Fenomena Dakwah Kita, Antara Cita dan Realita 2

oleh Reporter

06 Juni 2020 | 13:39

Ketiga. Doktrin persatuan dan fakta perpecahan.
Tidak ada yang bisa memungkiri bahwa di antara ajaran Islam yang agung adalah tentang persaudaraan, persatuan dan kesatuan umat. Al Quran mengatakan bahwa “Tiada lain orang mukmin itu adalah saudara. Maka damaikanlah di antara kedua saudara kalian itu (jika mereka berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kalian mendapat rahmat” (Al Hujurat: 10).
Islam juga menegaskan bahwa umat Islam ini adalah umat yang satu. Sebagaimana agama  mereka adalah agama yang satu, yaitu Islam,  melalui sumber yang satu yaitu Nabi Muhamad, dari Malaikat Jibril dari Allah SWT. Pedoman hidup  mereka juga satu yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. “Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku” (Al Anbiya : 92, Al Mukminun : 52)
Demikian juga hadits-hadits Nabi yang begitu indah melukiskan kesatuan umat ini. “Sesungguhya perumpamaan kaum mukminin dalam saling mencintai, saling berlemah lembut, dan saling menyayanginya, laksana satu tubuh. Apabila ada anggota tubuhnya yang sakit maka dirasakan semua anggota tubuh yang lain dalam demam dan begadangnya” (Shahih Muslim).
Dengan agama Islam itulah muslim sedunia dipersatukan. Berbagai perbedaan alamiah yang telah memecah belah mereka seperti perbedaan kabilah, suku, bangsa, negara, bahasa, warna kulit, dan adat istiadat dipersatukan dengan kesamaan aqidah, tuntunan ibadah, kemuliaan akhlak, dan kesamaan martabat di hadapan Allah. Sebagaimana Rasulullah telah mengubur perselisihan dan permusuhan antar kabilah dan suku-suku Arabia menjadi satu umat yang bersaudara.  
Islam sebagai agama persatuan. Ajaran utama aqidahnya adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah SWT. Pandangannya terhadap agama para nabi terdahulu sangat tegas, bahwa ajaran para rasul Allah adalah sama dalam masalah pokok-pokoknya, berbeda dalam cabang-cabangnya. Pandangannya terhadap kemanusiaan juga jelas bahwa seluruh umat manusia adalah saudara, yaitu mereka berasal dari nenek moyang yang sama. Kehancuran kehidupan umat manusia karena melanggar dua prinsip persatuannya, yaitu merusak persatuan agama dan menghancurkan persatuan kemanusiaan.
Kesatuan agama dirusak dengan penyelewengan dan kesyirikan yang dimasukkan ke dalam  kesucian agama tauhid para nabi sehingga berpecah belah menjadi sekte-sekte. Sedang kesatuan umat manusia menjadi hancur karena kerakusan satu bangsa untuk menguasai kekayaan bangsa yang lain sehingga melupakan ikatan persaudaraan mereka yang berasal dari satu nenek moyang yang sama.  
Demi menjaga keutuhan dan kesatuan umat ini, Islam mengecam keras perselisihan dan perpecahan. Ia melarang setiap perbuatan yang bisa merusak persaudaraan. Seperti sikap sinis terhadap sesama, merendahkan peran dan kontribusi saudaranya terhadap agama, merasa diri dan kelompoknya paling baik, meremehkan dan menghinakan kehormatannya, memanggil dengan panggilan yang menyakiti, berburuk sangka terhadap sesama muslim, mencari kelemahan dan kesalahan mereka, sampai larangan mengumpat atau menggibah keburukan dan kesalahan mereka, melainkan harus ditutupi dan dijaga nama baiknya. Sebagaimana dipesankan Allah dalam Surat Al-Hujurat ayat 11-12.
Demikian banyak ajaran yang begitu agung dan mulia dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Akan tetapi sayang seribu sayang, fakta kehidupan sebagian besar umat kita saat ini jauh bertolak belakang dengan ajarannya itu. Kejahilan, egoisme, dan fanatisme mazhab serta kelompok di antara sebagian para pendakwahnya, dimanfaatkan musuh-musuh Islam dari luar sebagai pintu masuk untuk memecah belah umat. Maka kita saksikan betapa mudahnya di antara para juru dakwah melakukan perang kata-kata, saling mentahdzir, dan polemik terbuka antar kelompok dakwah terjadi di mimbar-mimbar, bahkan di media massa dan media sosial yang menjadi konsumsi masyarakat luas.
Rasulullah mengingatkan bahwa para juru dakwah harus menjadi pelopor dan teladan dalam mewujudkan kesatuan dan persatuan, membangun ukhuwah, dan mendahulukan persamaan bukan menjadi seperti provokator yang menghasut dan menimbulkan kebencian di antara jamaahnya. Sebagaimana yang beliau tegaskan dalam wasiyatnya kepada Abu Musa al Asy’ary dan Mu’adz bin Jabal ketika mengutus keduanya untuk berdakwah di Negeri Yaman, “Hendaklah kalian berdua memberikan kabar gembira jangan membuat mereka (ketakutan) lari dari dakwah!, hendaklah kalian beri kemudahan jangan menyusahkan!, dan hendaklah kalian berdua selalu rukun jangan berselisih!” (Shahih Bukhari).  
Kesatuan umat itu diawali dari kesatuan para pendakwahnya.  Kesatuan para pendakwah itu jika mereka saling menghormati, saling bertoleransi atas perbedaan yang dibolehkan agama, saling memaafkan dan memaklumi kekhilafan satu dengan yang lain, saling memahami mazhab dan aliran berfikir yang dipegangnya, kalaupun ada kesalahan nyata yang harus dinasihati tidak perlu dengan menjatuhkan pribadinya di depan publik.  
Mempublikasikan perselisihan pendapat di kalangan kelompok-kelompok dakwah ini jika tidak dihentikan dipastikan menjadi cikal bakal terpolarisasinya para jamaahnya menjadi kelompok-kelompok yang fanatik pada guru panutannya masing-masing. Dan pada gilirannya akan menjadi kayu bakar bagi syetan dan musuh-musuh agama Islam untuk memecah belah dan menghancurkan kekuatan umat.
Cukuplah bagi kita menjadi pelajaran berharga dari banyak negeri muslim yang hancur karena perselisihan dan perpecahan. Ratusan ribu jiwa yang tidak berdosa melayang, jutaan lainnya hidup terlunta di pengungsian dan pengasingan, dan porak porandanya warisaan peradaban Islam yang telah dibangun ratusan tahun silam, karena menjadi korban perang saudara di Afganistan, Irak, Suriah, Yaman, dan Libiya. Semuanya memang untuk kepentingan perebutan kekuasan politik, tetapi mereka memperalat perbedaan pemikiran dan faham agama serta perbedaan suku yang terjadi di kalangan umat. Dengan perselisihan internal itulah musuh-musuh Islam mempunyai pintu masuk yang memudahkan mereka untuk intervensi menghancurkan kesatuan mereka dan menguasai sumber daya alam mereka.
Ketertinggalan sebagian besar umat Islam dan negeri muslim dari umat non Islam dan negeri-negeri non muslim pada berbagai bidang kehidupan saat ini sudah begitu jauh. Terutama di bidang sain dan teknologi, pendidikan, ekonomi, dan militer menyebabkan lebih banyak tergantung dan mengekor kepada bangsa barat atau timur yang jauh dari Islam. Seandainya kita bersatu padu saja mengejar ketertinggalan itu belum tentu dapat mencapainya dalam waktu singkat. Maka bagaimana lagi jika pada internal umat dan bangsa ini sendiri dirundung perselisihan dan perpecahan.
 
Keempat. Doktrin keterbukaan dan fakta ketertutupan
Meskipun diturunkan di Arab dan diwahyukan dengan bahasa Arab, Islam adalah agama terbuka, dalam pengertian ia diturunkan sebagai rahmat untuk segenap manusia, bukan untuk bangsa dan ras tertentu. Al-Quran sendiri sebagai kitab suci Islam menegaskan dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia”, selain “sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang beriman”.
Islam megaskan kesatuan dan kesamaan pokok-pokok agama para rasul. Karena itu menyeru seluruh orang yang mengaku sebagai pengikut agama para nabi terdahulu untuk kembali kepada pokok ajaran nabi mereka. Niscaya akan menemukan kesamaan dengan Islam.
Islam juga menegaskan bahwa kebenarannya mutlaq dan universal. Sebab itu menantang siapa saja yang tidak percaya atau ragu akan kebenaran Al-Quran untuk membantahnya atau mendatangkan yang semisalnya secara jantan dan objektif. Islam menegaskan bahwa kebenaran wahyu tidak akan pernah bertolak belakang dengan kebenaran akal. Sebagaimana kebenaran akal tidak akan bertentangan dengan kebenaran wahyu. Kebenaran adalah satu sebagaimana sumbernya juga satu yaitu Allah SWT.
Al-Quran dan Sunnah adalah ilmu dan kebenaran mutlak yang diturunkan Allah melalui pewahyuan. Alam semesta adalah ilmu dan kebenaran yang diwujudkan Allah melalui proses penciptaan. Allah turunkan Al-Quran dengan haq, Allah juga yang menciptakan langit dan bumi dengan haq. Akal pikiran dan fitrah manusia yang sehat adalah karunia Allah untuk memahami kebenaran dari wahyu dan kebenaran dari alam semesta. Wahyu menuntun akal manusia untuk mengerti tentang siapa pencipta alam semesta dan bagaimana alam diciptakan. Lalu untuk mengerti bagaimana seharusnya manusia beriman dan beribadah kepada pencipta alam semesta, dan bagaimana ia seharusnya mamandang, memahami, dan berinteraksi dengan alam semesta itu dengan benar.
Dari pengkajian atas Al-Quran dan hadits para ulama Islam melahirkan berbagai ilmu seperti ilmu Tauhid, bahasa, ilmu tafsir, ilmu qiroat, ilmu hadits, ilmu fikih, dan ushul fikih. Dari pengkajian atas alam semesta, manusia, dan binatang, para ilmuwan melahirkan ilmu falsafah, geografi, biologi, fisika, kimia, matematika, kedokteran, sosiologi, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Dalam mengembangkan berbagai disiplin ilmu Islam itu para ulama merumuskan metodologi atau manhajnya untuk memudahkan dan mencapai tujuan dan maksud ilmu tersebut secara benar. Sebagian besar dari manhaj-manhaj ilmu itu banyak persamaannya. Namun terkadang juga ada bagian-bagian yang berbeda. Adanya bagian-bagian yang beda itu menjadi ciri khas yang membedakan satu manhaj dengan manhaj yang lainnya sehingga dapat saling mengkriitk dan sekaligus saling melengkapi. Seperti manhaj ilmu ushul fikih dan fikih antara mazhab Hanafy, Maliky, Syafi’y, dan Hambali, sebagian besarnya adalah sama. Tetapi adanya point-point perbedaan itu menjadi ciri khas yang membedakan dari masing-masing mazhab.
Demikian juga dalam cabang ilmu-ilmu yang lain terjadi aliran atau berbedaan manhaj dan mazhab itu termasuk dalam bidang ilmu Tauhid atau Aqidah. Perbedaan aliran manhaj dan mazhab itu adakalanya sampai meyangkut aspek esensial dan mendasar sehingga sulit dipertemukan, adakalanya perbedaan itu hanya perbedaan teknis dan terminologis yang digunakan saja. Sedang esensi dan substansinya sama.
Perbedaan manhaj dan mazhab suatu cabang ilmu adalah hal yang wajar belaka. Sebab Al-Quran dan hadits lebih banyak berisi dalil-dalil dan sumber substansi ilmu daripada tuntunan teknis dan metodologisnya. Metodologi atau manhaj adalah rumusan cara pemahaman dan pengamalan suatu cabang ilmu Islam yang merupakan hasil penalaran akal dengan mengacu kepada dalil-dalil yang terkandung dari Al-Quran dan Hadits.  
Karena itu selama suatu manhaj itu bukan merupakan rumusan baku yang telah disepakati secara bulat oleh para ulama Islam, maka ia hanyalah sebagai salah satu metode yang boleh diterima boleh juga ditolak atau dilengkapi dan berpegang kepada manhaj yang lain. Seperti dalam manhaj ushul fikih. Semua mazhab Ahlus Sunnah sepakat bahwa sumber dan dalil utama syariat Islam itu adalah Al-Quran dan Hadits Nabi SAW. demikian juga Ijmak dan Qiyas sebagai dalil setelah Al-Quran dan Hadits yang menunjukan kepada keberadaan dalil asalnya dari Al-Quran dan Hadits.  
Akan tetapi para ulama ushul fikih dan para fuqaha berbeda pendapat tentang kedudukan amaliyah dan tradisi Ahlul Madinah sepeninggal Rasulullah apakah dapat dijadikan sebagai hujjah syariat atau tidak? Imam Malik menjadikannya sebagai hujjah yang lebih didahulukan daripada hadits ahad, sedang para Imam yang lain tidak menjadikannya. Apakah Istihsan boleh dijadikan metode penetapan suatu hukum syariat atau tidak? Imam Hanafy menjadikannya sebagai salah satu metode ijtihadnya, sedang Imam Syafi’iy menolak dan mengecamnya.
Oleh sebab itu maka dalam Islam disepakati adanya prinsip tasamuh atau toleransi atas perbedaan-perbedaan dalam aspek manhaj-ijtihad yang diperbolehkan dan berpegang kepada prinsip-prinsip yang disepakati. Itulah yang telah berlangsung ratusan tahun dan berjalan dalam sejarah perjalanan umat Islam masa lampau.
Akan tetapi terkadang keagungan dan keluasan manhaj Islam itu dikerdilkan dan disempitkan oleh pemahaman dan cara dakwah sebagian para pendakwah itu sendiri yang memang berfikir sempit dan picik.  Sehingga adanya kelapangan dan keluasan dalam metode berijtihad itu dikesankan kepada umat seakan sebagai penyimpangan dan kebid’ahan yang sesat keluar dari manhaj Ahlu Sunnah wal Jamaah. Tanpa didukung penelitian dan pengkajian yang mendalam. Sehingga seringkali menimbulkan kesalah pahaman, ketegangan, hingga kebencian di antara sesama kaum muslimin.  
Pada sisi yang lain, ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang manusia dan alam semesta beratus kali lipat dibanding yang berbicara tentang tauhid dan fikih ibadah. Tetapi metodologi atau manhaj yang dikembangkan oleh kita kaum muslimin di bidang ilmu-ilmu kemanusiaan dan tentang alam semesta sangat minim atau nyaris tidak ada. Manhaj aqidah dan ibadah sepertinya terlepas dan terpisah dari kemanusiaan dan alam semesta yang kita tempati. Mungkin ketertutupan ilmu kita yang sempit itulah sebenarnya yang menjadikan manhaj Islami yang terbuka menjadikan kita mengesankan bahwa manhaj Islam itu sangat sempit, jumud dan rigid.  
Demikian juga dakwah yang diproyeksikan oleh Islam adalah dakwah Islamiyah yang bersifat alamiyah alias global. Yaitu untuk menyeru seluruh umat manusia ke dalam Islam. Dengan tegas Al-Quran menyatakan, “Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan ke tengah manusia. Kalian mengajak kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar dan untuk beriman kepada Allah…” (Ali Imran : 110). Demikian juga pada ayat yang lain, “Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi segenap alam” (AL Anbiya: 107). “Tidaklah Kami mengutus mu (Muhammad) melainkan untuk seluruh umat manusia sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan”. (Saba : 28   )
Faktanya dakwah kita masih terlalu fokus dakwah lokal, parsial, dan sebagian besarnya terkutat dan terkonsentrasi dalam wilayah tablig dan taklim kepada internal kaum muslimin. Sedangkan dakwah keluar atau eksternal yang secara serius dan masif untuk mendakwahkan Islam kepada kaum yang tidak beragama, ateis, agnostis, atupun kaum yang lain yang belum mengetahui tentang ajaran Islam masih sangat-sangat minim. Dengan kata lain bahwa gerakan dakwah kita masih jauh dari misi globalisme yang dipesankan Islam. Dalam gerakan globalisasi dunia, gerakan dakwah kita justru terkesan termarjinalkan baik dari aspek konten dan isu-isu yang diusungnya yang kurang memberi solusi terhadap problem dunia dan kemanusiaan maupun dalam aspek metodologis dan perangkat teknologi dakwah yang dikembangkannya.
Dr. Jeje Zaenudin - Wakil Ketua Umum PP Persis.

Reporter: Reporter Editor: admin