Penulis: Taufik Apandi
Melihat geliat dakwah Islam di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cukup menggembirakan. Perkembangan teknologi dan budaya hidup di era digital (4.0) sangat membantu mengalirkan pesan-pesan dakwah Islam kepada siapapun, di mana pun dan kapan pun. Namun terdapat satu problem dakwah yang kurang populer dan bahkan hampir tidak terdengar lagi di kalangan umat Islam dan para aktivis dakwah Islam saat ini, yaitu Kristenisasi. Pesan ini yang saya tangkap ketika mengikuti Diklat Nasional Kristologi Gelombang 3 yang diadakan oleh Komisi Dakwah Khusus (KDK) MUI Pusat pada tanggal 14-15 Nopember 2020 lalu mewakili PD Pemuda Persis Garut bersama 4 rekan lainnya.
Kristenisasi sebagai upaya meng-Kristen orang-orang di luar agamanya tentu saja mencerminkan karakteristik Kristen sebagai agama misi, dalam pengertian harus disebarkan kepada siapapun di berbagai belahan penjuru dunia. Sama halnya dengan Islam dikenal sebagai agama dakwah yang menuntut umatnya agar mendakwahkan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia juga. Dari sini kita bisa memahami bahwa Kristen dan Islam keduanya mempunyai kesamaan sebagai sebuah agama misi. Hanya saja dalam konteks Indonesia terdapat kesepakatan yang diatur dalam SPB Dua Menteri, dulu bernama SKB Dua Menteri (Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri), dimana pemeluk satu agama dilarang untuk menyebarkan ajaran agamanya kepada orang yang sudah beragama. Ini merupakan ikhtiar untuk menjaga kondusifitas dan kerukunan antar umat beragama. Namun dalam perjalanannya selalu saja ada oknum yang melanggar perjanjian tersebut diantaranya dalam bentuk Kristenisasi.
Kembali kepada Diklat. Berbeda dengan 2 gelombang sebelumnya yang selalu mengambil lokasi di Jakarta kali ini diadakan di pelosok Garut Selatan tepatnya Kecamatan Talegong. Satu tempat yang terletak di perbatasan 3 kabupaetn besar ; Garut, Bandung dan Cianjur yang ditempuh melewati kurang lebih 10 kecamatan dari pusat Kota/Kabupaten Garut dengan panorama alam yang menakjubkan. Sayangnya, Talegong ini menjadi salah satu wilayah rawan Kristenisasi di Jawa Barat. Karenanya, tepat sekali apabila Diklat Kristologi kali ini diadakan di Talegong.
Kegiatan Diklat ini dihadiri sejumlah jajaran pengurus MUI Pusat yang sekaligus bertindak sebagai pemateri. Satu diantaranya adalah Dr. Nadjamudin Ramly, M.S.i, Wakil Sekjen MUI Pusat. Dalam sambutannya, Dr. Nadjamudin mengingatkan bahwa saat ini umat Islam mengalami problem yang sangat serius berupa hiruk-pikuk perang saudara yang terjadi di berbagai belahan dunia. Umat Islam terpecah, kekuatan tercerai berai. Mereka lupa terhadap berbagai ancaman eksternal yang sangat berbahaya, salah satunya Kristenisasi. Ancaman ini perlu disikapi serius. Selain dihadapi dengan wawasan Kristologi yang mumpuni juga perlu dihadapi dengan persatuan dan persaudaraan umat Islam yang kuat. Karena itu peserta yang diundang dalam Diklat ini terdiri dari berbagai latar belakang ormas. Selain untuk menguatkan ikatan ukhuwah, juga untuk menyadarkan bahwa Kristenisasi adalah problem bersama.
Memasuki sesi pertama materi yang dibahas berkaitan dengan pemetaan Kristenisasi di Jawa Barat. Materi ini disampaikan oleh Drs. H. Suryana Nurfatwa, S.H.I, Ketua Pagar Akidah (GARDAH) Jawa Barat. Berbekal pengalaman H. Suryana memaparkan berbagai fakta dan data Kristenisasi di Jawa Barat, khususnya di wilayah pelosok Cianjur, Garut Selatan, Kab. Bandung, dsb. Wilayah-wilayah tersebut sampai saat ini terus beliau pantau bersama tim nya. Selain itu, H. Suryana yang juga tasykil PC Persis Cangkuang Kab. Bandung menjelaskan pola umum Kristenisasi ; Pembinaan dan Perekrutan. Pembinaan berarti proses penuaian (panen) jiwa untuk selanjutnya dimasukan ke dalam lumbung (tempat ibadah) untuk mendapat pembinaan. Sementara Perekrutan berarti upaya menyelamatkan domba-domba tersesat di luar Kristen. Sebagai seorang praktisi yang terlibat langsung di lapangan, H. Suryana juga berbagi kiat-kiat menghadapi Kristenisasi dan panduan praktis apabila menemukan kasus tersebut agar sesuai prosedur dan hukum yang berlaku. Tidak boleh main hakim sendiri. Perlu investigasi dan pengumpulan data yang akurat. Setelah itu dilaporkan kepada pihak yang berwenang atau menghubungi lembaga-lembaga yang konsen dalam bidang tersebut, salah satunya tim GARDAH (Pagar Akidah). Panduan praktis ini sangat penting mengingat umat masih kebingungan dalam bertindak apabila menemukan kasus tersebut.
Selanjutnya, pada sesi kedua, materi yang disampaikan semakin menarik. Para peserta diperkenalkan dengan berbagai modus pemurtadan dan juga dilatih menjadi pembicara yang handal ketika berhadapan dengan para misionaris. Pembicara pada sesi ini adalah Drs. H. Abu Deedat Shihab, M.H, seorang pakar Kristologi tersohor yang sudah lama dan terbiasa berhadapan langsung dengan para misionaris. Tidak sedikit dari mereka yang masuk Islam setelah mereka tidak mampu mempertahankan hujjah. Alhamdulillah. Secara pribadi saya mengenal beliau sejak lama melalui tulisan-tulisan seputar Kristologi di kolom khusus yang diasuhnya di Majalah Sabili Bersyukur dalam Diklat ini saya berkesempatan berguru dan menyaksikan langsung penguasaan beliau terhadap kajian Kristologi. Beliau sangat fasih menyebutkan (hafalan) ayat-ayat dalam Alkitab ketika mengisahkan pengalamannya berdialog dengan para misionaris. Dalam hati saya bergumam, “Luar biasa kemampuan ustadz Abu ini, perlu ada kader yang melanjutkan perjuangan dan kemampuannya.” Berikutnya Ustadz Abu juga mengingatkan ragam modus Kristenisasi. Seperti membagikan selebaran ajakan masuk Kristen pada event-event tertentu (Car Free Day, Festival, dsb), bantuan modal dan pinjaman uang, termasuk yang terbaru dengan cara menampilkan para mantan ustadz (palsu) yang mengklaim merasa kecewa terhadap Islam kemudian murtad dan mencari jawabannya dengan menjadi seorang Kristen. Modus terakhir ini belakangan ramai di kanal Youtube.
Tidak terasa kegiatan sudah memasuki sesi terakhir. Materi yang diberikan tidak kalah penting dengan materi Kristologi yakni berkaitan dengan aliran sesat. Materi ini merupakan penjabaran dari tema Diklat ; Membentengi Aqidah Umat dari Pemurtadan dan Aliran Menyimpang. Sebab tidak lengkap rasanya apabila kita hanya membentengi umat dari upaya pemurtadan saja tanpa juga membentenginya dari aliran menyimpang. Materi ini sampaikan oleh Ustadz H. Teten Romly Qomarudien, MA, anggota Dewan Hisbah Persis komisi Akidah sekaligus juga ketua panitia Diklat ini. Ustadz Teten membedah berbagai aliran menyimpang, baik yang lokal Jawa Barat maupun nasional, bahkan internasional. Namun yang terpenting adalah langkah riil dan sistematis yang ditawarkan pemateri dalam menghadapi berbagai aliran menyimpang. Porsi paparannya cukup panjang. Akan tetapi jika disimpulkan, langkah riil tersebut bermuara kepada penguatan antibody umat Islam sendiri. Apabila kadar keilmuan, ekonomi dan aspek pendukung lainnya kuat maka umat akan mampu menghadang berbagai serangan godaan aliran menyimpang.
Tiba pada acara penutupan. Sedianya terdapat satu materi tersisa yang rencananya akan disampaikan oleh Ustadz H. Fadhlan Rabbani Garamatan (dikenal sebagai Ustadz Sabun). Materi tersebut batal diberikan mengingat Ustadz Fadhlan berhalangan hadir. Walaupun begitu, momen penutupan ini juga terasa spesial dan seolah melengkapi aura suasana Diklat Kristologi. Sebab selain dihadiri oleh ketua MUI Kecamatan, hadir pula ketua Camat Talegong. Istimewanya, Camat Talegong ini berasal dari luar negeri, kelahiran Timor Leste dan sejak tahun 2001 menjadi Mualaf. Dalam sambutannya beliau mengenang perjalannya menemukan hidayah Islam dan tidak henti-hentinya mengucap syukur. Kini beliau terus berusaha menjadi muslim yang taat yang dibuktikan melalui ibadah kekuasaan yang diamanahkan kepadanya. Salah satunya menghindarkan warga Talegong dari minuman keras. Upaya tersebut dilakukan dengan menyisir peredaran minuman keras sampai ke perkampungan. Satu hal lagi beliau tidak rela apabila Kristenisasi terjadi di wilayah Talegong. Beliau akan berkoordinasi dengan pihak terkait, khususnya MUI Kecamatan dan elemen umat Islam lainnya untuk bersama-sama menghalau Kristenisasi. Dan tentunya beliau sangat mendukung kegiatan Diklat Krsitologi ini.
Dua hari tentu bukan waktu yang ideal untuk Diklat yang sangat langka dan penting bagi umat ini. Namun demikian, setidaknya mampu menyadarkan kita untuk kembali memperhatikan keselamatan akidah umat. Dimulai dengan penguatan ukhuwah Islamiyah antar ormas-ormas Islam. Kaderisasi SDM yang mumpuni untuk membina dan membentengi umat terutama di wilayah pelosok. Serta penguatan ekonomi umat. Tidak lupa Diklat Kristologi seperti ini juga perlu terus diadakan. Alhamdulillah KDK MUI akan terus menyelenggarakan Diklat semacam ini. Sebuah ikhtiar dakwah yang layak diapresiasi dan perlu kita dukung. Agar umat tidak terlena dan terus mewaspadai berbagai bahaya yang mengancam akidah Islam yang murni. [*]