Oleh: Achmad Husnul Iman, M.Ak. (Kader Pemuda PERSIS Banten)
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia pada hari ini sangat terbantu dengan adanya skema pendanaan dari sektor perbankan. Hal ini dijelaskan dengan data yang ditujukan oleh BPS, selama kurun waktu 2017–2019, kecenderungan posisi kredit UMKM di tiap tahunnya mengalami peningkatan. Dilihat dari skala usaha yang dijabarkan oleh BPS, gabungan dari usaha mikro, kecil, sampai menengah pada tahun 2017, penggunaan skema pendanaan (kredit) Rp882,9 triliun. Kemudian pada tahun 2018 terjadi peningkatan penggunaan kredit UMKM menjadi Rp969,9 triliun. Pada tahun berikutnya penggunaan kredit UMKM berada pada posisi Rp1.107,7 triliun.
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk menganut agama Islam, sangat membutuhkan solusi keuangan yang tidak melanggar syariat secara agama. Seperti dijelaskan sebelumnya, kebutuhan pendanaan masyarakat Indonesia cenderung meningkatkan di setiap tahunnya. Keberadaan perbankan syariah di Indonesia menjadi jawaban atas masalah pendanaan umat muslim Indonesia. Pada tahun 1990-an, pertama kalinya perbankan syariah hadir di Indonesia ditandai dengan berdirinya bank syariah pertama sebagai produk dari kerja tim perbankan MUI, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Sejak tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp106.126.382.000. Setelah Indonesia memiliki bank syariah pertama, perkembangan bank Syariah di Indonesia mengalami peningkatan. Bank konvensional di Indonesia melihat terdapat pasar perbankan baru yang muncul setelah lahirnya BMI, dan kemudian membentuk perusahaan afiliasi baru dalam bentuk bank Syariah, di antaranya adalah BNI Syariah, BRI Syariah, Niaga Syariah, dan lain-lain.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia ternyata diwarnai dengan berbagai kondisi. Di masa-masa awal hadirnya perbankan syariah di Indonesia, perbankan syariah yang dipelopori oleh BMI turut memengaruhi sikap pemerintah untuk membuat berbagai regulasi yang mendasari transaksi syariah. Sikap pemerintah ini ditandai dengan dibuatnya produk hukum yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti:
- UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
- UU No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk); dan
- UU No. 42 tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No.8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa.
Selain hadirnya perbankan syariah memelopori adanya produk hukum atas aktivitas pasar keuangan, perbankan syariah juga mengalami pertumbuhan aset, dilihat dari dua perbankan syariah BUMN yaitu BNI syariah dan BRI Syariah dengan rata-rata peningkatannya 18% yoy (2017—2019).
Skeptisisme Nilai Syariah Pada Perbankan Syariah Indonesia
Di balik perkembangan industri perbankan syariah yang menunjukkan kondisi positif, di sisi lain terdapat kondisi yang kurang baik. Pada awalnya, kehadiran BMI sebagai bank syariah pertama di Indonesia menjadi jawaban bagi masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam Indonesia. Namun, dalam perjalanannya, BMI tidak mampu untuk bersaing dengan perbankan syariah yang di bentuk dari perbankan konvensional yang memiliki kemampuan pendanaan lebih besar. Selain itu, kemerosotan kinerja yang dialami oleh BMI tingginya angka Non-Performing Financing (NPF).
Suara di masyarakat pada hari ini pun menunjukkan ketidakpercayaan kepada proses bisnis syariah yang dijalankan oleh perbankan syariah. Banyak yang berpendapat bahwa tidak ada bedanya perbankan konvensional dengan perbankan syariah. Hal ini terjadi karena masyarakat menyadari dan paham bahwa sumber dana yang dipergunakan untuk melakukan proses bisnis Syariah, terutama pada perbankan syariah yang terafiliasi dengan perbankan konvensional, sumber dananya menjadi perdebatan.
Merger Bank Syariah Indonesia
Bulan Desember 2020 yang lalu, tiga bank syariah BUMN telah sepakat untuk melakukan merger. Keputusan merger ditandai dengan penandatanganan kesepakatan di antara para jajaran direksi ketiga bank syariah terkait. Merger yang dipelopori oleh Bank Syariah Mandiri ini berhasil menggandeng dua bank syariah BUMN lainnya, yaitu BNI Syariah dan BRI Syariah, serta sepakat untuk membentuk suatu entitas baru dari proses merger tersebut yaitu Bank Syariah Indonesia (BSI).
Hadirnya BSI pada hari ini diharapkan mampu untuk mengurangi keraguan umat atas proses bisnis syariah yang dilakukan oleh perbankan syariah. BSI sebagai entitas baru yang tidak memiliki afiliasi dengan perbankan lainnya akan lebih dapat meyakinkan masyarakat, karena pengelolaan dana BSI dilakukan secara mandiri. Proses merger tiga perbankan syariah ini menghasilkan nilai aset bagi BSI sebesar Rp236,6 triliun (April 2021). Dengan pengelolaan aset ini, diharapkan BSI akan mampu memberikan fasilitas pendanaan kepada umat dengan mengedepankan nilai syariah sebagai core of business yang dilakukan oleh Bank Syariah Indonesia.
BSI sebagai kekuatan ekonomi umat yang baru
Sebagai perusahaan perbankan syariah yang menjalankan aktivitas perbankan dengan tidak memiliki afiliasi dengan perusahaan perbankan konvensional, hal ini menjadi daya saing bagi BSI untuk dapat memberikan pelayanan jasa keuangan sesuai dengan syariat. Kekuatan ekonomi di suatu negara dapat dilihat dengan seberapa produktifnya usaha yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Untuk meningkatkan produktivitas tersebut, baik pada sektor UMKM ataupun pada sektor bisnis besar, kebutuhan fasilitas keuangan yang disediakan oleh perusahaan perbankan memiliki peran penting di dalamnya.
Indonesia, dalam hal ini sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, membutuhkan skema keuangan untuk membiayai pemenuhan kebutuhan sesuai dengan syariat agama. Misalnya kita ambil contoh kebutuhan masyarakat untuk membeli rumah, pada saat ini kebutuhan akan rumah sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat yang masuk pada golongan milenial.
Pada saat yang bersamaan, di Indonesia terjadi suatu fenomena dimana masyarakat milenial bersama-sama ikut bergabung dalam kelompok pemuda hijrah di beberapa daerah, yang menimbulkan kesadaran beragama yang jauh lebih baik dan mereka cenderung untuk lebih taat kepada syariat-syariat yang berlaku. Keadaan ini membuat kebutuhan akan perbankan syariah menjadi benar-benar dibutuhkan. Ketupusan merger tiga perbankan syariah BUMN sehingga menjadikan BSI sebagai perbankan syariah yang baru, dapat dikatakan sebagai kekuatuan ekonomi baru untuk umat.
Secara teori, kekuatan ekonomi suatu negara dapat digambarkan dengan pertumbuhan ekonomi pada negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur melalui Produk Domestik Bruto (PDB), tingkat suku bunga, jumlah pengangguran, dan lain-lain. Semisal kita gunakan PDB sebagai tolok ukur pertumbuhan ekonomi. Menurut teori, PDB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Dalam mengukur PDB, salah satu faktor yang digunakan adalah konsumsi, dan skema pembiayaan sektor perbankan dapat menjadi jawaban untuk meningkatkan angka konsumsi.
Kembali pada contoh kubutuhan akan rumah yang sebelumnya telah dibahas, pemenuhan kebutuhan rumah akan turut meningkatkan nilai konsumsi dan keberadaan perbankan akan mempermudah pemenuhan kebutuhan rumah tersebut. Keberadaan BSI menjadi jalan keluar bagi masyarakat, khususnya golongan milenial untuk memenuhi kebutuhan atas rumah dengan membelinya melalui layanan pembiayaan yang disediakan oleh BSI sebagai perusahaan perbankan syariah. Dengan demikian, BSI bukan hanya akan memberikan jawaban bagi umat dalam memenuhi kebutuhannya. Tetapi, pada waktu yang bersamaan seiring dengan terpenuhinya kebutuhan rumah bagi masyarakat, akan turut meningkatkan nilai konsumsi sebagai faktor pertumbuhan ekonomi. []