Masjid Sebagai Mahar Pernikahan

oleh Redaksi

04 Mei 2025 | 06:06

Masjid Sebagai Mahar Pernikahan

Bolehkah mahar dengan sebuah masjid?


Jawaban:


MAHAR dalam bahasa Indonesia disebut “maskawin”, yaitu suatu pemberian yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri setelah akad pernikahan. Pemberian mahar merupakan perintah Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:


وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِّهنَّ نِّحْلَةً فَإنْ طبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ منْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنيئًا مَريئًا.


Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati. (QS. An- Nisa [4]: 4)


Dalam al-Quran, “mahar” dikenal pula dengan beberapa istilah atau nama lain yang masing-masing memiliki pengertian, tapi kesemua pengertian itu satu sama lain saling mengisi, saling lengkap melengkapkan pengertian mahar yang sesungguhnya dan semestinya.


Demikianlah nama-nama lain bagi mahar itu tersebut dalam Al-Qur’an sebagai berikut :


Pertama, Shaduqat, kata ini serumpun dengan kata “shadaqa yang berarti “benar”,“tidak palsu” atau “perbuatan yang dilakukan dengan jujur”.

Kedua, Nihlah, yang berarti “suatu pemberian yang tidak mengandung ikatan yang merugikan” atau “keuntungan" yang tidak mengandung kerugian”.

Ketiga, Ujur, yang berarti “ganjaran” atau “pahala” yang tidak merupakan upah atau imbalan dalam suatu jual-beli, tapi adalah buah amal atau hasil perbuatan yang baik atau suatu penghargaan”.

Keempat, Faridhah, kata ini mengandung pengertian akan suatu pemberian atau suatu jumlah yang telah ditentukan banyaknya atau suatu bagian yang telah ditentukan besarnya.


Yang dapat dijadikan mahar ialah sesuatu yang halal, bermanfaat, bernilai dan disetujui oleh kedua belah pihak. Dalam hadits diterangkan;


عَنْ سَهْلِّ بْنِّ سَعْدٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْه وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللّه جِّئْتُ لاهبَ لَكَ نَفْسي فَنَظَرَ إلَيْهَا رَسُولُ اللّه صَلَّى الله عَليْه وَسَلَّمَ فَصَعدَ النَّظَرَ إلَيْهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَأْطَأَ رَأْسَهُ فَلَمَّا رَأَتْ الْمَرْأَةُ أَنَّهُ لَمْ يَقْض فيهَا شَيْئًا جَلَسَتْ فَقَامَ رَجُلٌ منْ أَصْحَابه فَقَال يَا رَسُولَ الله إنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بهَا حَاجَةٌ فَزَاوجْنيهَا فَقَالَ هَلْ عنْدَكَ منْ شَيْءٍ 

فَقَالَ لا وَالله يَا رَسُولَ الله قَالَ اذْهَبْ إلَى أَهْلكَ فَانْظُرْ هَلْ تَجدُ شَيْئًا فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ لََ وَاللّه يَا رَسُولَ اللّه مَا وَجَدْتُ شَيْئًا قَالَ انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا منْ حَديدٍ فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ لا واللّه يَا رَسُولَ الله وَلا خَاتَمًا منْ حَديدٍ وَلَكنْ هَذَا إزَاري قَالَ سَهْلٌ مَا لَهُ ردَاءٌ فَلَهَا نصْفُهُ فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْه وَسَلَّمَ مَا تَصْنَعُ بإزَاركَ إنْ لَبسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا منْهُ شَيْءٌ وَإنْ لَبسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ شَيْءٌ فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّى طَالَ مَجْلسُهُ ثُمَّ قَامَ فَرَآهُ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْه وَسَلَّمَ مُوَليًا فَأَمَرَ به فَدُعيَ فَلَمَّا جَاءَ قَالَ مَاذَا مَعَكَ منْ الْقُرْآن قَالَ مَعي سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا عَدهَا قَالَ أَتَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْر قَلْبكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ اذْهَبْ فَقَدْ مَلكْتُكَهَا بمَا مَعَكَ منْ الْقُرْآن.


Dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa'd bahwasanya, Ada seorang wanita mendatangi Rasulullah Saw dan berkata: "Wahai Rasulullah, aku datang untuk menyerahkan diriku padamu." Lalu Rasulullah Saw pun memandangi wanita dari atas hingga ke bawah lalu beliau menunduk. Dan ketika wanita itu melihat bahwa beliau belum memberikan keputusan akan dirinya, ia pun duduk.Tiba-tiba seorang laki-laki dari shahabat beliau berdiri dan berkata: "Wahai Rasulullah, jika Anda tidak berhasrat dengannya, maka nikahkanlah aku dengannya." Lalu beliau pun bertanya: "Apakah kamu punya sesuatu (sebagai mahar)?" Laki-laki itu menjawab: "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah." Kemudian beliau bersabda: "Kembalilah kepada keluargamu dan lihatlah apakah ada sesuatu? Laki-laki itu pun pergi dan kembali lagi seraya bersabda: "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak mendapatkan apa-apa?" Beliau bersabda: "Lihatlah kembali, meskipun yang ada hanyalah cincin besi." Laki-laki itu pergi lagi, kemudian kembali dan berkata: "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, meskipun cincin dari besi aku tak punya, tetapi yang ada hanyalah kainku ini." Sahl berkata: "Tidaklah kain yang ia punyai itu kecualihanya setengahnya." Maka Rasulullah Saw pun bertanya: "Apa yang dapat kamu lakukan dengan kainmu itu? Bila kamu mengenakannya, maka ia tidak akan memperoleh apa-apa dan bila ia memakainya, maka kamu juga tak memperoleh apa-apa. Lalu laki- laki itu pun duduk agak lama dan kemudian beranjak. Rasulullah Saw melihatnya dan beliau pun langsung menyuruh seseorang untuk memanggilnya. Ia pun dipanggil, dan ketika datang, beliau bertanya: "Apakah kamu punya hafalan Al Qur`an?" Laki-laki itu menjawab: "Ya, aku hafal surat ini dan ini." Ia sambil menghitungnya. Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu benar-benar menghafalnya?" Ia menjawab: "Ya." Akhirnya beliau bersabda: "Kalau begitu, pergilah. Sesungguhnya aku telah menikahkanmu dengannya dengan mahar apa yang telah kamu hafal dari Al Qur`an”. (HR. Al-Bukhari)


Dalam hadits lain, Nabi Saw sendiri pernah berkata kepada Ali ketika akan menikah dengan Fathimah:


أَعْطِّهَا شَيْئًا.


Berilah kepada Fathimah sesuatu (sebagai mahar).(HR. Abu Daud dan Nasaa'i,Nailul Authar 5:319).


Perkataan sesuatu yang ada pada hadis di atas meliputi semua macam barang, yang berharga atau tidak, kecil atau besar dan sebagainya. Dalam hadis diatas dapat difahami pula bahwa mahar dapat berupa jasa, disamping barang.


Kata Imam Ibnu Hazm: "Sah (nikah) dengan apa saja yang boleh disebut (َشْيئ) sesuatu walaupun sebutir syader (beras Belanda)". (Kata berjawab, I: 353-454) tidak terkecuali masjid juga termasuk َشْيئ (sesuatu).


Adapun jika masjid tersebut sudah diwakafkan pada hakikatnya menjadi milik Allah, maka terlarang untuk dijadikan sebagai mahar, sabda Rasulullah Saw tentang harta wakaf :


إِّنْ شِّئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِّهَا فَحَبَّسَ أَصْلَهَا أَنْ لََ تُبَاعَ وَلََ تُوهَبَ وَلََ تُورَثَ


"Apabila engkau menghendaki maka engkau bisa menahan pokoknya dan bersedekah dengannya." Kemudian ia menahan pokoknya dengan syarat tidak dijual, dan tidak dihibahkan serta tidak diwariskan. (HR. an-Nasai: 3544)


Namun jika masjid itu milik pribadi yang belum diwakafkan dan disetujui oleh kedua belah pihak maka dapat dijadikan sebagai mahar, walaupun hal ini tidak biasa. Meski secara hukum masjid boleh dijadikan sebagai mahar, namun sebaiknya mahar itu adalah sesuatu yang bermanfaat dan bernilai.


Kesimpulan:


  1. Masjid yang sudah diwakafkan tidakboleh dijadikan sebagaimahar;
  2. Masjid yang belum diwakafkan atau masih milik pribadi boleh dijadikan sebagai mahar
BACA JUGA:

Kesan Mendalam Jemaah Umroh PT. Karya Imtaq Saat Berbuka Puasa dan Tarawih di Masjid Nabawi

Reporter: Redaksi Editor: Gicky Tamimi