(Baca tulisan sebelumnya disini)
Bagi Salafy, siapapun yang hanya berdiri di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, tapi tidak tidak berdiri di atas Manhaj Salafus Shalih, mereka adalah sesat. Berikut saya kutif pernyataan Syeikh Al Albani ketika memberi fatwa tentang Kesesatan Hizbut Tahrir yang dimuat www.Salafy.or.id 1 Juni 2003 sbb.: Ketika ada yang bertanya : “ Saya banyak membaca tentang Hizbut Tahrir, dan saya kagum terhadap banyak pemikiran-pemikiran mereka, saya ingin anda menjelaskan atau memberikan faidah pada kami dengan penjelasan yang ringkas ttg Hizbut Tahrir ini?” Syeikh Al Albani menjawab antara lain : “ Golongan atau kelompok atau perkumpulan atau jamaah apa saja dari perkumpulan islamiyah, selama mereka tidak berdiri di atas Kitabullah ( Al-Qur’an ) dan Sunnah Rasulullah saw serta di atas Manhaj ( jalan/cara ) Salafus Shalih, maka dia ( golongan itu ) berada dalam kesesatan yang nyata ! tidak diragukan lagi, bahwasanya golongan (hizb) apa saja yang tidak berdiri di atas tiga dasar ini ( Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah saw dan Manhaj Salafu Shalih ) maka akan berakibat atau membawa kerugian pada akhirnya, walaupun mereka itu (dalam dakwahnya ) ikhlas. “
Syeikh Muhammad Nashiruddin AlAlBani juga menjelaskan tentang belum cukupnya jika hanya berdasar Al-Qur’an dan As-Sunnah ( seperti dimuat situs www.assunnah.or.id 13 Juni 2000 ). Syaikh Al-AlBani menjelaskan : “ Sebabnya kembali kepada dua hal, yaitu : Pertama, Hubungannya dengan dalil Syar’i , dan Kedua, Fenomena Jama’ah Islamiyah yang ada.
Berkenaan dengan sebab pertama : Kita dapati dalam nash-nash yang berupa perintah untuk mena’ati hal lain di samping Al-Kitab dan As-Sunah sebagaimana dalam firman Allah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ – النساء : 59
“ Dan tatailah Allah, taatilah Rasul dan Ulil Amri di antara kalian “ ( QS. An-Nisa: 59 )
Jika ada Waliyul Amri yang dibai’at kaum muslimien maka menjadi wajib ditaati seperti keharusan taat kepada AlKitab dan AsSunnah . Walau kadang muncul kesalahan dari dirinya dan bawahannya. Taat kepadanya tetap wajib untuk menepis akibat buruk dari perbedaan pendapat dengan menjunjung tinggi syarat yang sudah dikenal yaitu : “ Tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam bermaksiat kepada Al-Khalik “ ( lihat As-Shahihah No.179 ).
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا – النساء : 115
“ Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, danmengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukkan dia kedalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (an-Nisa : 115)
Allah Maha Tinggi dan jauh dari main-main. Tidak disangkal lagi, penyebutan SABILIL MU’MINIIN (Jalan kaum Mukminin) pasti mengandung hikmah dan manfa’at yang besar. Ayat itu membuktikan adanya kewajiban penting yaitu agar ittiba’ kita terhadap al-Kitab dan as-Sunnah harus sesuai dengan pemahaman generasi Islam yang pertama (generasi sahabat). Inilah yang diserukan dan ditekankan oleh dakwah Salafiyah di dalam inti dakwah dan manhaj tarbiyahnya.
Sesungguhnya Dakwah Salafiyah benar-benar akan menyatukan umat. Sedangkan dakwah lainnya hanya akan mencabik-cabiknya. Allah berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ - التوبة : 119
“ Dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang benar”. (at-Taubah: 119).
Siapa saja yang memisahkan antara al-Kitab dan as-Sunnah dengan as-Salafus Shalih bukanlah seorang yang benar selama-lamanya.
Adapun berkenan dengan sebab kedua.: Bahwa kelompok-kelompok dan golongan-golongan (umat Islam) sekarang ini sama sekali tidak memperhatikan untuk mengikuti jalan kaum mukminin yang telah disinggung ayat di atas dan dipertegas oleh beberapa hadits. Diantaranya hadits tentang firqah yang berjumlah tujuh puluh tiga golongan, semua masuk neraka kecuali satu, Rasul mendeskripsikan sebagai : “Dia (golongan itu) adalah yang berada diatas pijakanku dan para sahabatku hari ini”.
Hadits ini senada dengan ayat yang menyitir tentang jalan kaum mukminin. Di antara hadits yang juga senada maknanya adalah, hadits Irbadl bin Sariyah, yang di dalamnya memuat :
“ Pegangilah sunnahku dan sunnah Khulafair Rasyidin sepeninggalku”.
Jadi disana ada dua sunnah yang harus diikuti: “ Sunnah Rasul dan sunnah Khulafaur Rasyidin. “ Menjadi keharusan atas kita (generasi mutaakhirin) untuk merujuk kepada al-Kitab dan as-Sunnah dan jalan kaum mukminin. Kita tidak boleh berkata: “Kami mandiri dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah tanpa petunjuk Salafus as-Shalih”.
Demikian juga kita harus memiliki nama yang membedakan antara yang haq dan batil di zaman ini. Belum cukup kalau kita hanya megucapkan : “saya seorang muslim (saja) atau bermadzhab Islam. sebab semua firqah juga mengaku demikin, baik Syi’ah, Ibadhiyyah (salah satu firqah dalam Khawarij), Ahmadiyyah dan yang lainnya. Apa yang membedakan kita dengan mereka…?
Kalau kita berkata: “Saya seorang muslim yang memegangi al-Kitab dan as-Sunnah. Ini juga belum memadai, karena firqah-firqah sesat juga mengklaim ittiba’ terhadap keduanya. Tidak syak lagi, nama yang jelas, terang dan membedakan dari kelompok sempalan adalah ungkapan : “ Saya seorang muslim yang konsisten dengan Al-Kitab dan As-Sunnah serta bermanhaj Salaf, “ atau disingkat : “ Saya Salafy “.
Dari penjelasan Syeikh Nashiruddin Al-AlBani di atas kita bisa mengetahui bahwa yang menjadi dasar penetapan Manhaj Salafus Shalih sebagai Sumber Hukum Ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah, antara lain : Pertama, adalah firman Allah :
- وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا - النساء : 115
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Kata “ Sabilil Mukminin “ dalam beberapa tafsier diberi penjelasan sbb :
1 - القاسمى 2: 481 : و هو الدين القيم
- المراغى 5: 155 : سبيل اهل الهدى
- القرطبي 3: 385 : طريق المسلمين
- الصابونى 1 : 305 : ويتبع منهاجا غير منهاجهم
- الفخر الرازي 6: 43: غير دين الموحدين
- النسفى 1 : 282 : اي السبيل الذي هم عليه من الدين الحنفي
- المنير 5 : 271 : اي اتفق المجتهدين من امة محمد ص بعد وفاته فى عصر من العصور على حكم شرعي
Dari beberapa penafsiran di atas beberapa di antaranya menunjukan bahwa yang dimaksud dengan “ sabilil mu’minin “ itu adalah ajaran Islam, ajaran tauhid. Terutama jika dikaitkan dengan sababun nuzul ayat ini terkait dengan orang-orang kafir Quresy yang datang ke Madinah kemudian menyatakan diri masuk Islam, tapi setelah kembali ke Mekkah, kemudian mereka murtad dan kembali kepada kemusyrikan. Mereka meninggalkan Jalan orang-orang yang beriman yakni agama Islam, agama tauhid.
Syeikh Muhammad Mutawali Asy-Sya’rawi dalam tafsirnya 5 : 2637 menghubungkan kalimat “ Sabilil Mu’minin “ dengan ayat :
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ – الانعام : 153
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. ( QS. Al-An’am : 153 )
Jika ayat ini dikaitkan dengan hadits Nabi saw di atas yang menyebutkan bahwa umat Islam akan pecah menjadi 73 firqah / millah, semua masuk neraka kecuali satu, yaitu “ Ma Ana ‘Alaihi wa Ashabi “ yaitu mereka yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ayat di atas sulit untuk dijadikan argumentasi untuk menetapkan bahwa “ Manhaj Salafus Shalih “ adalah sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Argumentasi yang kedua :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا – النساء : 59
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
( QS. An-Nisa : 59 )
Argumentasi dengan menggunakan ayat ini untuk menetapkan “ Manhaj Salafus Shalih “ sebagai dasar ketiga, kiranya kurang relevan sekali. Karena kalimat “ Ulil Amri Minkum “ bersifat umum, dan bisa berlaku pada setiap zaman dan makan (tempat). Tidak hanya khusus zaman Sahabat sampai generasi Tabi’ut Tabiin. Dalam ayat ini juga dengan jelas dan terang, jika kita bertentangan atau berselisih dalam satu urusan, Allah hanya memerintahkan untuk kembali kepada Allah ( alQur’an ) dan Rasul ( As-Sunnah ), tidak ada perintah kembali kepada Ulil Amri.
Allah Maha Mengetahui , tidak semata-mata kata ATHI’U tidak diulang pada ULIL AMRI, demikian juga ketika umat berselisih dalam satu urusan, Allah hanya memerintahkan untuk kembali kepada Allah (Al-Qur’an ) dan Rasul ( As-Sunnah ) tanpa menyebut lagi ULIL AMRI, Semua itu pasti mengandung hikmah. Karena ketaatan kepada Ulil Amri itu ada batasannya, selama Ulil Amri menyuruh kepada ma’ruf. Ketika Ulil Amri menyuruh kepada maksiat ( karena memang terbuka kemungkinan melakukannya ), maka jangankan untuk ta’at, hatta mendengar saja dilarang. Dalam Hadits dijelaskan :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ عَلَيْهِ وَلَا طَاعَةَ – ر احمد ومسلم وابو داود والترمذي
Dari Ibnu Umar ra berkata, bersabda rasulullah saw : “ Wajib atas orang muslim untuk mendengar dan ta’at,( kepada pemimpin) baik dalam hal yang ia sukai ataupun tidak, selama tidak disuruh maksiat, jika disuruh maksiat maka tidak boleh mendengar dan menaatinya. “ ( HR. Ahmad, Muslim, Abu daud dan At-Tirmidzi )
Dalam hadits lain Nabi saw bersabda :
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ – ر ابو داود عن علي
Tidak ada ta’at dalam maksiat kepada Allah, sesungguhnya ta’at itu hanya pada kebaikan. ( HR. Abu Daud dari Ali bin Abi Thalib ra )
Argumentasi Ketiga :
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ - ر الترمذي عن العرباض بن سارية : ر 2600
“Aku berpesan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah, wajib mendengar dan taat meskipun (pemimpinmu itu ) seorang habsyi. Sesungguhnya barangsiapa yang berumur panjang, akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Hati-hatilah dengan urusan yang diada-adakan, sebab yang diada-adakan itu sesat. Barangsiapa diantara kalian dengan keadaan seperti itu, maka hendaklah ia mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafaur-Rasyidin yang mendapat petunjuk, pegang teguhlah dengan sungguh-sungguh. “ ( HR. At- Tirmidzi dari Al-Irbadh bin Sariyah : No. 2600 )
Berdasar hadits ini kita diperintahkan untuk mengikuti Sunnah Nabi saw. dan Sunnah para Khulafaur Rasyidin. Persoalannya Apakah kalimat atau sebutan “ Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyin” dalam hadits di atas dapat diberlakukan dalam pengertian umum yang mencakup semua Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabiin? Untuk kemudian diambil istinbath (kesimpulan) bahwa “ Manhaj Salafus Shalih “ sebagai sumber hukum Islam yang ketiga? Dari kata sifat “ Ar-Rasyidin dan Al-Mahdiyyin “ menunjukkan bahwa yang wajib diikuti adalah sunnah para khalifah yang mengikuti dan menaati dua sumber hukum yang ditinggalkan oleh Nabi saw. yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sesuai dengan jaminan Nabi saw. bahwa siapapun termasuk di dalamnya para khalifah yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak akan sesat selamanya, mereka akan termasuk “ Rasyidin “ ( terpimpin,lurus ) dan “ Mahdiyyin “ ( tetap dalam hidayah ).
Seperti sudah disebutkan di atas bahwa para Sahabat adalah generasi terbaik yang sudah mendapat pujian Allah dan Rasul-Nya, Kita berkewajiban menjadikan mereka sebagai uswatun hasanah dalam banyak aspek kehidupan, mendahulukan mereka dalam memahami nash-nash, baik al- Qur’an maupun As-Sunnah, Meski dalam kenyataan kita kerap kali dihadapkan kepada kesulitan memahami ayat dan atau hadits Nabi saw, ketika di antara sahabat Nabi saw sendiri terjadi perbedaan pendapat atau sikap, Lantas Sahabat manakah yang harus diikuti ? Kita juga membaca dalam tarikh, bahwa diantara para sahabat bukan hanya terjadi perbedaan pandangan atau pendapat dan penafsiran, bahkan juga konflik yang menyeret ke dalam kancah peperangan, seperti perang Jamal dan perang Sifin.
Dalam memahami nash, kita ambil contoh :
Tentang makna “ Au laamastumun Nisaa “ dalam QS. An-Nisa : 43 dan Al-Maidah :6 . Menurut riwayat Al-Baihaqi Ibnu Mas’ud ra. Berpendapat : “ Mencium itu termasuk Lamsu dan hendaklah berwudlu. Lamsu itu bukan bersetubuh . “ ( Nailul Authar 1 : 231 ). Sementara Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas menafsirkan “ Mulamasah “ itu dengan arti “ Jima / bersetubuh “. ( Tafsir Ath-Thabari 5:65; Subulus salam 1 : 66 ). Pendapat sahabat mana yang harus kita ambil?
Dalam menafsirkan QS. Ali Imran : 7
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. ( QS. Ali Imran :7 )
Tentang ayat mutasyabihat, di antara sahabat juga berbeda pendapat mengenai siapa yang mengetahui takwilnya. Ubay bin Ka’ab dan Siti Aisyah misalnya menyatakan hanya Allah yang tahu., sementara Ibnu Abbas menyatakan bahwa yang tahu tentang takwil ayat mutasyabihat bukan hanya Allah, tapi juga orang-orang yang luas dan dalam ilmunya ( Tafsir Al-Maraghi 3:100 ) . Pendapat sahabat yang manakah yang harus kita ikuti ?
Dalam Hadits riwayat Al-Bukhari dijelaskan bahwa adzan jum’at itu dilakukan apabila imam sudah duduk di mimbar, pada zaman Nabi saw, Abu Bakar, dan Umar. Maka pada masa khalifah Utsman, dimana manusia muslim semakin banyak, Utsman memerintahkan untuk menambah adzan ketiga ( kini sering disebut adzan awwal ) di Zaura ( sebuah tempat di pasar Madinah ).
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ – ر البخاري
Dari Saib bin Yazid ra berkata : “ Adzan pada hari Jum’at awalnya ketika imam sudah duduk di mimbar, pada zaman Nabi saw, Abu Bakar dan Umar. Pada zaman Utsman ketika manusia bertambah banyak, Utsman menambah adzan ketiga di Zaura. Menurut Abu Abdillah : Az-Zaura itu sebuah tempat di pasar Madinah. HR. Al-Bukhari.
Persoalan yang muncul : Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mana yang harus kita ambil dalam masalah ini ? Apakah yang berlaku di zaman Abu Bakar dan Umar dimana adzan Jum’at itu satu kali, atau cara Utsman dengan adzan dua kali ? Kalau kita adzan satu kali mengikuti apa yang dilakukan pada zaman Khalifah Abu Bakar dan Umar, berarti kita menafikan sunnah Utsman bin Affan, Padahal beliau juga Khulafaur Rasyidin ? Demikian juga sebaliknya.
Dari uraian sederhana ini, izinkan saya membuat beberapa catatan atau kesimpulan sebagai berikut :
- Kita tidak menemukan dalil yang sharih (jelas) yang menetapkan “ Manhaj Salafus Shalih “ sebagai Sumber Hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
- Rasulullah saw kita yakini paling paham mengenai makna kalimat “ Sabilil Mukminin “, tapi dalam sabdanya beliau hanya berwasiyat untuk berpegang teguh kepada dua perkara yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan jaminan kita tidak akan sesat selamanya.
- Menjadi sesuatu yang aneh, orang yang mengaku Salafy meragukan jaminan Nabi saw. yang secara terang, jelas dan gamblang menyatakan barang siapa yang berpegang teguh, kepada apa yang dipegang teguh oleh Beliau dan Para Sahabatnya yaitu al-Qur’an dan As- Sunnah tidak akan sesat selamanya, dengan mengatakan tidak cukup dengan al-Quran dan as- Sunnah, bahkan dengan sangat berani menilai sesat kepada siapa saja yang tidak berpegang teguh kepada sumber hukum yang ketiga yang disebut “ manhaj Salafus Shalih “.
- Kita yakin bahwa yang jadi pegangan para Salafus Shalih ( Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabiin ) dahulu juga hanya dua, yakni al-Qur’an dan As-Sunnah.
- Manhaj Salafus Shalih bukan sebagai Sumber Hukum, melainkan metoda atau jalan atau cara kita memahami nash-nash Al-Qur’an dan as- Sunnah yang didahulukan sebelum yang lainnya.
- Nabi saw sudah berpesan dalam hadits di atas , bahwa sebaik-baik perkataan adalah kitabullah ( Al-Qur’an ) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw ( As-Sunnah ) dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan ( Muhdatsatul umur ). Kita sangat kawatir menetapkan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah, apapun namanya akan termasuk “ Muhdatsatul umur “.
- Patut menjadi renungan kita semua apakah cara-cara dakwah dengan cara kasar, merendahkan, dan menghinakan itu sudah termasuk dakwah bil-hikmah, dan sesuai dengan cara dakwah Salafus Shalih ? Wallahu’alam.
Beberapa Perbadaan Masalah Fiqih :
Dalam masalah Fiqih sering terjadi, dari dalil-dalil yang sama dihasilkan kesimpulan hukum yang berbeda, disebabkan oleh perbedaan pemahaman atau Thuruqul Istinbath ( metoda pengambilan kesimpulan hukum ) yang berbeda pula. Misalnya :
Masalah “ Isbal “ :
Dalil-dalil tentang “ Isbal “ ( Melabuhkan kain, sarung, celana, atau gamis, dsb di bawah mata kaki ) yang dipakai oleh Salafy yang mengharamkannya secara mutlak, baik dengan niatan sombong ataupun tidak, dengan yang penulis pakai untuk mengambil istinbath hukum bahwa yang diharamkan itu Isbal dengan niatan sombong saja, ternyata sama.
Dalil-dalil tentang larangan Isbal itu ada yang muthlaq dan ada yang muqayyad. Dalil-dalil yang muthlaq misalnya :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ - ر احمد ووو مسلم و ابو داود والنسائي والترمذي
Dari Abi Dzar ra dari Nabi saw bersabda : “ Tiga golongan yang oleh Allah tidak akan diajak bicara pada hari kiamat, dan tidak akan memperhatikannya, tidak akan membersihkan (dosa)nya, dan bagi mereka siksaan yang pedih. “ Nabi saw mengatakannya tig kali. Abu Dzar berkata : “ Celakalah dan rugilah mereka, Siapakah mereka itu ya Rasulallah ?” Nabi saw menjawab : “ yang melabuhkan kainnya, yang menyebut-nyebut pemberiannya, dan yang menjual barang dagangannya dengan sumpa palsu. “ (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, An-Nasai dan At-Tirmidzi)