Penulis:
M. Adli Hakim S.H., M.H. dan Ilham Habiburohman S.Sy.
(Bid. Hukum, HAM dan Analisis Kebijakan Publik PP Pemuda PERSIS)
Menciptakan kehidupan keumatan dan keagamaan yang rukun barangkali menjadi tujuan dari Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 bahwa, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya……”. Dalam beragama tidak boleh ada paksaan, tidak juga intimidasi atau mengganggu keyakinan antar sesama. Kalimat menurut agamanya juga mengetengahkan nilai normatif bahwa ada batas-batas dalam setiap agama yang tidak boleh dicampuradukan. Justru dalam skala yang lebih jauh ketika nilai dan prinsip dalam satu agama dicampur dengan agama lain, mencederai kehormatan agama itu sendiri, melanggar nilai-nilai konstitusi, dan dapat dinyatakan sebagai sebuah tindakan yang dapat dihukum.
Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa kegiatan pidana yang berkaitan dengan agama dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kriteria: (1) Tindak pidana menurut agama, yaitu mencakup semua yang dilarang menurut agama, kendati hukum negara tidak menggolongkan tindakan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang. Dalam hal ini, pada umumya dijelaskan dalam kitab suci agamanya, seperti membunuh, berzinah, atau mencuri. (2) Tindak pidana terhadap agama, yaitu mencakup perbuatan dan/atau ucapan yang bersinggungan atau bertujuan untuk merendahkan keagungan dan kemuliaan Tuhan, sabda dan sifat-Nya, nabi/rasul, aktivitas keagamaan, institusi agama, kitab suci, tempat ibadah, dan sebagainya. (3) Tindak pidana yang berhubungan dengan agama atau kehidupan beragama, yaitu mencakup seluruh ucapan atau perbuatan yang dapat mengganggu ketenangan dan kenyamanan terhadap individu atau kelompok dalam melakukan aktivitas keagamaannya.
Penindakan terhadap kegiatan pidana yang berkaitan dengan agama diturunkan ke dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Pasal 1 secara tegas menyatakan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.” Pasal inilah yang menjerat Jemaat Ahmadiyyah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri dalam Negeri pada 2008, yang pada pangkalnya ajaran Ahmadiyyah dinilai menyimpang dari pokok ajaran agama Islam.
Mengapa PG pun dipermasalahkan? Jika dirunut, beberapa pernyataan PG yang tersebar di media sosial dan mengundang kontroversi, di antaranya: (i) Membolehkan perempuan sejajar dalam saf salat, tirai masjid/pembatas dianggap perbudakan, (ii) nonmuslim boleh ikut salat, (iii) membebaskan wanita memimpin salat termasuk (salat) Jum’at, (iv) Indonesia adalah tanah suci, (v) menyanyikan salam dalam Bahasa Ibrani (yang biasa dipakai oleh bangsa Yahudi), sampai (vi) menyebut MUI tidak otoritatif untuk menyatakan sesat dan tidak sesat.
Memang pada sebagian pernyatannya dapat memunculkan perdebatan fiqhiyyah, tetapi argumentasi yang PG sampaikan sebagian besar bukan berdasar atas dalil-dalil qath’i yang dapat dipertanggungjawabkan, justru lebih kepada berlindung atas nama undang-undang dan hak asasi manusia. Seperti, nonmuslim boleh ikut salat dengan alasan (i) memaknai salat secara definitive, yakni berdo’a; (ii) berdo’a bebas untuk siapa pun sebagai bentuk menghidupkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab (Pancasila), (iii) tidak ada larangan dalam Al-Qur’an, dan (iv) UUD 1945 melindungi kebebasan beragama.
Nabi saw. dan para sahabat, serta generasi setelahnya sejatinya menoleransi dalam kerukunan (sosial) beragama sangat dihormati dan dijunjung tinggi. Namun, barangkali PG lupa terdapat garis demarkasi yang sangat tebal dalam urusan-urusan keagamaan. Nabi tidak mau berkompromi untuk menggilir ibadah dengan kaum musyrikin, ataupun Khalifah Umar yang memilih salat di luar gereja ketika berada di Yerusalem padahal Umar tahu tidak ada larangan dalam Al-Qur’an soal ini.
Ketika mereka berdalih sebagai hak asasi manusia, mengapa untuk berkeyakinan, beribadah menurut kepercayaannya harus dihalangi? Ya, hak beragama pun harus tunduk pada sejumlah pembatasan. Pembatasan diperlukan dikarekanakan adanya kepentingan untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moralitas publik, dan perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain. Pernyataan PG telah meruntuhkan bangunan paling dasar dalam agama Islam, sehingga membahayakan keamanan, ketertiban bahkan melanggar hak orang lain. Dengan demikian, basis argumentasi yang PG sampaikan justru menyalahi UU itu sendiri dan tak memiliki pijakan pada nilai filosofis maupun dalil-dalil agama.
Oleh karenanya, delik yang membayangi PG di antaranya: (1) dinyatakan dimuka umum, (2) melakukan penafsiran yang pada pokoknya, (3) menyimpang dari ajaran agama Islam yang sifanya (secara tidak langsung) merendahkan kemuliaan Allah dan Rasulnya.