Oleh: Drs. Muhammad Yamin, M.H.
(Kantor Konsultasi dan Bantuan Hukum [KKBH] PP PERSIS)
Jessica Eve Stern yang lahir pada 11 September 1958 adalah seorang akademisi dengan latar keahlian bidang terorisme. Saat ini, dia menjabat profesor riset di Pardee School of Global Studies di Boston University, AS. Selain itu, sejak 4 Februari 2021 dia ditunjuk langsung Presiden Biden menjadi Utusan Khusus AS untuk mengawasi implementasi Memorandum Presiden AS dalam memajukan HAM dan LGBTQ+ di seluruh dunia.
Pada akhir bulan November 2022 lalu, tersiar press release dari U.S Department Of State yang menyatakan bahwa Stern akan melakukan kunjungan resmi ke beberapa negara Asean, termasuk Indonesia.
"U.S. Special Envoy to Advance the Human Rights of LGBTQI+ Persons Stern’s Travel to Vietnam, the Philippines, and Indonesia.”
(Perjalanan Utusan Khusus AS untuk Memajukan Hak Asasi Manusia LGBTQI+, Stern ke Vietnam, Filipina, dan Indonesia.)
NOVEMBER 28, 2022
”U.S. Special Envoy to Advance the Human Rights of LGBTQI+ Persons Jessica Stern will travel to Vietnam from November 28-December 2; the Philippines from December 3-6; and Indonesia from December 7-9. During her visits, Special Envoy Stern will meet with government officials and representatives from civil society to discuss human rights, including advancing the human rights of LGBTQI+ persons.”
28 NOVEMBER 2022
(Utusan Khusus A.S. untuk Memajukan Hak Asasi Manusia LGBTQI+ Jessica Stern akan melakukan perjalanan ke Vietnam mulai 28 November-2 Desember; Filipina dari 3-6 Desember; dan Indonesia pada 7-9 Desember. Selama kunjungannya, Utusan Khusus Stern akan bertemu dengan pejabat pemerintah dan perwakilan dari masyarakat sipil untuk membahas hak asasi manusia, termasuk memajukan hak asasi manusia LGBTQI+).
Pemerintah AS kemudian membatalkan agenda kunjungan Stern ke Indonesia, dengan pertimbangan potensi penolakan dan protes dari masyarakat Indonesia demi alasan kuatnya hubungan AS dengan Indonesia, karena begitu kuatnya penolakan masyarakat Indonesia terhadap misi Jessica Stern mewakili AS untuk mengkampanyekan LGBTQ+ di Indonesia. Pembatalan tersebut disampaikan oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Sung Kim, dalam pernyataan tertulis Kedubes AS Jakarta dikutip ANTARA, Jumat, 2 Desember.
Meski demkian, upaya pemerintah Joe Biden tersebut bisa dianggap sebagai suatu upaya pihak asing untuk mengintervensi opini dan nilai-nilai yang ada di Indonesia. Apalagi sebelumnya, pada Mei 2022, sempat terjadi pengibaran bendera "pelangi" yang menjadi simbol kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di Kedutaan Besar Inggris di Jakarta.
Dalam konteks hubungan antar bangsa yang sederajat dan setara, tentunya penting untuk saling menunjukan dan saling menghargai nilai-nilai dan norma yang berlaku di masing-masing negara. Upaya AS untuk mengampanyekan LGBTQ+ di Indonesia akan berarti satu tindakan terbuka untuk merongrong nilai dasar sekaligus ideologi bangsa, yaitu Pancasila dan UUD '45. Dan berarti pula ada asumsi hilangnya nilai hubungan yang sederajat dan setara antar kedua bangsa.
Harus diingat bahwa Pancasila dan UUD '45 merupakan kesepakatan para pendiri bangsa yang sudah bersifat final. Bahkan, saat UUD diamandemen pada era reformasi, dinyatakan bahwa pembukaan UUD yang di dalamnya ada teks Pancasila tidak boleh diubah. Sila pertama dasar dan ideologi negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, pun di dalam pembukaan UUD ’45 ada teks yang tidak bisa diubah yaitu, “...Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa...”.
Dari sila pertama Pancasila dan Pembukaan UUD ‘45 tersebut dapat dimaknai bahwa nilai-nilai keagamaan menjadi salah satu fondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam kaitan ini, semua agama yang diakui di Indonesia, terutama Islam, sama sekali tidak menoleransi LGBT, atau hubungan sesama jenis. Yang berarti bahwa LGBT, atau hubungn sesama jenis, bertentangan dengan Pancasila dan UUD ‘45.
Darurat LGBTQ+ di Indonesia
LGBT mulai ada di Indonesia sejak tahun 1960-an dengan adanya para waria yang berkeliaran di Jakarta dan semakin berkembang dengan terbentukya organisasi Hiwad (himpunan wadan-waria- Djakarta). Sejak itu, mulai bermunculan organisasi-organisasi LGBTQ. Sampai akhir 2013, tercatat dua jaringan organisasi LGBT yang menaungi 119 organisasi di 28 provinsi dari 34 kota besar di Indonesia. Seturut data PBB, pada tahun 2017 diprediksi jumlah LGBT di mencapai 3.000.000 jiwa [1]. Dari hasil survey CIA yang dilanscir sixpackmagazine.net diketahui bahwa populasi LGBT di Indonesia menduduki peringkat ke-5 terbesar di dunia setelah Cina, India, Eropa, dan AS [2].
Perkembangan populasi LGBT yang semakin meningkat harus diwaspadai akan memberi dampak buruk terhadap kehidupan sosial, bahkan para pelaku LGBT juga semakin terang terangan dan terbuka menunjukkan identitasnya, dan mempengaruhi masyarakat atau generasi muda lewat berbagai media informasi untuk menerima keberadaan LGBT secara terbuka. Dari data statistik didapatkan bahwa 8—10 juta populasi pria di Indonesia pada suatu waktu tertentu terlibat pengalaman melakukan aktivitas homoseksual, dan sebagian masih aktif [3].
Dengan kodisi fakta tersebut di atas, rencana kedatangan Jessica Stern dengan membawa misi pemerintahan Joe Biden untuk mengakomodasi dan memperkuat kampanye kelompok LGBTQ+ di Indonesia bisa menjadi berbahaya.
Pertama, konteks perang proxy. Proxy war yaitu perang tanpa bentuk yang terselubung dalam upaya menghancurkan suatu negara atau bangsa. Perang dengan mengangkat senjata sudah tidak terjadi saat ini di Indonesia. Namun, dengan memperuat kelompok LGBT+, yang diikuti semakin meluasnya penderita LGBT+ bisa melemahkan sendi-sendi kehidupan negara yang berpotensi menjadi senjata membunuh karakter bangsa. Dan bisa dimanfaatkan oleh suatu invisible hand yang menginginkan bangsa kita hancur dan terpuruk agar mereka bisa menguasai sumber daya alam yang negara kita miliki.
Harus dipahami bahwa menurut pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia III (Dep Kes RI,1998 :115 ), perilaku LGBTQ+ dimasukkan dalam kategori psikoseksual dan dimasukkan dalam kategori orientasi seksual egodistronik, yang bisa dimaknai lemahnya kesehatan mental. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa LGBTQ+ adalah penyakit mental yang mampu menghancurkan sendi-sendi ketahanan bangsa. Artinya, bila LGBTQ+ diperkuat dan semakin meluas, akan berdampak semakin lemahya ketahanan dan keamanan nasional.
Sebagai contoh, bila di masa lalu di China ada Perang Candu yang berhasil meruntuhkan ketahanan dan keamanan nasional bangsa China. Saat ini, salah satunya LGBTQ, bisa berfungsi sebagai alat untuk melemahkan pertahanan dan ketahanan nasional sebuah bangsa. Dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin bangsa Indonesia bisa runtuh jika mengacu pada teori “keruntuhan sebuah bangsa”, sebagaimana di jelaskan Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah.
Kedua, isu politik identitas gender. Menjelang pemilu serentak 2024, isu politik identitas menjadi salah satu topik yang menjadi kekhawatiran berbagai pihak. Namun, harus di fahami bersama bahwa identitas politik bukan hanya mengacu pada referansi agama atau etnis. Politik identitas umumnya mengacu pada subset politik di mana kelompok orang dengan identitas sosial atau budaya tertentu (bisa ras, agama, gender, bahkan kelompok) yang sama berusaha untuk mempromosikan kepentingan atau kepentingan khusus mereka sendiri.
Philosophy Talk mengatakan bahwa “gerakan feminis, gerakan hak-hak sipil, dan gerakan pembebasan gay (homoseksual) adalah contoh dari jenis pengorganisasian politik ini”, sementara Vox menambahkan bahwa fokusnya “biasanya jatuh pada wanita, ras minoritas, imigran, agama minoritas dan bahkan LGBTQ.” Dari kedua rumusan itu, terdapat satu kesamaan, yaitu pengorganisasian politik bisa didasarkan pada satu kesamaan frerefensi, yaitu LGBTQ+.
Misi Jessica Stern ke Indonesia untuk memperkuat dan mengkampanyekan LGBTQ+ bisa membahayakan demokrasi dan kelancaran hajatan politik di tahun 2024. Sebab, dengan menguatnya LGBTQ+ yang menumbuhkan kepercayaan diri kelompok (LGBTQ+), berpotensi melahirkan gerakan politik identitas gender yang berdasarkan referensi kesamaan “identitas politik LGBTQ+”.
Bila pada pemilu presiden 2019 yang lalu, Indonesia mengalami polarisasi yang akut karena adanya politisasi terhadap identitas politik keagamaan (Islam). Tentu seluruh elemen bangsa sangat tidak mengharapkan polarisasi demikian terulang lagi pada pemilu 2024 nanti. Dan tentu akan sangat aneh bila polarisasi politik bangsa disebabkan oleh menguatnya identitas politik LGBTQ+, atau “politisasi identitas politik LGBTQ+”. Apalagi di negara yang mayoritas muslim seperti Indonesia.
Mengingat jumlah preferensi politik LGBTQ+ yang bisa cukup besar (mencapai 1,2 % jumlah total pemilih), menguatnya identitas politik dan politisasi politik identitas LBGTQ+ bukan hal yang tidak mungkin. Dalam negara demokrasi yang cenderung liberal seperti Indonesia, kekuatan politik sedemikian, memiliki cukup amunisi dan kapasitas untuk mempengaruhi kebijakan politik, bahkan kebijakan publik bila iiringi dengan kemampuan mengorganisasi diri.
Bepijak pada rasionalisasi di atas, maka penolakan sejumlah elemen bangsa dan masyarakat Indonesia terhadap upaya AS melalui utusan khususnya untuk melakukan penguatan dan kampanye LGBTQ+di Indonesia, menjadi hal yang lumrah dan perlu. Tentu bangsa Indonesia yang terkenal akan keramahannya akan menerima dan bersikap baik kepada siapa saja yang berkunjung ke Indonesia. Namun, bangsa Indonesia juga mempunyai hak untuk menolak siapa pun yang datang, dengan misi yang berpotensi mendegradasi sendi-sendi dan nilai filisofis bangsa. Terutama menjelang pemilu serentak 2024, tentunya bangsa Indonesia juga harus mempertimbangkan antisipasi terhadap potensi polarisasi dan kekacauan politik.
Wallahu’alam Bisshawab
Catatan kaki
- Ahmad Syalaby, Berapa Sebenarnya Jumlah Gay di Seluruh Indonesia, Replubika,co.id, 23 Januari 2016, https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/01/23/o1e9ut394-berapa-sebenarnya-jumlah-gay-di-seluruh-indonesia, diakses 11 Februari 2019
- Qomarauzzaman, Sanksi Pidana Pelaku LGBT Dalam Persepktif Fiqih Jinayah, Raheema:Jurnal studi Gender dan Anak, http://jurnaliainpontianak.or.id/index.php/raheema/article/view/563, Pebruari 2016, Vol. 3 No. 1, diakses 1/02/2019
- 12 Zusy Aryanti, Faktor Resiko Terjadinya LGBT Pada Anak dan Remaja,http://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/nizham/article/.../904/737/. Diakses 11/02/2019
[]
Editor: dh
Foto: langit7.id