Hukum Memperingati Tahun Baru Hijriah

oleh Reporter

22 Agustus 2020 | 05:56

Penulis: Ibnu Muchtar

Orang yang beriman tidak akan terkesan dan terpengaruh oleh sesuatu yang mereka lihat dari musuh-musuh Allah. Sebab ia yakin di dalam kepribadian Islam terdapat kebaikan serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, ia akan bersikap hati-hati terhadap berbagai cara dan pola hidup yang tidak jelas dalilnya. Sikap kehati-hatian itu diwujudkan dengan mempertanyakan berbagai macam acara dan upacara yang dikenal dalam Islam, meskipun dikemas dengan nama dan istilah arabi bahkan Islami, seperti tahun baru Hujriah atau tahun baru Islam.

Sejarah Penetapan Tahun Hijriah

Tatkala Ya’la bin Umayah menjadi gubernur di Yaman pada zaman khalifah Abu Bakar, ia pernah melontarkan gagasan tentang perlunya kalender Islam yang akan dipakai sebagai patokan penanggalan. Pada wakti itu, catatan yang dipergunakan kaum muslim belum seragam. Ada yang memakai tahun gajah (”amul fil), terhitung sejak raja Abrahah dari Yaman menyerang Ka’bah (yang secara kebetulan adalah tanggal kelahiran nabi SAW), ada yang mendasarkan pada peristiwa-peristiwa yang menonjol dan berarti yang terjadi di zaman mereka. Misalnya, tahun pertama hijrah Nabi dinamakan tahun al-Izn (izin), karena izin hijrah diberikan pada tahun itu. Tahun kedua disebut tahun Amr, karena pada tahun itu Allah swt telah memberikan perintah kepada kaum muslimin untuk bertempur untuk melawan kaum musyrik Mekah.

Akan tetapi, realisasi tentang penetapan penanggalan yang dipakai oleh umat Islam barulah terjadi di zaman khalifah Umar. Menurut keterangan al-birunim khalifah menerima sepucuk surat dari Abu Musa al-asy’ari yang menjadi gubernur di Bashrah (irak), isinya menyatakan ”kami telah banyak menerima surat dari amirul mu’minin dan kami tidak tahu mana yang harus dilaksanakan. Kami sudah membaca satu perbuatan yang bertanggal sya’ban, namun kami tidak yahu sya’ban yang mana yang dimaksud. Sya’ ban sekarang atau sya’ban mendatang di tahun depan?”

Surat Abu Musa rupanya diterima/disikapi oleh khalifah umar sebagai saran halus tentang perlu ditetapkannya satu penanggalan (kalender) yang seragam, yang dipergunakan sebagai tanggal, baik dikalangan pemerintah maupun untuk keperluan umum.

Untuk menetapkan momentum apa yang sebaiknya dipergunakan dalam menentukan permulaan tahun Islam, Khalifah mengadakan musyawarah dengan semua ulama, dalam pertemuan itu ada empat usul yang dikemukakan, yaitu :
1. Dihitung dari kelahiran nabi Muhammad Saw
2. Dhitung dari wafat Rasulullah saw
3. Dihitung dari hari Rasulullah menerima wahyu pertama di gua Hira yang merupakan awal tugas risalah kenabian
4. Dihitung mulai dari tanggal dan bulan Rasulullah melakukan hijrah dari mekah ke medinah (usul yang terakhir ini diajukan oleh Ali bin Abi Thalib).

Tetapi baik kelahiran nabi Saw maupun permulaan risalah kenabian tidak diambil sebagai awal penanggalan Islam, karena tanggal-tanggal tersebut menimbulkan kontroversi mengenai waktu yang pasti dari kejadian-kejadian itu. Hari wafat nabi juda tidak berhasil dijadikan tanggal permulaan kalender, karena dipertautkan dengan kenang-kenangan yang menyedihkan pada hari wafatnya. Besar kemungkinan nanti akan menimbulkan perasaan-perasaan sedih dan sendu dalam kalbu kaum muslimin. Akhirnya, disepakatilah agar penanggalan Islam ditetapkan berdasarkan hijrah rasul dari Mekah ke medinah.

Kapankah tepatnya beliau hijrah ke medinah? Beragam informasi dijumpai pada kitab-kitab tarikh tentang peristiwa itu. Ima ath-thabari dan Ibnu Ishaq menyatakan ”sebelum sampai di medinah (waktu itu bernama Yastrib) Rasulullah saw singgah di Quba pada hari senin 12 rabi’ul awal tahun 13 kenabian / 24 september 622 M waktu dhuha (sekitar jam 09.00). di tempat ini beliau tinggal dikeluarga Amr bin Auf selama empat hari (hingga hari kamis 15 Rabiul awwal/27 september 622 M, beliau berangkat menuju Medinah. Di tengah perjalanan, ketika beiau berada di bathni wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga banu Salim bin Auf datang kewajiban Jum’at (dengan turunnya ayat 9 surat al-jum’ah). Maka nabi salat jumat bersama mereka dan khutbah ditempat itu. Inilah salat jumat yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan salat jumat, nabi melanjutkan perjalanan menuju madinah” (Lihat tarikh ath thabari, I:571;sirah Ibnu Hisyam, juz III, hal 22; tafsir al-qurthubi juz XVIII, hal 98).

Keterangan diatas menunjukan bahwa Nabi tiba di Madinah pada hari Jumat 16 rabiul Awal/28 september 622 m.Sedangkan ahli tarikh lainnya berpendapat har senin 12 rabiul awwal/5 oktober 621 M, namun ada pula yang menyatakan hari jumat 12 rabiul awal/24 Maret 622 M.

Terlepas dari perbedaan tanggal dan tahun, baik hijriah maupun masehi, namun para ahli tarikh semuanya bersepakat bahwa hijrah nabi terjadi pada bulan rabiul awal, buka bulam Muharram (awal Muharram ketika itu jatuh pada tanggal 15 juli 622 M)

Ketika para sahabat sepakat menjadikan hijrah nabi sebagai permulaan kalender Islam, timbul perseoalan lain di kalangan mereka tentang permulaan bulan kalender itu. Ada yang mengusulkan rabiul awal (sebagai bulan hijrahnya Rasulullah saw ke Medinah). Namun ada pula yang mengusulkan bulan Muharram. Namun akhirnya Umar memutuskan bahwa tahun 1 Islam/Hijriah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M. Dengan demikian, antara permulaan hijrah Nabi dan permulaan kalender Islam terdapat jarak seitar 82 hari.

Peristiwa penetapan Islam oleh Umar ini terjadi pada hari rabu, dua puluh hari sebelum berakhirnya jumadil Akhir, tahun ke 17 sesudah hijrah atau pada tahun ke-4 dari kekhalifahan Umar bin Khattab. (Lihat tulisan Dr Thomas Djamaluddin tentang ”kalender hijriah” dalam buku almanak alam Islami halaman 183-184, dan makalah tentang ”konsitensi hitoris Astronomis kalender Hijriah”)
Asal Peringatan tahun Hijriah

Peringatan tahun baru Islam tiap 1 muharram baru dimulai sejak tahun 1970-an yang berasal dari ide cendekiawan Islam di Amerika Serikat. Waktu itu terjadi fenomena maraknya dakwah, mesjid-mesjid dipenuhi jamaah, dan munculnya jilbab hingga kemudian dikatakan sebagai kebangkitan Islam, Islamic revival (Lihat PR Online)

Dari kedua latar belakang sejarah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa :

1. Penetapan bulan muharram oleh Umar bin khattab sebagai permulaan tahun hijriah tidak didasarkan atas pengagungan dan peringatan peristiwa hijrah Nabi. Buktinya beliau tidak menetapkan bulan Rabiul Awwal (bulan hijrahnya Rasul ke medinah) sebagai permulaan bulan pada kalender hijriah. Lebih jauh dari itu,beliau pun tidak pernah mengadakan peringatan tahun baru hijriah, baik tiap bulam Muharram maupun rabiul Awwal, selama kekhalifahannya

2. Peringatan tahun baru hijriah pada bulan muharran dengan alsanan memperingati hijrah nabi ke Madinah merupakan kesalahkaprahan, karena nabi hijrah pada bulan Rabiul Awwal bukan bulan muharram

3. menyelenggarakan berbagai bentuk acara dan upacara untuk menyambut tahun baru hijriah adalah bid’ah dhalalah (sesat dan menyesatkan)

Amalan Keliru dalam Menyambut Awal Tahun Hijriyah.

Amalan Pertama: Do’a awal dan akhir tahun
Amalan seperti ini sebenarnya tidak ada tuntunannya sama sekali. Amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama besar lainnya. Amalan ini juga tidak kita temui pada kitab-kitab hadits atau musnad. Bahkan amalan do’a ini hanyalah karangan para ahli ibadah yang tidak mengerti hadits.
Yang lebih parah lagi, fadhilah atau keutamaan do’a ini sebenarnya tidak berasal dari wahyu sama sekali, bahkan yang membuat-buat hadits tersebut telah berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.

Jadi mana mungkin amalan seperti ini diamalkan.

Amalan kedua: shaum awal dan akhir tahun
Sebagian orang ada yang mengkhsuskan shaum dalam di akhir bulan Dzulhijah dan awal tahun Hijriyah. Inilah shaum yang dikenal dengan shaum awal dan akhir tahun.
Dalil yang digunakan adalah berikut ini.

مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِجَّةِ ، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ المُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ المَاضِيَةَ بِصَوْمٍ ، وَافْتَتَحَ السَّنَةُ المُسْتَقْبِلَةُ بِصَوْمٍ ، جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَارَةٌ خَمْسِيْنَ سَنَةً

“Barang siapa yang shaum sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan shaum.
Dan Allah ta’ala menjadikan kaffarot/tertutup dosanya selama 50 tahun.”
Lalu bagaimana penilaian ulama pakar hadits mengenai riwayat di atas:

Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181)  mengatakan bahwa Al Juwaibari dan gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini termasuk pemalsu hadits.

Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perowi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits.

Kesimpulannya hadits yang menceritakan keutamaan shaum awal dan akhir tahun adalah hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan dalil dalam amalan. Sehingga tidak perlu mengkhususkan puasa pada awal dan akhir tahun karena haditsnya jelas-jelas lemah.

Amalan Ketiga: Memeriahkan Tahun Baru Hijriyah

Merayakan tahun baru hijriyah dengan pesta kembang api, mengkhususkan dzikir jama’i, mengkhususkan shalat tasbih, mengkhususkan pengajian tertentu dalam rangka memperingati tahun baru hijriyah, menyalakan lilin, atau  membuat pesta makan, jelas adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya. Karena penyambutan tahun hijriyah semacam ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, para sahabat lainnya, para tabi’in dan para ulama sesudahnya. Yang memeriahkan tahun baru hijriyah sebenarnya hanya ingin menandingi tahun baru masehi yang dirayakan oleh Nashrani. Padahal perbuatan semacam ini jelas-jelas telah menyerupai mereka (orang kafir). Secara gamblang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”

 

Reporter: Reporter Editor: admin