Penulis: Syarief Ahmad Hakim
Dinamis adalah istilah umum yang merujuk kepada segala sesuatu atau kondisi yang terus-menerus berubah, bergerak secara aktif dan mengalami perkembangan berarti. Secara etimologi, kata ini diserap dari bahasa Perancis dynamque, yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti kekuatan atau tenaga. Hidup seseorang dikatakan dinamis apabila mengalami berbagai keadaan, pasang-surut, semangat, dan antusias. Dinamis sering dianggap suatu sikap yang patut dimiliki semua manusia bahkan suatu institusi/organisasi. Beragamnya kondisi yang terjadi pada sesuatu, seseorang atau suatu organisasi disebut dinamika.
Berdasarkan alur pikiran di atas maka yang dimaksud dengan dinamika dalam tulisan ini ialah terjadinya perubahan yang terus-menerus pada kriteria kalender hijriyah Persis dalam rentang waktu tertentu karena didorong oleh adanya keinginan ke arah perkembangan yang lebih baik.
Adapun yang dimaksud dengan kriteria adalah ukuran yang menjadi dasar penetapan awal bulan hijriyah. Pembuatan kalender itu berbasis hisab atau hitungan. Hitungan tidak bermakna apa-apa dalam kalender tanpa adanya kriteria, maka adanya kriteria merupakan suatu kemestian.
KALENDER HIJRIYAH PERSIS
Persatuan Islam yang dikenal dengan akronim PERSIS merupakan organisasi Islam yang didirikan jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu pada hari Rabu 1 shafar 1342 H./12 September 1923 M. di Bandung oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Junus[1]. Beliau berdua merupakan saudagar yang telah lama menetap di Bandung dan sangat berminat dalam kajian-kajian keagamaan yang menjadi polemik antara kaum tua dan kaum muda saat itu. Menurut Deliar Noer, Persis merepresentasikan kaum muda dalam paham-paham keagamaannya, sehingga beliau memasukan Persis sebagai organisasi Islam yang modernis dan puritan. Oleh karenanya, sejak Persis didirikan sampai sekarang pun semua produk-produk ijtihadnya senantiasa dilandasi semangat puritan ini, termasuk dalam masalah kriteria kalender hijriyah Persis.
Dapat dipastikan bahwa Persis sejak awal didirikanya berpatokan kepada hisab dalam penentuan awal bulan Hijriyah nya. Hal ini didasarkan kepada paham A. Hassan[2] sebagai guru utama Persis saat mengomentari hadis tentang rukyat awal Ramadhan, beliau berkata bahwa melihat tanggal satu itu bukan ibadah, yang ibadah itu ialah bershaum (puasa) mulai tanggal satu Ramadhan. Lalu A. Hassan membawakan hadis bahwa kami umat yang bodoh (ummi), kami tidak pandai menulis dan tidak menghitung, bulan itu ada tiga puluh hari, ada dua puluh sembilan hari. Lalu dikomentarinya, hal itu tidak memberi arti terlarang kita mengetahui tanggal satu dengan menggunakan hisab, yang sudah nyata dan terbukti lebih tepat daripada cara melihat bulan (rukyat).[3]
Dengan demikian, hisab sebagai basis dalam pembuatan kalender hijriyah sudah digunakan Persis sejak awal pendiriannya, namun yang jadi pertanyaan, apakah Persis telah membuat Kalender Hijriyah pada saat itu?
DINAMIKA KALENDER HIJRIYAH PERSIS
Dari catatan yang ada diperoleh informasi bahwa sejak tahun 1960-an Persis telah membuat almanak Islam khususnya untuk keperluan anggota dan sispatisan Persis, namun sayang informasi tersebut tidak menyebutkan tahun berapa hijrah almanak yang dibuat pertama kalinya itu. Almanak tersebut dibuat oleh perorangan yaitu al-Ustadz KH. E. Abdurrahman yang pada waktu itu telah menjadi ketua umum Persis hasil referendum tahun 1962 di Bandung, pasca Muktamar VII (2-5 Agustus 1962) di Bangil. Pada tahun-tahun berikutnya beliau dibantu oleh muridnya yang sangat berminat kepada ilmu hisab yaitu Ali Ghazali, namun pada pertengahan tahun 1970-an KHE. Abdurrahman menyerahkan tugas pembuatan almanak Persis tersebut kepada al-Ustadz Ali Ghazali adapun beliau hanya berperan sebagai korektor saja.
Pada saat itu buku yang dijadikan rujukan untuk membuat kalender hanya Sullamun Nayyiroin karangan Muhammad Manshur bin Abdul Hamid ad-Dumairi, Jakarta. Selanjutnya ’pada awal tahun 1980-an ditambah dengan buku Fathu Roufil Manan karangan Syekh Dahlan, Semarang dan Khulashatul Wafiyah karangan Zubair Umar al-Jailani, Salatiga. Dengan diangkatnya ustadz Ali Ghazali sebagai anggota tersiar di Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama sejak tahun 1973 dan menjadi anggota tetap pada periode berikutnya, maka beliau sering mengikuti pelatihan-pelatihan hisab dan rukyat yang diadakan Depag sampai tingkat mahir (advance). Dari sinilah terbukanya cakrawala pengetahuan ilmu hisab beliau sampai beliau menguasai berbagai aliran hisab yang berkembang di Indonesia.
Namun penguasaan beliau terhadap berbagai sistem hisab di atas tidak diimbangi dengan pemahaman beliau dalam menentukan kriteria penentuan awal bulan qomariyah, karena dari semenjak almanak Persis dibuat sampai awal tahun 1990-an beliau masih berpegang kepada kriteria ijtima’ qoblal ghurub sebagai mana yang diwarisi dari guru beliau, yaitu KHE. Abdurrahman (Allahu Yarham). Hal ini terbukti dengan peristiwa berbedanya 1 Ramadhan 1411 H antara almanak Persis dengan kalender resmi pemerintah cq Departemen Agama.
Menurut almanak Persis, 1 Ramadhan 1411 H jatuh pada hari Ahad tanggal 17 Maret 1991 sedangkan dalam almanak pemerintah jatuh pada hari Senin tanggal 18 Maret 1991. perbedaan ini menggugah perhatian Kasubdit IV Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama yang membidangi hisab dan rukyat dan sumpah jabatan pada waktu itu, yaitu Drs. Wahyu Widiana, MA. untuk meluruskan kesalahan kriteria ijtima’ qoblal ghurub yang dipegang Persis selama ini. Dengan ditemani beberapa stafnya beliau pergi ke kantor Pimpinan Pusat Persis di Bandung untuk menjelaskan posisi hilal awal Ramadhan tahun tersebut. Beliau menyampaikan data hilal awal Ramadhan 1411 H menurut hisab kontemporer, yaitu sebagai berikut: ijtima’ terjadi pada hari Sabtu, 16 Maret 1991, pukul 15:12:03 WIB, maghrib di Sabang pukul 18:50:04 WIB dengan ketinggian hilal -0° 22’ 56”, maghrib di Merauke pukul 17:12:03 WIT dengan ketinggian hilal -2° 53’ 43”.
Dari data yang ada memang ijtima’ telah terjadi pada hari Sabtu, 16 Maret 1991, pada pukul 15:12:03 WIB. Bagi yang berpegang kepada ijtima’ qoblal ghurub seperti almanak Persis, malam itu dan esok harinya sudah masuk tanggal 1 Ramadhan 1411 H, tetapi ternyata pada saat maghrib di seluruh wilayah Indonesia hilal masih di bawah ufuk, oleh karena itu kalender pemerintah menetapkan tanggal 1 Ramadhan 1411 H jatuh pada hari berikutnya, yaitu hari Senin, 18 Maret 1991. Kemudian beliau menjelaskan kenapa tidak setiap ijtima’ terjadi sebelum maghrib hilal sudah di atas ufuk.
Namun setelah peristiwa di atas almanak Persis tidak serta merta dirubah berdasarkan kriteria wujudul hilal tetapi kriteria ini (wujudul hilal) baru dipakai dalam almanak 1416 H, artinya selama 5 tahun kesalahan tersebut dibiarkan. Bagi kami hal ini masih dapat difahami karena ust. Ali Ghazali yang seorang diri belum mampu meyakinkan Dewan Hisbah yang masih menghormati kriteria peninggalan KHE. Abdurrahman sebagai guru dan panutan mereka. Adapun yang dijadikan markaz untuk kriteria wujudul hilal adalah kota Bandung, artinya kalau pada saat maghrib di kota Bandung hilal sudah di atas 0° dari ufuk mar’i atau matahari lebih dulu terbenam dari pada terbenam bulan, maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan tanggal 1 bulan baru hijriyah dan diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia, meskipun ada kota atau daerah lain yang posisi hilalnya masih di bawah ufuk.
Dengan semakin bertambahnya usia ust. Ali Ghazali dan semakin banyak masalah yang berkaitan dengan hisab dan rukyat, maka pada muktamar ke XI (2-4 September 1995) di Jakarta dibentuklah Dewan Hisab dan Rukyat. Dimana tugas lembaga ini memberi masukan kepada PP Persis tentang masalah hisab dan rukyat disamping tugas pokoknya membuat almanak Islam. Badan ini dipimpin oleh KH. Ali Ghazali dengan staf dan anggotanya yang berjumlah empat orang. Namun dalam pembuatan almanak masih dipegang oleh ust. Ali Ghazali sendiri.
Pada muktamar XII (9-11 September 2000) di Jakarta terbentuklah taskil Dewan Hisab dan Rukyat baru dengan beberapa tambahan orang sebagai anggota, tetapi katuanya masih dipegang ust. Ali Ghazali. Dengan masuknya anggota baru membawa implikasi positif untuk perkembangan Dewan. di antaranya ada wacana tentang keabsahan kriteria wujudul hilal. Sesuai dengan latar pendidikan dan lingkungan pergaulannya, anggota baru tersebut berpendapat bahwa kriteria wujudul hilal itu tidak sesuai dengan tuntunan syar’i, yang sesuai dengan tuntunan syar’i menurut pendapat mereka adalah kriteria imkanur ru’yah. Kedua pendapat ini terus menjadi problem internal DHR PP Persis yang tidak bisa disatukan, sehingga akhirnya pada akhir tahun 2000, PP Persis berinisiatif untuk mendiskusikan masalah ini dengan mengundang Dewan Hisbah, DR. T, Djamaluddin dari LAPAN dan DR. Mudji Raharto dari ITB.
Musyawarah tersebut menghasilkan dua diktum keputusan, yaitu: Pertama, Almanak Persis didasarkan kepada kriteria wujudul hilal. Kedua, hilal tersebut sudah positif di seluruh wilayah Indonesia. Keputusan ini merupakan thoriqotul jam’i (jalan tengah) dari dua pendapat yang bertentangan, karena di kalangan Dewan Hisbah pun terpecah menjadi dua kelompok, dimana kelompok pertama tetap ingin mempertahankan kriteria wujudul hilal sebagaimana yang berjalan selama ini, tetapi kelompok yang kedua berpendapat bahwa kriteria imkanur ru’yah lah yang sesuai dengan tuntunan syar’i sesuai dengan dalil-dalil yang mereka dapatkan.
Almanak Persis 1421 H dan 1422 H dibuat berdasarkan kriteria ini sampai muncul keputusan baru untuk menggunakan kriteria imkanur ru’yah pada tahun 2002. Beralihnya kriteria wujudul hilal ke imkanur ru’yah versi MABIMS merupakan hasil musyawarah Dewan Hisab dan Ru’yat dengan Dewan Hisbah PP Persis pada awal tahun 2002 di Bandung. Almanak tahun 1423 H sampai tahun 1433 H mengunakan kriteria ini.
Adanya kritikan dari para ahli astronomi dan juga pihak lain terhadap kriteria imkanur rukyah versi MABIMS tentang batasan: ketinggian hilal, jarak busur bulan-matahari dan umur hilal yang terlalu minim menyebabkan DHR Persis mengkaji ulang kriteria tersebut dan melakukan pengkajian terhadap hasil penelitian ahli astronomi terhadap hilal yang paling muda yang teramati oleh alat optik.
Atas dasar pemikiran di atas maka Persis pada tanggal 31 Maret 2012 telah merubah kriteria imkanur rukyah versi MABIMSnya menjadi kriteria imkanur rukyah astronomis (kriteria LAPAN 2011) dengan alasan telah teruji secara ilmiyah. Kemudian kriteria ini mulai diterapkan dalam penyusunan almanak 1434 H. Kriteria LAPAN 2011 yang ditetapkan Persis adalah awal bulan hijriyyah ditetapkan jika setelah terjadi ijtima, posisi bulan pada waktu ghurub (terbenam matahari) di wilayah Indonesia sudah memenuhi syarat: Beda tinggi antara bulan dan matahari minimal 4ᵒ[4], dan Jarak busur antara bulan dan matahari minimal sebesar 6,4ᵒ[5].
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa selama rentang waktu 60 tahun, kalender hijriyah Persis telah mengalami 5 kali perubahan kriteria, yaitu: (1). Ijtima Qablal Ghurub dari tahun 1960 sampai tahun 1995, (2). Wujudul Hilal lokal dari tahun 1996 sampai tahun 1999, (3). Wujudul hilal untuk seluruh wilayah Indonesia dari tahun 2000 sampai tahun 2001, (4). Imkanur Rukyah MABIMS dari tahun 2002 sampai tahun 2012, dan (5). Imkanur Rukyah LAPAN 2011 dari tahun 2013 sampai tahun sekarang.
[1] H. Muhammad Junus berasal dari Palembang sedangkan H. Zamzam dari Leles, Garut yang kemudian menikahi saudarinya H. Muhammad Yunus.
[2] Ahmad Hassan bergabung ke Persis di Bandung pada tahun 1926. Meskipun latar belakang keluarganya bukan kaum modernis tapi pemahaman dan kekuatan argumentasi kaum muda telah ia kenal semenjak beliau masih tinggal di Singapura.
[3] Tanya-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, halaman 588.
[4] Dari record sebaran data SAAO dan IICP
[5] “Experimental Astronomy”, Vol. 18, pp. 39-64, Odeh (2004)
Referensi:
- Amien, Shiddiq. Drs. KH. MBA. Dkk. Panduan Hidup Berjama’ah, Bandung: Tafakur, 2005
- Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, Jakarta: Balai Pustaka, 2018
- Departemen Agama RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama Republik Indonesia, 2010
- Hassan, Ahmad, Soal-Jawab Tentang berbagai Masalah Agama, Bandung: Diponegoro, 1968
- Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1982
- Persatuan Islam, Almanak Islam (1408-1434), Bandung: Risalah Press, 1987-2013
- Persatuan Islam, Pedoman Jam’iyah Persatuan Islam, Bandung: Persis Press, 2002
- Persatuan Islam, Qanun Asasi-Qanun Dakhili Program Jihad 2005-2010, Bandung: Persis Press, 2005