DISKUSI ONLINE DEWAN TAFKIR PP PERSIS “LAHIRNYA PANCASILA, IDEOLOGI NEGARA, DAN KEDAULATAN NKRI”
PERSIS sejak berdirinya telah memikul tanggung jawab moril terhadap seluruh umat muslim di Indonesia untuk tetap menjaga kemurnian tauhid dan memberikan panduan beribadah pada Ummat sesuai dengan tuntutan Al-Quran dan As-Sunnah. Lebih dari itu PERSIS pada era kemerdekaan ternyata memberikan sumbangsih yang begitu besar dengan tokoh-tokohnya yang bergabung dengan Partai Masyumi memberikan pandangan-pandangan melalui pidato-pidatonya di sidang konstituante terkait dengan penentuan falsafah atau dasar negara. Dengan fakta sejarah demikian maka PERSIS tidak akan pernah dapat melepaskan diri dari perannya untuk tetap menjaga warisan perjuangan, sebagaimana yang diperjuangkan tokoh-tokohnya terdahulu diantaranya Pak Natsir dan Pak Isa Anshary. maka PERSIS telah membentuk lembaga Dewan Tafkir untuk menjawab seluruh persoalan-persoalan keummatan itu.
Menjadi sebuah kewajiban bagi PERSIS dengan munculnya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diusulkan oleh Fraksi PDIP di DPR RI untuk meninjau serta memberikan pandangan, kritik dan masukan, sehingga PERSIS dengan peran dan posisinya saat ini tetap dapat mempertahankan keutuhan dari warisan dan amanah perjuangan para founding fathernya dalam menentukan sikap terkait Ideologi Pancasila sebagai falsafah atau dasar negara. Oleh karenanya PERSIS melalui Dewan Tafkir menghadirkan agenda Diskusi Online dengan tema “Lahirnya Pancasila, Ideologi Negara, dan Kedaulatan NKRI” dengan 4 (empat) orang narasumber diantaranya: Dr. Muslim Mufti, M.Si., Prof. Atip Latipulhayat, Ph.D., Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, dan Prof. Dr. Ahmad Mansur Suryanegara. Dan Diskusi ini Dibuka oleh Wakil Ketua PP Persis Dr. H. Jeje Zainuddin, MAg
Bahwa proses legislasi sebuah peraturan perundang-undangan tidak dapat lepas dari peran Politik, sebab parlemen kita dibentuk dari fraksi-fraksi Parta Politik. Maka kedudukan sebuah Partai Politik penguasa sangat menentukan terhadap sebuah proses legislasi peraturan perundang-undangan. Perumusan RUU HIP sangat erat kaitannya dengan ideology Pancasila itu sendiri, maka sebagai sebuah ideology seharusnya Pancasila dihadirkan dengan seluas-luasnya untuk seluruh rakyat Indonesia, tidak dipersempit dengan kepentingan penguasa atau salah satu pihak.
Nilai-nilai Pancasila sebagaimana pernah dinyatakan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, pada hakikatnya adalah pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum serta cita-cita moral luhur yang meliputi suasana kejiwaan, serta watak bangsa Indonesia. Dilihat dari kedudukannya, Pancasila sumber hukum yang paling tinggi, ini berarti menjadikan Pancasila sebagai ukuran dalam menilai hukum kita. Aturan-aturan hukum yang diterapkan dalam masyarakat harus mencerminkan kesadaran dan rasa keadilan sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Pancasila merupakan acuan dan rujukan nilai (verwijzingwaarde) bagi produk peraturan perundang-undangan sebagai landasan filosofis tertinggi.
Pancasila lahir melalui proses evolusi hukum, sebagaimana sejarah mencatat bahwa embrio Pancasila adalah pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, kemudian pembentukan panitia untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara yang disebut sebagai panitia sembilan, dari panitia sembilan itu lahirlah Piagam Jakarta sebagai rumusan pertama, pembukaan UUD 1945 sebagai rumusan kedua, mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat sebagai rumusan ketiga, mukaddimah UUD Sementara sebagai rumusan keempat, Rumusan Pertama menjiwai Rumusan Kedua dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi sebagai rumusan kelima (Dekret Presiden 5 Juli 1959). Pancasila pada akhirnya ditempatkan pada preambule UUD 1945 di alinea keempat.
Pancasila lahir dari tradisi masyarakat Indonesia, sebagaimana Bung Karno menyebutkan dalam pidatonya bahwa ia menggali nilai-nilai Pancasila itu dari saripati kehidupan bangsa Indonesia. Tradisi ini lahir dari perjalanan historis berdasarkan kesamaan hidup masyarakat Indonesia sehingga seluruh masyarakat merasakan adanya suatu semangat yang sama dan satu jiwa bangsa yang kemudian disebut sebagai Volksgeist.
Pancasila juga disebut dengan istilah Grundnorm sebagaimana disebutkan oleh Hans Kelsen merupakan sebuah Norma Dasar yang memiliki sifat “The Final Standard of Legal Validity” sehingga tidak ada tolak ukur untuk menguji validitas dari keabsahan Grundnorm tersebut. Konsekwensi logis dari “the final standard of legal validity” adalah Grundnorm harus ditempatkan di atas dan di luar Konstitusi, bahkan lebih jauh Grundnorm harus menjadi tolak ukur dalam memvalidasi konstitusi dan menjiwai setiap hukum di bawah Konstitusi. Keberlakuan Grundnorm juga tidak harus menunggu proses positivisasi sebagaimana konstitusi dan hukum lainnya, ia telah ada mendahului hukum positif.
Staats fundamenteel norms yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 tidak boleh diatur dalam jenis produk hukum UU, tetapi harus dalam Batang Tubuh (Pasal-pasal) UUD 1945 sebagai Norma dasar Negara (Staatsgrundgezets) atau Ketetapan MPR. "Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara". Dirancangnya RUU HIP sesungguhnya tidak didasarkan pada Sumber Hukum dalam arti materil. Sumber Hukum dalam arti materil (Materieel Rechtsbron) disebut juga sebagai sumber penyebab adanya hukum (welbron), yaitu perasaan, keyakinan, dan pemikiran tentang apa yang seharusnya atau yang sebaiknya menjadi materi atau isi hukum. Dalam teori pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam hal DPR membentuk UU dengan tidak jelas sumber hukum materilnya, maka disebut sebagai sebagai tindakan yang dikualifikasi sebagai onvoldoende gemotiveerd (pertimbangan dengan argumentasi atau alasan yang tidak cukup memadai), hal ini sama dengan tindakan pemerkosaan hukum (rechtsverkrachting).
Pancasila sebagai state Fundamental Norm, Volkgeist, atau Grunnorm telah didudukan pada posisi yang fundamental sehingga mengandung arti dan pemaknaan yang sangat luas. Ketika nilai-nilai Pancasila itu kemudian hari ini dicoba untuk di positivisasi dan dikodifikasikan maka hawatir langkah-langkah demikian itu merupakan sekularisasi Pancasila sehingga bukan lagi Pancasila jika telah disekulerkan. Bahkan lebih dari itu Pancasila yang pada dasarnya memuat nilai-nilai yang abstrak kemudian diturunkan menjadi nilai-nilai yang detail dan kongkrit dalam sebuah RUU hal ini bertentangan dengan Pancasila bahkan merendahkan Pancasila itu sendiri. Oleh karena itu RUU HIP merupakan rumusan hukum yang tidak diperlukan oleh bangsa ini, sebab Pancasila adalah final dan tafsir nilai-nilai Pancasila itu serta pengimplementasiannya adalah mutlak ada ditangan Rakyat Bangsa Indonesia.
Wassalam
Bandung, Sabtu 30 Mei 2020
Mengetahui
Ketua Dewan Tafkir PP Persis - Dr. Muslim Mufti, MSI