air meluap kepinggiran mereka, menenggelamkan dan menghancurkan tanah serta rumah mereka”.


Setelah tanah dan kebun mereka menjadi hancur, Allah mengganti kebun yang subur buah-buahannya dengan kebun yang tanamannya, al-Khamthu, al-Atsal dan al-Sidru. Menurut al-Jauzi (6:446) al-Khamthu itu adalah, a) Pohon Arok (al-Arâk) yang daunnya dipakai syiwak. b) Pepohonan yang berduri. c) pohon yang buahnya pahit tidak bisa dimakan. Sedangkan al-Atsal itu adalah sejenis pohon cemara atau pohon yang menyerupai cemara. Sementara al-Sidru adalah pohon bidara (Sajarah al-Nabqi). Setelah kekacauan antar daerah dan kehancuran tanah tinggal mereka, mereka pecah, berpencar dan berpindah ke negeri tetangga (al-Jauzi, 6:449) Para pakar berbeda pendapat tentang hancurnya Bendungan ‘Arîm (Ma’rib), menurut al-Ashfahani bendungan itu hancur 400 tahun sebelum Islam. Dan Yaqut berpendapat, hancurnya itu, pada sekitar abad ke-6 Masehi. Sementara Ibnu Khaldun berpendapat, kahancurannya itu pada abad ke-5 Masehi. Untuk membuktikan kebenaran kisah itu, Ilmuwan Perancis telah mengadakan penelitian ke Ma’rib pada tahun 1843 dan 1874 M, serta telah membuktikan kebenaran apa yang dijelaskan Alquran. (al-Maraghi, 8:72)





DAFTAR PUSTAKA




 Ahmad Mushtafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid VIII, Dâr al-Fikr, 1971.

 Ibnu al-Jauzi, Zâd al-Masir fi Ilmi Tafsir, VI, Maktabah Islamiyah, 597 H.

 Ahmad al-Shawi, Hatsiyah al-Shawi ala Tafsir Jalalain, III, Dâr Fikr, 1993.

 Ibnu Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan ‘an Tawil Ayi al-Quran, XII, Dâr Fikr 1988.

 Jalaluddin al-Suyuthi, al-Dur al-Mantsur, VI, Dâr Fikr, 1993 M.

 Muhammad Mahmud Hijazi, al-Tafsir al-Wadhih, III, Dâr al-Jamil, 1993.

 Mushtafa ‘Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi, Dâr al-Ma’arif, 1916.


BACA JUGA:

Kaum Tsamud Arsitek Yang Pasik Dalam Al-Quran (Bagian Dua)

Reporter: Redaksi Editor: Ismail Fajar Romdhon