Ayah Bunda, Stop Take Over : Ketika Anak Punya Masalah

oleh Andri Ridwan Fauzi

21 Oktober 2025 | 10:55

Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Persis (IPP), Ferdiansyah

Ayah Bunda, Stop Take Over : Ketika Anak Punya Masalah

“Refleksi terhadap kasus kepala sekolah menampar murid yang Ketahuan merokok di sekolah”


Dalam beberapa hari kebelakang, publik dihebohkan dengan kasus penamparan kepala sekolah terhadap siswa yang ketahuan merokok,kemudianorang tua murid tersebut melaporkan sang kepala sekolah ke polisi. Walaupun kasus ini berujung dengan damai dan penonaktifan kepala sekolah juga di cabut. Namun, kasus ini menimbukan perdebatan antara batas disiplin dan kekerasan, antara Pendidikan moral dan perlindungan anak. Di sisi lain, yang perlu dicermati lebih dalam Adalah pergeseran pola pikir Sebagian orang tua terkadang terlalu cepat mengambil alih peran Lembaga Pendidikan dan melindungi anak secara berlebihan, pun bahkan ketika anak jelas melakukan kesalahan.

Fenomena ini menggambarkan bentuk lain dari take over parenting, yaitu Ketika orang tua bukan mengambil alih masalah dirumah, tetapi juga mengintervensi proses pendidikan di sekolah secara emosional tanpa memahami konteks pembinaan. Padahal keberhasilan dari sebuah proses pendidikan Adalah adanya sinergitas antara guru disekolah, orang tua di rumah, dan masyarakat

 

Ayah-bunda, sering kali memiliki naluri untuk melindungi anak dari rasa sakit, kegagalan, dan kesulitan. Namun, Ketika naluri tersebut berubah menjadi kebiasaan take over; yakni, mengambil alih seluruh tanggung jawab dan penyelesaian masalah anak, maka secara tidak sadar ayah-bunda sedang “merampas” kesempatan anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang matang, resilien, dan bertanggung jawab.


1.Pentingnya kesadaran proses dan Kemandirian Anak

Dalam Sudut pandang psikologi perkembangan, setiap individu membutuhkan ruang untuk mengalami,gagal, dan belajar dari kesalahan.Menurut Erikson (1968) dalam teorinya Psychosocial Development, menjelaskan bahwa pada tahap remaja, tugas utama seseorang Adalah membangun identitas diri dan kemandirian (Identity vs Role confusion). Jika orang tua selalu turun tangan dalam setiap masalah, anak tidak akan pernah belajar mengambil keputusan sendiri, menanggung konsekuensinya, ataupun membangun self efficacy- keyakinan bahwa ia mampu menyelesaikan masalah hidupnya sendiri.

Albert Bandura (1997) melalui konsep self-eficacy menegaskan bahwa rasa percaya diri anak terhadap kemampuan mengatasi masalah tumbuh dari pengalaman nyata menghadapi kesalahan dan konsekuensi. Ketika orang tua melaporkan guru karena menegur anaknya yang salah, pesan psikologis yang sampai ke anak Adalah :”kamu tidak perlu bertanggung jawab;tenang ada orang tuamu akan membelamu”.

Pesan seperti ini dapat melemahkan moral reasoning dan mendorong pembentukan karakter defensive – anak tidak belajar intropeksi, tetapi mencari jalan pembenaran. Fenomena take over parenting melahirkan anak yang lemah daya juang (low resilience) dan mudah cemas saat menghadapi tekanan.mereka terbiasa diselamatkan, bukan berjuang. Dalam jangka Panjang, hal ini bisa menimbukan dependence syndrome- ketergantungan emosional dan perilaku figure orang tua,bahkan hingga kelak anak dewasa.

Psikologi positif menekankan pentingnya dukungan tanpa mengambil alih.artinya,orang tua perlu berperan sebagai fasilitator, bukan penyelamat, misalnya, alih-alih menyelesaikan konflik sosial anak di sekolah, orang tua bisa bertanya, “menurut kamu, apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki ini? Pertanyaan seperti itu melatih daya empati,tanggung jawab, dan kemampuan berpikir kritis pada anak.


2.Amanah dan Pendidikan Anak dalam islam

Anak Adalah Amanah yang harus dijaga dan di didik bukan untuk didominasi atau dikontrol sepenuhnya, Allah Swt berfirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا

“Wahai Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (AT-Tahrim :6).

Ayat ini mengandung pesan bahwa tanggung jawab orang tua Pendidikan bukan hanya mencakup perlindungan fisik anak, tetapi juga pembinaan moral dan spiritual agar anak mampu menjaga diri dari kesalahan dan keburukan sehingga dapat menghadapi masalah hidupnya.

Pendidikan dalam islam mencakup, pada tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), ta’dib (Pendidikan adab), dan tarbiyyah (proses bertumbuh secara utuh). Dalam kisah Luqman al-hakim, Allah mengabadikan metode Pendidikan yang tidak take over, tetapi membimbing:


يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ


“Wahai anakku, tegakkanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpamu.”” (Luqman:17).

Luqman hadir sebagai seorang ayah tidak menggantikan anaknya dalam beramal atau menghadapi masalah, tetapi menasihati agar anak memiliki daya juang, sabar, dan tanggung jawab terhadap amalnya.

Fenomena take over parenting atau kebiasaan orang tua mengambil alih masalah anak menjadi tantangan serius dalam Pendidikan keluarga saat ini. Dari aspek psikologis,pola asuh tersebut dapat menghambat kemandirian, resiliensi, dan self efficacy (Kepercayaan diri) anak.sementara dari perspektif syariat islam, pola asuh tersebut dapat mengaburkan makna Amanah Pendidikan yang seharusnya membentuk anak menjadi insan yang bertanggungjawab,beriman dan berakhlaq mulia.

Dalam kasus guru menampar murid yang merokok, tentu guru harus menjaga koridor dan bertindak dalam batas etika professional, bukan didorong oleh luapan emosi sesaat, kekerasan fisik bukan Solusi.Namun pelaporan orang tua ke pihak hukum tanpa dialog Adalah bentuk kehilangan adab dalam menyelesaikan urusan Pendidikan. Idealnya, orang tua,dan pihak sekolah duduk Bersama mencari akar masalah ; mengapa anak merokok, dan bimbingan seperti apa yang harus diberikan.

Kasus guru dituntut karena menegur muridnya menjadi cermin akan rapuhnya sinergitas Pendidikan antara rumah dan sekolah. Maka, ayah bunda yang bijak hendaklah berhenti mengambil alih setiap masalah anak,terutama yang menyangkut prosess pembinaan di sekolah. Pendidikan sejati bukan tentang melindungi diri dari kesalahan , tetapi mendidik agar anak belajar dari kesalahan dengan iman, akal dan adab.  Wallahu a’lam




Sumber Bacaan :


1. Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and Crisis. New York: W. W. Norton & Company.

2. Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: The Exercise of Control. New York: W. H. Freeman.

3. Segrin, C., Woszidlo, A., Givertz, M., & Montgomery, N. (2013). Parent and Child Traits Associated with Overparenting. Journal of Child and Family Studies, 22(4), 475–485.

4. Al-Qur’an al-Karim: QS. At-Tahrim: 6; QS. Luqman: 17;

5. Al-Attas, S. M. N. (1980). The Concept of Education in Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.



BACA JUGA:

Boleh Jadi, Ibulah Penyebab Hilangnya Peran Ayah dalam Keluarga