(Catatan Kritis atas PMA Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama)
Oleh: Muhammad Rizaldi Mina (Ketua Bidang Hukum dan HAM PP. Hima Persis 2022-2024 dan Divisi Pengkajian RUU dan Peraturan Perundang-Undangan BKBH PP.Persis)
Hukum itu harus mengalir –Prof.Satjipto Rahardjo-
Kadang sesuatu yang kita anggap tahu, sebenarnya kita tidak mengetahuinya –Ricardo Semler-
Introduction
Tepat pada tanggal 5 Oktober 2022, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas resmi menandatangani Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama dan akan mulai diundangkan sehari setelahnya. ini berarti sampai tulisan ini dibuat tanggal 20 Oktober 2022, PMA ini sudah diberlakukan.
Sebagai spirit untuk mewujudkan keadilan pada korban dan upaya pencegahan kekerasan seksual dalam dunia pendidikan terkhusus yang berlabel agama, upaya Menteri Agama perlu untuk diapresiasi meskipun ini merupakan bentuk reaksioner atas terbitnya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Konsekuensi dari dua peraturan ini adalah proses penanganan kekerasan seksual yang berjenjang dan sebagai tekanan untuk institusi pendidikan agar turut andil mendampingi korban memperoleh keadilannya dan ini tidak sama sekali menjadi masalah bagi mekanisme dan tertib peraturan perundang-undangan, aturan yang bergerak adalah murni keterlibatan dunia pendidikan dalam konteks advokasi di wilayahnya tersendiri.
Namun upaya baik Menteri Agama ini bukan berarti tanpa catatan, kritik perlu untuk dilontarkan agar menjadi semacam evaluasi dan narasi perbandingan bagi orang yang langsung Taken for Granted atau secara ideologis menyepakati PMA ini. Dalam konteks pasal, penulis tertarik untuk menakar ulang nalar hukum (legal reasoning) dari Pasal 1 Point 5 tentang Kekerasan Seksual, Pasal 5 tentang Bentuk Kekerasan Seksual terkhusus Point 2 Huruf B,D,dan J. ketertarikan penulis dilatarbelakangi oleh nalar feminisme liberal yang mencoba masuk untuk membentuk sebuah paradigma dalam pembentukan perundang-undangan, sebagaimana diketahui bersama bahwa lekat sekali antara gerakan feminisme dengan konsep gender, seks konsensual, maka nalar ini perlu diuji konsistensinya sejauh mana kekuatan yang melekat dalam manifestasinya sebagai sebuah konsep atau ideologi.
Menakar Isu Purba
Problem Relasi Gender dan Relasi Kuasa dalam PMA Nomor 73 Tahun 2022
Pasal 1 Point 5 PMA berbunyi sebagai berikut:
“Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang dan/atau fungsi reproduksi secara paksa atau tidak secara paksa atau bertentangan dengan kehendak seseorang atau dengan kehendak karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender yang menyebabkan seseorang mengalami penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, social, budaya dan/atau politik”.
Definisi ini dikembangkan oleh pemikir hukum bernama Chaterine MacKinnon dalam bukunya “Toward a Feminist Theory of the State” yang selalu menitikberatkan tentang relasi timpang laki-laki perempuan dan hadirnya objektifikasi dan subordinasi. Kinnon bertumpu pada persoalan persenggamaan, dalam bersenggama telah terpatri subjek (laki-laki) dan objek (perempuan),perempuan menjadi pasif dan laki-laki yang aktif, perempuan yang submisif dan laki-laki yang agresif. Konsekuensi dari perbedaan ini adalah terlahirnya dominasi yang terdefinisikan dengan kekuasaan (relasi gender based on power).
Di titik ini bagi MacKinnon, maka superioritas gender menjadi point penting dari lahirnya kekerasan seksual. Relasi gender ini bukan hanya mengakibatkan adanya subordinasi social terhadap perempuan, Niken Savitri dalam “HAM Perempaun” menyebutkan bahwa dampak dari relasi gender ini adalah sejarah produk aturan hukum tidak pernah ada yang memiliki nilai keadilan dan kesetaraan gender.
MacKinnon lantas memberikan penegasan bahwa hukum yang baik adalah yang terlepas dari engsel positifisasinya dan mulai melompat untuk mendengar pengalaman perempuan dalam relasi hukumnya dengan berbagai kasus. Inilah Feminist Legal Theory, dimana aturan hukum dan mekanisme peradilan tidak sah jika tanpa berbicara pengalaman peremuan. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kuasa hadir dalam penempatan maskulinitas dan feminitas sehingga narasi subjek objek menjadi dieksploitasi? Dan jikapun ada relasi kuasa dalam gender, mengapa bisa memiliki kaitan dengan seks? Apakah hanya terikat dengan relasi gender saja atau bahkan silang sengkarut berbagai relasi? Dan juga bagaimana fakta dengan generasi kita yang sudah mulai terbuka dengan seksualitas, apakah relasi gender masih relevan?
Sebelum mengurai beberapa persoalan diatas, dalam konteks ini juga penulis melihat konsepsi tentang relasi kuasa, relasi kuasa yang dimaksud masih dalam cara berfikir MacKinnon yakni relasi kelas, hal ini dikarenakan MacKinnon merupakan seorang Marxis dan banyak terpengaruh oleh Madzhab Frankfurt juga. Dalam konteks ini maka relasi seperti majikan dan pembantu, guru dan murid menjadi kategori kelas. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi titik tekan dari relasi kelas ini, apakah persetuan kedua belah pihak atau seperti apa?
Dari Gender Trouble ke Hilangnya Prinsip Lex Certa
bagi penulis ide soal relasi gender mendapatkan tantangannya ketika datang konsep dari Judith Butler dalam bukunya “Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity”, teori Butler berkaitan dengan performativitas identitas, maksudnya adalah identitas laki-laki dan perempuan atau kategori gender selalu berubah terus menerus dan tidak ajeg. Seperti misalnya hari ini penulis maskulin dan besok bisa jadi menjadi feminism. Teori ini hadir karena sex (kategori penis dan vagina) bukanlah sebuah spectrum biologis, melainkan sebuah konstruksi ideal yang dimaterialkan oleh waktu dengan cara memaksa dan terus menerus melalui norma pengaturan. Singkatnya seperti ini, tubuh itu materi kosong, tanpa sex dan gender, namun diisi oleh konstruksi ideal soal apa itu penis, vagina, maskulin, feminism.
Jadi Butler menantang para feminis dengan konsep seksualitasnya, bagi Butler feminis terlalu banyak berbicara soal sex yang dianggap ajeg (ini perempuan dan itu laki-laki), justru tidak ada yang sebenarnya perempuan dan laki-laki itu, semuanya adalah imitasi. Laki-laki mencoba untuk menjadi laki-laki dalam tubuh yang berpenis itu, perempuan berusaha menjadi perempuan dalam tubuh yang bervagina itu, demikian juga dengan waria yang berusaha menjadi feminine dalam tubuh yang berpenis itu, ataupun perempuan tomboy yang berusaha menjadi maskulin dalam tubuh yang bervagina itu.
Maka dalam konteks ini, definisi gender yang dibayangkan oleh PMA sudah goyang, siapa sebenarnya yang berkuasa dalam relasi gender? Laki-laki/maskulin? Bagaimana dengan waria atau laki-laki yang mengkategorikan dirinya feminim, apakah ketika dia melakukan pelecehan kepada laki-laki (yang dianggap alamiah) tidak masuk kategori pelecehan seksual karena dia adalah seorang yang mencoba mengimitasi tubuh menjadi feminine meskipun dia berpenis. Jadi relasi gender yang sarat akan kuasa itu harus dilekatkan kemana? Lantas bagaimana dengan seorang perempuan yang dia mengkategorikan dirinya sebagai yang maskulin lalu melakukan pelecehan seksual kepada perempuan yang feminine, lalu gender mana yang lebih berkuasa?
Hendri Yulius dalam “Tidak Semua Seks itu Jorok” mengutip pendapat Chimamando Ngozi Adichie yang menulis tentang kebaikan perempuan sama normalnya dengan kejahatan perempuan. Seringkali stereotype gender yang sadar tak sadar dilekatkan pada perempuan sebagai keibuan, pasif dan lemah lembut secara otomatis mengasumsikan perempuan sebagai korban. Konsekuensinya ketika perempuan melakukan kekerasan, ia di blow up, dianggap sesuatu yang abnormal. Anggapan selama ini mengekalkan perempuan selalu cinta damai atau lebih damai daripada laki-laki. Ini membuktikan bahwa perempuan dan laki-laki masih terjerat stereotype gender.
Selain itu yang menjadi pesoalan penting dalam konteks relasi gender dan relasi kuasa adalah persoalan power maskulinitas mengapa harus dilekatkan kepada tindak pelecehan seksual, jika maskulinitas dianggap lebih superior dari femininitas, lantas mengapa ekspresi superior itu harus melalui pelecehan seksual. Pertanyaan dilontarkan oleh seorang akademisi ilmu politik Laura Sjoberg “if rape were solely about power rather then about sex, then why don’t men just hit momen?” jika ini persoalan kejumawaan kuasa, mengapa laki-laki tidak memukul perempuan saja, mengapa harus melakukan pelecehan seksual. Jadi? Apa masih yakin relasi kuasa dan relasi gender masih relevan?
Dalam kesejarahannya kategori criminal itu hadir supaya tidak ada tafsir sepihak, menurut Dr.Deni Setyo Bagus,S.H. dalam bukunya “Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana” pada abad ke-17 sebelum revolusi Perancis, yang ada hanyalah peradilan pidana “Arbitrium Judicis” atau suatu peradilan yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk mengkualifikasikan perbuatan pidana. Maka revolusi Perancis membuat pendekatan baru agar raja tidak secara sepihak melakukan sesuatu dengan menunggangi hakim, maka asas legalitas hadir agar hukum dapat terikat secara kodifikasi dan hakim terbatasi kewenangnya dengan trias politica. Asas legalitas memiliki empat prinsip dan satu diantaranya tidak ada teks yang multi interpretasi (Lex Certa). Jelas relasi gender bersifat multi interpretasi.
Persoalan Seksual Consent dalam Bingkai Legal Heurmeneutics
Generasi millennial dihadapkan pada persoalan baru dari aktivitas seksual, mulai dari Friends With Benefits (Perzinahan dengan modus teman, maksudnya “gue lo tidur bareng dan having sex tapi kita tetep temenan aja”) sampai One Night Stand (perzinahan yang sering terjadi di beberapa sektor seperti club malam, aplikasi prostitusi dan dating Apps) menjadi fenomena sehari-hari. Dalam perspektif islam ini dikategorikan sebagai perzinahan yang masuk dalam kategori “Al-Kabaa’ir” atau dosa-dosa besar. Akar dari ini semua adalah interaksi laki-laki dan perempuan yang sudah meruntuhkan sekat-sekat syar’I dan nilai moral yang hidup dalam masyarakat, atau kasarnya hari ini sudah terjadi pencerabutan sendi moralitas yang dulu berdimensi spiritual menjadi seperti sekarang ini dalam bingkai yang sekularistis. Salah satu yang menjadi persoalan pelik adalah tentang seksual consent, PMA menggunakan prinsip ini juga dalam membuat kategori kekerasan seksual meskipun tidak langsung.
Seksual consent sebenarnya bukan hadir tanpa persoalan, diantara persoalan seksual consent hadir sebagai berikut:
1. Persoalan batasan usia dalam perkara consent, pada konteks PMA ini dapat dilihat dalam pasal 13 persoalan tentang penindakan. Secara Legal Heurmenetics bahwa terlapor dari peserta didik dibatasi sampai 18 tahun. coba kita sedikit renungi, bayangkan seseorang menjadi subjek hukum dan terkena aturan hanya krena perbedaan satu hari. Sebagai contoh, hari ini tanggal 20 Oktober 2022 penulis masih 17 tahun, dan esok tanggal 21 Oktober 2022 penulis lantas berusia 18 tahun dan langsung dianggap cakap hukum dan bisa untuk berhubungan konsensual asal tidak melanggar delik pelecehan, kalau penulis melecehkan, maka penulis sudah terkena delik dan bisa dipenjara. Tunggu dulu, apakah perbedaan hari itu dapat membuktikan seseorang faham atau tidak mengenai seks? Ditengah arus informasi yang deras, sulit kiranya kita dapat berteguh pada pegangan bahwa anak di bawah 17 tahun tidak mengerti soal seks. Mereka pasti mengerti.
2. Persoalan mengungkapkan “iya” atau “tidak” dalam ajakan seksual, bagaimana kalau “ya” dan “tidak” tidak terucap secara lisan dalam verbal, namun kemudian dengan gestur seperti itu mengundang interpretasi yang berbeda. Dalam Media John Barker,Dkk bahwa ungkapan “tidak” ini bukan berarti tidak, bisa jadi seseroang sedang melamun, tipe melamun dan masih banyak lagi.
Pada point B,D Pasal 5 menghadapi persoalannya yang serius pada saat ada pertanyaan seperti bagaimana mengukur atas ketersinggungan. Tersinggung itu soal “merasa” dan “tidak merasa". Bagaimana jika nanti suatu saat ada kejadian seorang lelaki memperhatikan perempuan dengan seksama karena mengira perempuan itu temannya padahal orang lain, tapi karena perempuan itu tersinggung akhirnya di laporkan. Namun pointnya adalah ini sarat akan subjektifitas.
Penulis ingin berada di standing position soal eksplorasi definisi dalam PMA cukup terhadap persoalan vitalnya saja, tidak ada urgensitas dan logika hukum yang dapat diterapkan dalam perspektif ini. Yang ada adalah objektifikasi habis-habisan dan tuduhan criminal yang masih dari mereka yang dianggap melakukan kekerasan seksual. Jadi ukuran benar salah dalam relasi laki-laki dan perempuan direbut paksa oleh perempuan dan ini mengganggu demokrasi. Dan juga terakhir, cara intimasi orang pasti berbeda-beda, ada yang menyapa dan lainnya, jika itu kategori pelecehan seksual maka ini berbahaya. (*)