Istanbul - persis.or.id, Ghazi Abdullah Muttaqien (18) alumni PPI 19 Bentar Garut lulusan tahun 2018-2019 putra pertama dari pasangan KH. Husen Zaenal Muttaqien, Lc – Nenden, kembali mendapat kepercayaan menjadi utusan Indonesia, kali ini di ajang International Muslim Intellectual Forum (IMIF) 2020 Turkey di Istambul Turki.
“Saya mendapatkan tangung jawab yang besar untuk mengikuti International Muslim Intellectual Forum 2020 Turkey (IMIF 2020 Turkey) di Istanbul, Turki, sebagai satu-satunya utusan Pemuda Organisasi Kerjasama Islam (OKI) Indonesia untuk mempresentasikan paper terbaru yang saya tulis berjudul “Syed Muhammad Naquib al-Attas Thought on the Concept of Adāb and Its Relevancy to Palestine Liberation Struggle” sebanyak 451 halaman yang ditulis selama 35 hari,” katanya.
Menurut dia, isi paper tersebut membahas konsep adab dalam pandangan S.M.N. al-Attas dan relevansinya terhadap perjuangan pembebasan Palestina. Bahwasanya, apabila umat Islam kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, membudayakan budaya ilmu, serta bisa lolos dari kondisi loss of adab.
“Maka umat Islam akan dapat menyelesaikan berbagai problematika ke-umatan di berbagai sektor kehidupan, termasuk masalah Palestina. Sebab, melalui budaya ilmu dan penanaman adab, insyaallah umat akan segera bangkit dari keterpurukan dan kembali berjaya memimpin peradaban dunia,” ungkapnya.
Yang menarik, katanya, ternyata acara tersebut diselenggarakan di Universitas Ibn Haldun Istanbul sebagai vanue International Muslim Intellectual Forum 2020 Turkey yang diinisiasi oleh Organisasi Kepemudaan dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI) tingkat Dunia, yaitu Islamic Cooperation Youth Forum (ICYF) yang bertemakan “Intellectual Independence Towards Measurement and Development”. Konferensi Internasional ini dilaksanakan pada 21-24 Februari 2020.
Acara tersebut dihadiri oleh para sarjana dan Intelektual Muslim dari seluruh dunia sebagai pemakalah atau sebagai tamu kehormatan. Para delegasi yang hadir yaitu berasal dari Turki, Inggris, Indonesia, Amerika, Malaysia, Qatar, Spanyol, Mesir, Jerman, Austria, Sudan, Iran, Bangladesh, dan masih banyak lagi. Mereka yang hadir pada umumnya adalah orang-orang penting di Negaranya yang berasal dari Lembaga Negara, Institusi Islam, atau dari Universitas ternama di dunia. Para delegasi yang hadir kebanyakan adalah para sarjana Muslim yang sudah bergelarkan doktor atau professor.
“Dan saya sendiri alhamdulillah merupakan salah satu delegasi termuda (18 tahun) yang mengikuti Forum Intelektual Muslim Internasional tersebut dibawah pengawasan Organisasi Kerjasama Islam (OKI),” ucapnya.
Perhelatan besar ini dibuka Professor Recep Şentürk (Rektor University of Ibn Haldun) pada tanggal 22 Februari, setelah itu dilanjutkan dengan agenda panel presentasi paper dari para pembicara. Terkait forum ini, dalam pidato pembukaannya, Prof. Recep menegaskan “It’s about what we can offer to the world, not what we gain from it,” bahwasanya acara ini bertujuan untuk memberikan solusi untuk dunia internasional. Sebagai umat terbaik, Kaum Muslimin mesti memberikan kontribusi berharga bagi dunia, bukan malah menjadi ‘umat penerima bantuan’.
Sebagaimana dahulu pernah dipraktekan secara nyata oleh peradaban Islam yang gemilang. Setelah Prof. Recep memberikan sambutannya, kemudian dilanjutkan dengan orasi ilmiah dari Prof. Koutoubou Moustapha Sano (Minister in the Presidency, Republic of Guinea) yang bertemakan “Intellectual Independence: Theory and Reality”. Melalui Forum ini, Prof. K.M. Sano mendambakan akan munculnya sosok Neo-Mujtahid, Neo-Mujaddid, dan Neo-Mujahid, sebagai generasi pembaharu umat yang memberikan kontribusi berharga bagi kemajuan umat melalui ‘kemerdekaan intelektual’ seorang Muslim.
Sebab, menurutnya, kemerdekaan intelektual akan menjadi penyebab kebangkitan Umat Islam. karena hal tersebut akan menyokong kemerdekaan umat di berbagai sektor penunjang kehidupan yang lain, seperti dalam bidang Sosial, Ekonomi, Politik dan lainnya. Akan tetapi, untuk mencapai kemerdekaan intelektual yang ‘hakiki’ ternyata tidaklah mudah. Sebab, kita harus bisa berlapang dada untuk menerima sikap kritis serta menjunjung tinggi toleransi dalam berpikir dan bertingkah laku.
Perbedaan di dalam tubuh Umat Muslim jangan menjadi titik kelemahan kita. Akan tetapi, harus menjadi sumber kekuatan umat. Oleh karena itu, kita mesti memiliki nalar kritis dalam menyikapi berbagai perbedaan yang ada. Kata Prof. Sano; “To be intellectually independent, you must be willing to accept critism.”
Setelah pembukaan dan sambutan-sambutan, Konferensi Internasional IMIF 2020 Istanbul dilanjutkan oleh berbagai panel diskusi yang memiliki tema-tema yang menarik seperti “The Future of Muslim Youth Identity and Values in Digital Era”, “Futuristic Readings to: Youth, Marginalisation, Islamophobia”, “Research on Islamic Economic Development, Entrepreuneurship and Strategic Planning”, “The Question of Youth and Migration, Extremism and Conflicts”, “Intellectual Potential of the Classics”, dan “Youth and Gender Discourse in the Muslim World”. Selain itu, forum ini juga dikolaborasikan dengan berbagai workshop menarik yang merangsang diskusi antar para delegasi. Kajian terhadap berbagai tema tersebut disampaikan oleh para pemakalah yang mumpuni di bidangnya masing-masing.
Para pembicara yang hadir menjadi delegasi IMIF 2020 Istanbul antara lain berasal dari University of Ibn Haldun (Turki), University of Harvard (Amerika), International Islamic University of Malaysia (IIUM), International Law, and Global Political Studies (IMC University of Austria), Ebrahim College (Inggris), College of Islamic Studies, Hamad bin Khalifa University (Qatar), the United Nations-mandated University for Peace (UPEACE, USA), Zaytuna College (USA). Melalui forum internasional ini, banyak para cendikiawan Muslim kelas dunia yang memberikan gagasan-gagasan segar dan inovatif bagi kemajuan umat Islam dunia.
Sebagai delegasi termuda dari Pemuda Organisasi Kerjasama Islam (OKI) Indonesia, “saya berharap akan pulang ke Tanah Air membawa perubahan yang signifikan menuju kejayaan Kaum Muslimin dan Negeri Tercinta Indonesia. Semoga saya dapat menjadi sosok “Pembaharu Umat Islam” atau sebagai “Mohammad Natsir muda” yang dapat membawa nama baik Republik Indonesia di pentas Internasional serta kembali ‘disegani’ dunia Islam,” pungkas Ghazi Abdullah Muttaqien.
Sumber: raksagarutnews.com