Omnibus adalah sebuah metode dalam membentuk sebuah perundangan-undangan yang biasa dikenal sebagai metode sapu jagat. Metode ini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat pasca pidato pelantikan presiden pada tanggal 20 oktober 2019 yang menginginkan percepatan pengasahan undang-undang tipe Omnibus. Tipe regulasi seperti ini memang tidak dikenal dalam tata peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tetapi lebih dikenal di negara yang menerapkan sistem hukum Common Law seperti Amerika Serika ataupun Kanada dibanding dengan negara yang menerapkan sistem hukum Civil Law seperti di Indonesia. Sebagai sesuatu yang baru hadir ditengah masyarakat Indonesia, maka dalam penulisan artikel ini penulis akan memfokuskan untuk mengenalkan metode omnibus bill (law) baik dari segi definisi, sejarah, konsep dan kelebihan serta kekuarangan yang ada pada metode omnibus.
Pengertian Omnibus
Secara etimologi kata “Omnibus” berasal dari kata “omni” yang berasal dari bahasa latin dan “bus” yang berasal dari bahasa Inggris. Kata tersebut pada awalnya digunakan di Perancis untuk mengenalkan kendaraan panjang yang ditarik oleh kuda pengangkut orang disepanjang jalan utama kota Paris. Kendaraaan panjang kuda tersebut ada pada tahun1828 yang merupakan milik dari salah seorang penguasa bernama Staninlas Baudry yang membuat usaha transportasi untuk melayani warga kota Paris (Asshiddiqie. 2020:1).
Menurut Duhaim Legal Dictionary (http://www.duhaime.org/) Omnibus Bill memiliki makna “A draft law before a legislature which contains more than one substantive matter, or several minor matters which have been combined into one bill, ostensibly for the sake of convenience”. Dalam pengertian tersebut, Omnibus Bill (Law) adalah sebuah produk hukum legislative yang memuat lebih dari satu substansi materi atau beberapa kecil materi yang dimuat dalam satu perundang-undangan.
Herb Gray (Dalam Dodek. 2017:12) mendefinisikan omnibus bill adalah “The essential defence of an omnibus procedure is that the bill in question, although it may seem to create or amend many disparate statutes, in effect has one basic principle or purpose which ties together all the proposed enactments and thereby renders the bill intelligible for parliamentary purposes”. Dalam pengertan Herb Gray tersebut, omnibus bill adalah metode untuk mengubah banyak undang-undang yang berbeda serta memiliki tujuan untuk mengikat semua undang-undang dalam satu undang-undnag.
Jimly Asshiddiqie (2020:79) mengelaborasi makna omnibus bill sebagai berbagai undang-undang yang disusun dan dibentuk dalam sebuah kesatuan naskah di dalamnya terpusat pada materi yang terkait dengan judul. Maria Farida memaknai omnibus law sebagai sebuah undang-undang yang mengatur dan mengubah berbagai macam dari substansi serta berbagai macam subjek dalam rangka penyederhanaan perundang- undangan.
Dari pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa metode omnibus law (bill) adalah metode untuk menyederhanakan, mengubah, dan mengatur berbagai macam undang- undang
Sejarah Singkat Omnibus Bill (Law)
Omnibus Bill menurut O’Brien dan Bosch (Dalam Massicote. 2013:12) pertama kali digunakan pada tahun 1888, kasus pertama yang menggunakan metode ini adalah adanya pengesahan UU perkeretaapian yang mengabukan dua perjanjian yang terpisah. Tetapi menurut Ashiddiqie (2020:8) kasus lebih dulu dalam penggunaan omnibus legislative technique adalah Amerika Serikat bukan Kanada.
Pada abad ke-19 di Amerika Serikat pernah terjadi tiga kali penggunaan metode omnibus bills, yaitu pertama, berkaitan dengan sebuah peristia yang disebut dengan “The Compromise of 1850” yang dirancang oleh seorang senator bernama Henry Clay dari Kentucky, dia menghimpun 5 undang-undang yang terpisah menjadi satu undang-undang kemudian undang tersebut dinamai dengan “The Fugitive Slave Act”. Kedua, adalah “The Omnibus Act of June” pada tahun 1868 yang mengakui adanya 7 negara bagian baru di daerah selatan Amerika Serikat. Ketiga yaitu “The Omnibus Act of February, 22 1889” yang mengakui masuknya empat negara bagian baru yaitu Dakota Utara, Dakota Selata, Montana dan Washington State (Ashiddiqe. 2020:9).
Antara Amerika Serikat dan Kanada berdasarkan sajian di atas, negara yang pertama kali menggunakan metode omnibus dalam regulasi negaranya adalah Amerika Serikat yang dimulai pada tahun 1850 yang terkenal dengan adanya UU The Fugitive Slave Act. Sedangkan Kanada baru memulai menggunakan metode ini pada tahun 1888 dengan adanya Pengesahan undang-undang perkeretaapian yang bersumber dari dua dokumen perjanjian.
Dalam praktiknya omnibus bills di Amerika Serika kurang diterima secara luas dibandingkan dengan di Kanada. Negara-negara bagian di Amerika Serikat kebanyakan menolak bahkan melarang adanya praktik omnibus bills dalam regulasi mereka. Sehingga metode ini banyak digunakan dalam regulasi yang berada di tingkat federal (Ashiddiqie. 2020:10). Menurut Massicote (2013:14-15) terjadi banyak penolakan terhadap penggunaan metode ini, pada tahun 1901 pengadilan Commonwealth Pennsylvania pernah memutus sebuah perkara antara Commenwealth vs Barnett1, dalam putusan perkara tersebut dimuat sebuah penilaia negatif terhadap penggunaan metode omnibus bills dengan membandingkan dengan sebuah situasi sebelum adanya Amandemen Konstitusi Pensylvania pada tahun 1864 yang melarang satu rancangan undang-undang memuat lebih dari satu subjek. Dalam putusan tersebut hakim menyebut omnibus bills sebagai crying evil, adanya fasilitas untuk penyalahgunaan kepentingan-kepentingan untuk memaksakan
1 Berikut catatan hakim Pengadilan Commenwealth Pennsylvania tahun 1901 dalam kasus Barnett vs Commenwealth:
“Bills, popularly called omnibus bills, became a crying evil, not only from the confusion and distraction of the legislative mind by the jumbling together of incongruous subjects, but still more by the facility they afforded to corrupt combinations of minorities with different interests to force the passage of bills with provisions which could never succeed if they stood on their separate merits. So common was this practice that it got a popular name, universally understood, as logrolling. A still more objectionable practice grew up, of putting what is known as a rider (that is, a new and unrelated enactment or provision) on the appropriation bills, and thus coercing the executive to approve obnoxious legislation, or bring the wheels of the government to a stop for want of funds. These were some of the evils which the later changes in the constitution were intended to remedy.” Dikuti dalam Massicote Hal:14-15
pasal-pasal sempalan, dan memberikan kesempatan kepada para penunggang untuk menyelipkan pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan yang tidak berhubungan dengan dengan substansi undang-undang. Dengan adanya hal tersebut, menurut hakim, pemerintah dipaksa untuk tunduk kepada kemauan mereka dengan ancaman roda anggaran akan dihentikan. Alasan-Alasan inilah mengambarkan mengapa praktik penggunaan omnibus bills banyak pertentangan di Amerika Serikat .
Konsep Omnibus Technique
Konspe dasar dalam tekhnik pembentukan ini adalah pemebentukan undang-undang dengan cara mengubah beberapa atau banyak undang-undang yang memuat berbagai materik kebijakan yang saling berkaitan satu sama lain. Secara penyusunan, metode ini dapat tersusu dengan tiga kemungkinan yaitu:
- Satu atau beberapa undang-undang sekaligus dicabut dan diubah menjadi satu undang-undang baru
- Hanya beberapa pasal tertentu dari beberapa undang-undang sekaligus diubah dengan undang-undang baru, sedangkan undang-undang lama tetap berlaku dengan perubahan berdasarkan undang-undang yang baru
- Dengan terbentuknya undang-undang baru, ada satu, dua, atau lebih undang- undang yang lama dinyatakan dicabut atau tidak berlaku lagi dan adapula satu atau banyak undang-undang yang lama tetap berlaku dengan tetapi dengan perubahan pasal-pasal tertentu sesuai dengan adanya undang-undang baru.
Dalam kajian yang dilakukan di Vietnam sebagai langkah untuk diterapkannya pembentukam RUU dengan metode omnius maka yang direkomendasikan adalah pilihan pertama dan pilihan yang kedua. Pilihan pertama akan memudahkan pania perumus undang-undang yaitu tidak diperlukan lagi upaya konsolidasi naskah pada masa yang akan datang. Pilihan kedua sebagai alternatif yang ideal karena mengubah pasal-pasal tertentu saja dari berbagai undang-undang yang ada dengan satu undang-undang omnibus yang baru tanpa menyebabkan undang-undang lama dicabut. Namun, masih untuk masa selanjutnya masih perlu dilakukan konsolidasi naskah beberapa perundang-undangan (Asshiddiqe. 2020:36).
Kelebihan dan Kekurangan Tekhnik Omnibus
Semua hal yang ada di dunia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, termasuk dalam penggunaan tekhnik penyusunan regulasi dengan metode omnibus. Metode ini memeliki beberapa keunggulan Menurut Jimly Ashiddiqie yaitu
- Efisiensi waktu yang lebih effisien karena dapat menyelesaikan kebutuhan kebijakan-kebijakan baru melalui regulasi dalam satu proses tunggal pembentukan perundang-undangan
- Peraturan perundang-undangan dapat ditata menjadi lebih harmonis
- Ada jaminan kepastian hukum dan kebermanfaatan hukum yang dianggap lebih terjamin dengan menggunakan metode ini
- Kebijakan negara dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang mengikat seluruh warga negara dapat lebih mudah dimengerti serta lebih mudah diimplementasikan sebagai mana mestinya dalam praktek di lapangan.
Adapun kekurangan dari penggunaan metode omnibus ini adalah sebagai berikut
- Penurunan kualitas proses pembahasan tekhnis dari sebuah rancangan undang- undang
- Turunya kualitas dan kuantitas partisipasi public
- Turunya perdebantan subtantif di forum parlemen atas isu kebijakan untuk kepentingan umum
- Perdebatan di ruang publik melalui diskursus publik menjadi tidak jelas dan tidak terarah.
Menurut Massicote (2013:15) metode ini memiliki dua keuntungan yaitu effisiensi waktu dalam proses legislasi karena tidak perlu melakukan banyak perubahan perundang- undangan yang akan diubah tetapi hanya melalu satu rancangan akan merubah banyak regulasi. Yang kedua yaitu antara suara minoritas dan suara mayoritas di parlemen sama memiliki kesempatan yang sama. Dalam pandangannya, dengan banyak substansi yang diatur di dalam undang-undang tersebut membuat penolakan keseluruhan isi dari partai oposisi menjadi terhindarkan, sebab partai oposisi dalam satu sisi menolak suatu substansi tapi setuju dengan substansi yang lainnya. Menurutnya, metode ini memiliki kelemahan yaitu memiliki bahaya karena mencampurkan beberapa subjek yang berbeda sehingga membawa kebingungan bagi anggota legislative karena adanya ketidak sesuaian antar subjek.
Dalam pandangan Dodek (2017:9) metode ini memiliki keunggulan, ia menyebutkan “Omnibus bills are efficient because they permit the bundling of enactments or amendments to multiple statutes in a single bill. When these relate to the same subject matter, they may facilitate parliamentary consideration of that particular area”. Keuntungan yang didapat dengan menggunakan metode ini adalah adanya efisiensi pembentukan undang-undang hal tersebut dikarenakan amandemen banyak undang- undang dapat dilakukan hanya dengan satu undang-undang saja. Namun disisi lain, metode ini pun memiliki kekurangan, seperti yang dikatakan “omnibus bills make it difficult for parliamentarians to properly scrutinize a bill’s content and exercise their function in holding the government to account”, metode ini dapat menyebabkan parlemen sulit untuk memeriksa seluruh isi yang terdapat di dalam perundang-undangan hal itu akan menghambat fungsi-fungsi dari parlemenn.
Referensi
Ashiddiqie, Jimly. Omnibus Law dan Penerapannya di Indonesia. 2020. Jakarta: Konstitusi Press
Bedard, Michel. Omnibus Bills: Frequently Asked Questions. Legal and Legislative Affairs Division, Publication No. 2012-79-E. S.C 1868 C. 29
Dodek, M Adam. Omnibus Bills: Constitutional Constraints and Legislative Liberations.
Ottawa Law Review, Volume 48, No, 1, 2017.
Massicote, Louis. Omnibus Bills In Theory and Practice. Journal of Canadian Parliamentary Review, Vol. 36. No. 1. 2013
http://www.duhaime.org/LegalDictionary/O/OmnibusBill.aspx [Diakses: 28/11/2020).
***
Penulis:
Farhan Qudratulloh Ginanjar
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Sekretaris PW Hima Persis Jawa Tengah)