Hadiri FGD RUU KUHP bersama Para Pemimpin Agama Progresif, KKBH PERSIS sampaikan 4 Poin Penting

oleh Reporter

28 Agustus 2020 | 10:07

Bandung - persis.or.id, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) gelar diskusi terbatas terkait RUU KUHP bersama dengan para pemimpin agama progresif di Grand Savero Hotel Bogor, Rabu (26/8/2020). Dengan focus diskusi pada pasal-pasal delik asusila dan kesehatan alat reproduksi dalam prespektif kemanusiaan dan kesetaraan gender. 

Dengan menghadirkan pembicara utama Prof. Nina Nurmila Guru Besar Ilmu Ushul Fiqih UIN SGD Bandung, sedangkan peserta diskusi lainnya ada dari IPNU, Lakpesdam PBNU, PKBI Pusat, Antropolog, Pendeta, Biksuni, dan Kantor Konsultasi Bantuan Hukum (KKBH) Persatuan Islam (Persis).

Dalam pemaparannya Prof. Nina menyampaikan dalil-dalil legitimasi bahwa Islam menerima kelompok minoritas seperti LGBT, beliau juga menyampaikan dalil boleh nya aborsi dalam Islam, diskriminasi gender dan lain sebagainya. Sayangnya sebagai guru besar Ushul Fiqih pemaparan beliau dalam mentafsirkan dalil Quran memakai metodologi hermeneutika, sehingga tidak dapat dijadikan rujukan yang kuat untuk diimplementasikan.

“Prof Nina secara khusus meminta KKBH Persis agar dapat menjembatani suara kaum liberal untuk bersama-sama memperjuangkan hak-hak perempuan dengan PERSISTRI, hanya saya menyampaikan kepada beliau bahwa hal tersebut akan sangat sulit sebab ketika disampaikan suara itu kepada Persistri justru Persistri mempertanyakan yang diperjuangkan itu hak-hak kaum perempuan yang mana? Sebab mereka juga merupakan kaum perempuan namun tidak merasa hak-hak nya diperjuangkan,” ucapnya, Rabu (26/8/2020).

Sementara Zamzam Aqbil Raziqin, S.Sy., M.H mewakili  KKBH PP Persis menyampaikan bahwa KKBH PP Persis juga telah mengadakan kajian-kajian Internal terkait RUU KUHP ini sejak 2019. “Hanya memang focus kajian kita baru dari prespektif kepentingan umat islam dalam pembaharuan KUHP,” kata Zamzam.

Lebih lanjut Zamzam menjelaskan  bahwa Persis saat ini khususnya dalam urusan dinamika sistem hukum nasional di Indonesia telah menjadi satu Ormas Islam yang Inklusif, seperti contohnya FGD RUU PKS tahun lalu Dewan Tafkir PP PERSIS mengadakan diskusi dengan mengundang para pemantik dan peserta diskusi dari berbagaimacam elemen PRO dan KONTRA.

Sedangkan terkait dengan issue RUU KUHP Zamzam berpendapat bahwa oleh karena saya merupakan praktisi dan penegak hukum maka saya ingin focus kepada empat aspek hukumnya dibandingkan aspek lainnya.

Aspek pertama lanjut Zamzam,  kita tidak boleh lupa bahwa bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang beragama, sampai kapanpun hal itu tidak akan pernah lepas selama sila pertama dalam Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu positifisasi norma-norma agama ke dalam sistem hukum nasional terutama hukum pidana merupakan bentuk implementasi dari Pancasila. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof Oemar Senoadji pada acara Simposium Pembaharuan Hukum Pidana tahun 1980 bahwa dalam merumuskan delik-delik asusila sudah sepatutnya kita menempatkan norma-norma agama pada peranannya.

“Kedua bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang saat ini berlaku masih banyak mencaplok dari Wetboek Van Strafrecth, maka merumuskan sistem hukum pidana yang sesuai dengan norma adat bangsa Indonesia merupakan amanat kemerdekaan sebagaimana tercantum dalam preambule UUD 1945. Indonesia harus memiliki Kitab Hukum Pidana karya bangsanya sendiri, yang sesuai dengan budaya dan kultur masyarakat Indonesia. Kita harus menilai bahwa masuknya norma-norma adat dan norma-norma agama sebagai bentuk dekolonialisasi dari KUHP yang lama,” kata Zamzam

Ketiga bahwa perluasan delik zina dalam RUU KUHP adalah langkah yang progresif, sebab zina atau sex bebas tidak dibenarkan oleh semua agama yang di akui di Indonesia, bahkan Indonesia yang terdiri dari ribuan suku adat, saya yakin tidak ada satupun adat di Indonesia yang memperbolehkan perzinahan. Oleh karena itu kriminalisasi pada perbuatan zina merupakan langkah tepat dalam mengimplementasikan nilai-nilai agama dan nilai adat dalam sistem hukum pidana, terlebih pasal yang mengatur delik samenleven atau kumpul kebo merupakan satu langkah yang progresif.

Dan yang keempat saya bahwa delik pidana bagi perempuan yang menggugurkan kandungannya bukan merupakan delik yang diskriminatif, sebab dalam memandang hukum kita tidak dapat menggunakan kacamata yang parsial, kita harus memandang seccara komprehensif. Saya belajar bahwa hukum pada awalnya timbul karena kebiasaan, namun jika posisi hukum selalu menunggu kebiasaan masyarakat maka hukum akan selalu tertinggal jauh dari peradaban manusia, saat ini hukum tidak lagi berbicara kebiasaan sebab hukum ditempatkan sebagai social engineering atau alat rekayasa sosial, oleh karena itu kita harus memandang delik ini sebagai alat rekayasa social.

Sebelumnya direktur PKBI Pusat memaparkan bahwa 12-13% perempuan yang menggugurkan kandungannya adalah para remaja yang hamil diluar pernikahan dan lebih dari 80% adalah perempuan yang sudah berumah tangga. Yang jadi pertanyaan saya adalah apa alasan kuat seorang perempuan menggugurkan kandungannya diluar alasan darurat medis dan hamil korban perkosaan? Dimana kedua hal itu adalah pengecualian dalam Undang-Undang bahkan untuk 2 alasan tersebut fatwa MUI memperbolehkan aborsi. Sayangnya hal ini tidak dijawab oleh direktur PKBI Pusat.

“Terakhir Zamzam menyampaikan sebagai seorang awam merasa bahwa alasan yang kuat seorang perempuan menggugurkan kandungannya diluar 2 alasan yang dibenarkan oleh fatwa MUI adalah karena ia mengandung anak hasil zina. Maka delik pidana bagi perempuan yang melakukan aborsi adalah langkah preventif bagi warga negara agar tidak melakukan sex bebas diluar pernikahan. Sehingga sebetulnya pasal-pasal zinah, kumpul kebo, dan larangan aborsi adalah pasal-pasal yang progresif, yang harus dipertahankan dan diperjuangkan,” pungkas Zamzam

Zamzam berharap apa yang hadir dalam diskusi kali ini dapat memberikan satu prespektif lain untuk kajian kami di internal, dan tidak menutup kemungkinan kami juga akan melaksanakan diskusi terbuka dengan mengundang berbagai macam elemen masyarakat. (/HL)

Reporter: Reporter Editor: admin