Boleh Jadi, Ibulah Penyebab Hilangnya Peran Ayah dalam Keluarga

oleh Redaksi

19 April 2025 | 14:05

Boleh Jadi, Ibulah Penyebab Hilangnya Peran Ayah dalam Keluarga

Oleh: Farah Fatihah

Ketua PP. Pemudi PERSIS


Beberapa tahun kebelakang istilah ”negeri tanpa ayah” menjadi ramai dibicarakan, bahkan sampai saat ini istilah tersebut masih digaungkan karena belum juga terselesaikan. Negeri tanpa ayah adalah istilah yang digunakan bukan untuk menggambarkan bahwa di sebuah negara tidak terdapat seorang ayah, namun sebuah penggambaran kondisi bahwa di tempat tersebut peran seorang ayah tidak berfungsi. 


Ketidak beradaan ayah di rumah sering dijadikan pembenaran karena ia memiliki peran penting, yakni mencari nafkah. Disfungsi peran ayah di rumah terjadi karena efek sedikitnya waktu yang ayah punya di rumah untuk keluarga. Jika peran ayah hanya mencari nafkah di luar rumah hingga mengesampingkan perannya di keluarga, lantas siapakah yang melengkapi peran ayah untuk anak-anaknya? Belum lagi kebanyakan orang di Indonesia akan memandang aneh, tidak berwibawa atau bahkan hina, pada seorang ayah yang mengerjakan pekerjaan seorang ibu. Stereotipe tersebut boleh jadi imbas dari anggapan bahwa peran ayah adalah (hanya) mencari nafkah.


Dalam bahasan psikologis, ayah memiliki peran dalam kematangan emosi seorang anak. Ayah berperan menumbuhkan kemandirian kepada anak, menumbuhkan rasa percaya diri pada anak dan memberi contoh dalam menampilkan stabilitas emosi pada anak. Peran tersebut tidak hanya berguna untuk anak laki-lakinya saja, tapi juga sangat berguna untuk anak-anak perempuanya. Sudah banyak hasil survey menyebutkan bahwa ketidak terlibatan ayah dalam proses menumbuhkan dan mematangkan emosi seseorang akan berdampak pada anak-anak yang krisis kepercayaan dirinya, tumbuh jadi anak-anak yang manja, bahkan Ibu Eli Risman pernah mengungkapkan dalam kajian parentingnya bahwa anak perempuan yang menjadi korban pelecehan salah satu akibatnya karena peran ayah tidak berfungsi di dalam keluarganya. Nauzubillah. Jika peran ayah hilang dalam keluarga, bagaimana keluarga muslim dapat terhindar dari api neraka?


Mencari nafkah adalah kewajiban seorang ayah atau kepala keluarga, bukan satu-satunya tugas bahkan kewajiban yang Allah Swt. bebankan pada pundak sang ayah. Peran ayah yang lainnya adalah mendidik anak-anaknya, dan peran ini menurut hemat penulis tidak bisa diwakilkan. Memang seberapa penting peran ayah dalam pendidikan di rumah? Bukankah sang ibu adalah madrasatul ulanya? Untuk apa ayah berlelah-lelah kembali setelah mencari nafkah di luar rumah kalau saja ketika pulang masih harus mendidik anak-anaknya? Jika peran ayah hanya mencari nafkah, quran surah Lukman sepertinya tidak akan Allah abadikan dalam Al-Quran, refleksi hebatnya Ibrahim pada Ismail mungkin tidak akan terabadikan di dalam Al-Quran, begitupun kisah-kisah keluarga Imran yang ada di dalam Al-Quran sepertinya tidak akan pernah tersemat. Dalam buku yang berjudul, Menjadi Ayah Pendidik Peradaban penulisnya menyebutkan bahwa ada 17 ayat dalam Al-Quran yang berisi tentang pendidikan anak, 14 di antaranya dilakoni oleh para ayah, dan hanya 3 yang dilakoni oleh ibunya atau oleh keduanya. Allah Swt. berfirman dalam surat An-Nisa ayat 34:


الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ


Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab) atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya.


Ayat di atas memberi penjelasan bahwa laki-laki itu adalah pengurus wanita, yakni pemimpinnya, kepalanya, yang menguasai dan yang mendidik wanita ketika ia menyimpang. Dalam bahasan kali ini peran laki-laki adalah ayah –sebagai seorang Pemimpin, ia dilahirkan dengan keutamaan dari Allah untuk membangun dan memimpin keluarga, ia wajib mengarahkan seluruh anggota keluarganya untuk berbuat baik. Seorang ayah harus menyayangi istri dan anak-anaknya dengan sepenuh hati, serta berlaku adil terhadap mereka. Ayah juga memiliki kewajiban untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi manusia yang saleh dan menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. Selain menjadi pemimpin dan memberi pendidikan, ayah pun harus menjadi penegak visi keluarga muslim. 


Mulai dari abad ke-20, peran orang tua dalam mendidik anak lambat laun semakin terkikis, hal ini disebabkan karena para orang tua disibukan dalam aktifitas mereka di era industri. Mulai dari masa tersebut para ibu (pun) yang semula beraktifitas hanya sebagai ibu rumah tangga, bertambah status atau bahkan mengganti status mereka menjadi seorang pekerja. Lamanya mereka beraktifitas di luar rumah lambat-laun menjadi salah satu penyebab fitrahnya sebagai perempuan terkikis. Perempuan pekerja tersebut mulai merasa bahwa kedudukan ia di masyarakat dengan kaum lelaki adalah sama: sama-sama bisa mencari uang dan sama-sama bisa berkiprah di luar rumah. Salah satu imbas dari pemahaman tersebut adalah turunnya rasa taat pada pemimpin karena ia merasa dirinya pun bisa menjadi pemimpin. Keadaan seperti ini pula yang memicu perempuan tidak merasa membutuhkan lagi kaum lelaki dalam kesehariannya, apalagi jika timbul rasa kekecewaan pada suami ia akan semakin hilang hormat pada suami karena urusan nafkah sudah bisa dia penuhi sendiri.


Gerakan feminisme dan emansipasi wanita seolah menjadi pembenaran publik bahwa wanita tak pantas menjadi seorang pengikut. Bagi mereka kedudukan wanita bisa sejajar bahkan lebih tinggi daripada laki-laki. Mungkin dalam dunia perkantoran masih agak wajar, tapi jika hasrat gerakan feminisme atau emansipasi wanita ada dalam keluarga, apalagi keluarga muslim, mohon segera diperiksa kembali apakah benar konsep emansipasi (khususnya) cocok berada dalam sebuah keluarga muslim. 


Menjadi pengikut atau makmum tidak kalah keren dari menjadi pemimpin/imam. Dalam keluarga, suami adalah imam, sedangkan istri adalah makmum. Perempuan dalam konsep fitrah Islam akan senantiasa terpimpin dan terlindungi seumur hidupnya. Islam memberi wali untuk perempuan selama hidupnya. Sebelum menikah, walinya ada pada ayahnya, jika ayahnya tidak ada maka paman dari ayahnya, jika tidak ada maka saudara laki-lakinya. Sesudah menikah, maka walinya adalah suaminya, jika suaminya tidak ada maka anak laki-lakinya, jika tidak ada maka negaralah yang menjadi walinya. Wanita akan selalu terpimpin, terlindungi dan akan selalu ada pelindungan. Melihat pesan ini, maka wanita adalah sebagai sebaik-baik maula (pengikut), artinya akan ada yang ia ikuti. Dalam konsep maula, akan ada konsep walayah. Dalam konsep walayah, akan terjadi interaksi antara wali (pemimpin) dan maula (yang dipimpin). Wali melindungi maula, maula mendukung wali. Jangan merasa terhina dengan peran pendukung atau peran sebagai supporter. Karena menjadi follower pun butuh seni dan keahlian. 


Walayah adalah hubungan timbal balik antara pelindung dan pendukung, semakin buruk dukungan yang diberikan oleh seorang wanita, semakin buruk pula perlindungan yang wanita dapatkan. Jangan mengharapkan perlindungan, jika kita tidak memberi dukungan. 


Hidup ini pada esensinya adalah berbuat taat. Islam memiliki arti berserah diri, yakni taat pada aturan Allah. Kekuatan seorang wanita ada pada telinganya, begitu juga pada kelemahannya. Telinga akan tersambung dengan hati: sami’na waato’na. Pasangan mendengar (sami’na) adalah taat (wa ato’na) –kami mendengar dan kami taat. Untuk melatih ketaatan seseorang latihlah pendengarannya, karena telinga menumbuhkan kekuatan dari taat begitu juga rasa percaya yang kita miliki akan menghasilkan taat. Dalam ketaatan, perlu mengasah seni sebagai pengikut.


Dalam taat kita perlu menyetujui pendapat orang lain, lalu menyempurnakannya dengan pendapat kita sendiri. Ini adalah proses interaksi dalam walayah, maula berperan sebagai seorang konsultan yang menggunakan pertanyaan untuk membantu wali menggunakan kemampuan “periksanya” dalam mengambil sebuah keputusan.


Taat itu lawannya maksiat, maksiat artinya membangkang. Taat adalah kemampuan kita untuk melaksanakan perintah. Rasa taat selalu didahului dengan mendengar: dengar, simak dan cerna. Tidak ada kata taat dalam bermaksiat kepada Allah, maka taat itu adalah berkata, “ya”, dan seninya ada pada bertanya –bukan menjawab. Lakukanlah taat: suka maupun terpaksa.


Ketika fitrah taatnya terkikis, seorang wanita atau istri akan melupakan peran pemimpin yang ada pada suami, dan peran ibu menjadi mendominasi sampai menjadi manusia terdepan untuk menentukan keputusan tertinggi dalam keluarganya, dan kondisi tersebutlah yang menjadikan peran ayah dalam keluarga hilang, sang ayah kehilangan wibawanya sebagai seorang pemimpin. Namun tak bisa dipungkiri juga, karena boleh jadi pola asuh pun berpengaruh pada situasi tersebut. Misalnya, sang ayah di masa kecil tidak mendapat pendidikan dari orang tuanya –terutama ayahnya hingga ia sulit menentukan sikap, tidak tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang memiliki rasa pecaya diri, dan tidak pernah diberi kesempatan untuk memilih sehingga ia sulit membuat keputusan dikemudan hari. Jika anak laki-laki tidak ditumbuhkan jiwa kepemimpinannya sejak dini, maka ia akan sulit memimpin di kemudian hari. 


Selain terkikisnya fitrah taat pada perempuan, hilangnya peran ayah dalam keluarga bisa disebabkan oleh keterlibatan ibu dalam membersamai anak-anaknya. Sibuknya ayah di luar rumah tidak bisa sepenuhnya menjadi alasan peran ayah tidak berfungsi di dalam keluarga, karena dalam hal ini ibu pun berperan dalam mewujudkan keluarga yang harmonis, keluarga yang bisa menjalankan peran dan fungsinya di dalam rumah. Berikut adalah situasi yang bisanya tidak disadari oleh seorang ibu, dan dapat berpengaruh pada hilangnya peran bahkan keberadaan ayah. 


  1.  Ibu menghilangkan fungsi kepemimpinan sang ayah dalam keluarga dengan alasan sang ayah terlalu sibuk di luar rumah, hingga sang anak tidak memiliki memori sosok pemimpin dari seorang ayah. Sebagai contoh, ketika hendak mengabulkan permintaan anak, kenapa tidak seorang ibu menunggu keputusan dari ayah dan memperdengarkan keputusa tersebut kepada anaknya yang hari ini bisa ditempuh dengan komunikasi di dunia maya? Kenapa tidak (juga) ketika ibu ingin melakukan sesuatu, lalu kemudian ingin meminta pendapat dari ayah, sang ibu dan ayah memperlihatkan interaksi tersebut di hadapan anak-anaknya?
  2. Sedikitnya waktu ayah di rumah sering dijadikan alat ancaman bagi seorang ibu ketika anaknya hendak atau sedang membuat sebuah “pelanggaran”, sang anak ditakut-takuti dengan sosok ayahnya, hingga dalam potret sang anak ‘ayah adalah sosok yang menakutkan’ dan akhirnya anak tidak mendapatkan potret kebaikan dan kehangatan tentang ayahnya. Misalya, ketika anak hendak bermain keluar rumah di luar jam kesepakatan, ibunya memperingatkan sang anak dengan ucapan “kalau adik tidak menurut, ibu akan laporkan pada ayah, ya!” atau “Kalau kamu seperti itu, ayah akan marah padamu!” yang pada kenyataannya tidak ada yang menjamin sang ayah akan marah pada perbuatan anak tersebut. Situasi tersebut sudah terjadi sejak jauh-jauh hari dan berimbas pada ketidak dekatan antara ayah dan anak, padahal kedekatan seorang ayah dan anak sedini mungkin harus dibangun dan harus dijaga sampai dewasa. 
  3. Hilangnya wibawa sang ayah karena ibu curhat pada sang anak. Misalnya, ibu curhat pada sang anak tentang kekesalannya pada sang ayah. Sang ibu curhat kepada anak tentang ketidak setujuan keputusan ayah. Sang ibu ngedumel tentang perilaku ayahnya di hadapan anak, atau ibu menyindir perilaku negatif sang ayah di hadapan anak, atau mungkin sang ibu menjelek-jelekan sang ayah pada anaknya.
  4. Anak tidak mengetahui bagaimana sosok ayahnya, karena ibu belum pernah menceritakan bagaimana hebatnya sang ayah dalam memperjuangkan kehidupan dunia dan akhirat keluarganya. Sang ibu pun belum pernah menceritakan bagaimana sifat dan sikap positif ayahnya pada sang anak karena ibu tidak pernah menceritakan sebuah kisah inspirasi atau motivasi dengan pemeran utamanya adalah sang ayahnya.

Melalui tulisan ini, mari kita bersama-sama memberantas isu negeri tanpa ayah tersebut dengan lebih menguatkan kembali fitrah taat kita pada suami dan atau pemimpin yang ada di sekitar kita. Jadilah madrosatul ula yang tutur katanya mampu membimbing anak-cucu kita mau mencintai, menyayangi, meneladani dan membangun kehangatan pada pemimpin keluarganya, yaitu ayahnya. Melalui lisan sang ibu, mari kita citrakan kembali sosok ayah menjadi sosok yang hebat, kuat, hangat, bertanggung jawab, penuh kasih sayang, serta menjadi teladan dalam keluarga seperti halnya Nabi Muhammad, Nabi Ibrahim, Lukmanu Hakim dan ayah-ayah teladan lainnya yang kisahnya telah Allah abadikan dalam Al-quran. Semoga lahir juga dari rahim keluarga kita, calon ayah dan calon pemimpin yang kuat, yang fitrah kebapaan dan fitrah kepemimpinanya terjaga. Aamiin 


Wallahu ‘alam ...


BACA JUGA:

Peran Ayah dalam Mendidik Anak

Reporter: Redaksi Editor: Ismail Fajar Romdhon