Kajian 14 Pasal Krusial dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)

oleh Reporter

12 Oktober 2022 | 21:44

Lahirnya Persatuan Islam (PERSIS) pada tahun 1923 di Indonesia membawa gagasan tentang Harakah Tajdid (Gerakan Pembaharuan) yang dalam manifestasinya melakukan purifikasi terhadap ritus yang melenceng dari nilai fundamental Islam, Harakah Tajdid PERSIS juga memiliki sisi politisnya dan ini dapat dilihat dari banyak kader PERSIS yang ikut terlibat dalam pertarungan wacana kenegaraan. Spirit politis PERSIS memiliki dimensi total internalisasi nilai profetik dan syariah hadir harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka sudah menjadi konsekuensi historis dan teologis bahwa PERSIS hari ini pun masih berdiri mengawal setiap kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan agar tidak bertentangan dengan nilai syariat islam.

Pada hari Rabu 12 Oktober 2022 Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Pimpinan Pusat Persatuan Islam diundang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam acara Mudzakkarah Hukum Nasional dan Hukum Islam dengan tema “Kajian Kritis atas 14 Isu Krusial RKUHP”. Pada acara tersebut BKBH PERSIS menyorot dan menanggapi beberapa point pasal sebagai berikut:

1. Pasal 2 dan Pasal 597 tentang Hukum yang Hidup dalam Masyarakat

Dalam point ini BKBH PERSIS bersepakat dengan semangat mempertahankan nilai kultural Dari hukum yang berkembang di masyarakat dengan menggeser paradigm unifikasi hukum ke dalam pluralism hukum. Namun terdapat catatan dalam Pasal 2 Ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut:

Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab

Kami menilai bahwa standarisasi UUD NRI Tahun 1945, HAM dan asas umum yang diakui masyarakat beradab sudah terangkum semuanya dalam pancasila. Selain itu standarisasi HAM dan peradaban hari ini bertumpu pada worldview sekuler barat yang justru ini bisa merusak nilai adat yang khas akan lokalitas normanya. Bahkan UUD NRI Tahun 1945 sekalipun menerangkan secara spesifik tentang HAM dalam Pasal 28 dan ini dikhawatirkan menggunakan cara pandang sekuler barat yang nantinya bertentangan dengan masyarakat adat. Kekhawatiran ini berdasar pada teori abjeksi dari Julia Kristeva yang menerangkan bahwa sesuatu yang tidak sesuai dengan modernitas (sekuler barat) itu bisa dianggap yang liyan dan akhirnya tidak terdokumentasikan. Dengan standar UUD NRI Tahun 1945, HAM dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab alih-alih menjaga warisan hukum leluhur adat namun yang terjadi adalah pemaksaan standar sekuler barat. Oleh sebab itu, pancasila sebagai volksgeit yang menyerap saripati nilai masyarakatlah yang paling tepat untuk menjadi tumpuan dan acuan penggunaan hukum adat di wilayah adat tersebut.

2. Pasal 67,98,99,100,101 dan 102 tentang Pidana Mati

Pidana mati merupakan mekanisme hukum yang paling purba di dunia, manusia selalu berkreasi tentang hukuman sepanjang nalarnya berkreasi tentang sesuatu, awalnya hukuman mati menggunakan batu, hingga peradaban menemukan alat tajam yang dapat dijadikan barang untuk mengeksekusi si terpidana, lantas menemukan bubuk mesiu dan akhirnya hukuman dengan tembak mati, menemukan obat untuk menghilangkan nyawa secara perlahan. Namun pada pointnya, dalam konteks peradaban hukuman, maka yang dipertontonkan adalah mencari cara agar hukuman mati tidak menyakitkan. Dalam islam. Allah SWT menggunakan skema pemaafan dan diyat terlebih dahulu untuk memberikan hukuman mati. Maka dalam konteks pidana mati menjadi pidana alternative dalam pasal 98, BKBH PERSIS menyepakatinya karena ini selaras dengan prinsip nilai syariat islam.

Namun dalam konteks hukuman percobaan dalam Pasal 100 dan 101 kami menilai pasal ini perlu untuk dihapus, mengingat bahwa pasal ini berpotensi menghilangkan efek jera dari terdakwa kasus berat nantinya, selain standar 10 tahun percobaan itu ketentuan syaratnya bersifat multi interpretasi dan ini bertentangan dengan asas hukum lex certa.

3. Pasal 218 dan Pasal 220 tentang Penyerangan dan Harkat Martabat Presiden dan Wakil Presiden

BKBH memandang bahwa DPR RI perlu untuk bersikap arif dan bijaksana dengan tidak memasukkan pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) ini ke dalam RKUHP. Hal ini dikarenakan pasal ini Mengembalikan semangat kolonialisme, karena sejatinya iklim anti kritik dengan dalih melindungi martabat pemimpin adalah warisan penjajahan belanda yang saat itu masih kental dengan nuansa feodal, selain itu Penghinaan atau gospeel tidak bisa dilekatkan pada sebuah jabatan. Itu bisa dilekatkan pada individu dan terkait penghinaan dalam konteks ini sudah diatur pada kuhp lain dan juga Presiden dan wakil presiden itu jabatan publik yang langsung dipilih oleh rakyat dalam konteks negara demokrasi justru jabatan presiden dan wakil mesti dikritik agar tidak masuk ke jurang otoritarianisme. Namun jika pasal ini masuk, maka rentan terjadi multitafsir yang mengakibatkan para pelaksana bisa memasukkan kritik kepada kategori penghinaan.

4. Pasal 252 tentang Menyatakan Diri Dapat Memiliki Kekuatan Gaib

Dalam konteks pasal ini, BKBH PERSIS sebagai lembaga PERSIS tegas memberikan persetujuannya. Hal ini dikarenakan seni berdemokrasi adalah bertumpu pada argumen rasional yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara koherensi dan korespondensi. Maka apabila praktik mengaku-ngaku hal gaib ini menyebar, ini akan berdampak kepada kecerdasan dan nalar publik yang baik dan benar, terlebih dapat menimbulkan efek kerugian, tindakan ini merupakan tindakan kemusyrikan dan bertentangan dengan nilai nilai ketuhanan yang terdapat dalam sila pertama pancasila, Sejak awal berdirinya, PERSIS memiliki konsentrasi terhadap isu-isu Takhayul bid’ah dan Khurafat, sehingga dalam konteks pemidaan terhadap orang orang yang mengaku mempunyai ilmu ghaib merupakan satu terobosan hukum yang sangat baik untuk kecerdasan bangsa.

5. Pasal 276 tentang Dokter atau Dokter Gigi yang Melaksanakan Pekerjaannya Tanpa Izin

BKBH PERSIS menilai bahwa pasal ini lebih bijkak dihapus, hal ini dikarenakan menjalankan profesi dokter, dokter gigi, dan tukang gigi tanpa ijin tidak dikenakan sanksi penjara menurut Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang diperkuat dengan Putusan MK 40/PUU-X/2012.

6. Pasal 281 tentang Contempt of Court

BKBH PERSIS menilai pasal ini perlu ada perbaikan, hal ini dikarenakan contempt of court harus memiliki ukuran yang jelas, peristiwa upaya menciderai fisik harusnya yang menjadi konsentrasi pemidanaan. Namun itu juga sudah masuk dalam pidana upaya kekerasan. Maka alasan pasal ini harus diperbaiki adalah karena pasal ini mengandung nilai subjektifitas yang sangat tinggi. Hakim bisa dengan mudah memberikan klasifikasi bahwa seseorang contempt of court tanpa disertai alasan yang dibenarkan secara hukum.

7. Pasal 278 tentang Unggas yang Merusak Kebun yang Ditaburi Benih

Pasal ini memiliki nilai perlindungan kepada para petani, oleh sebab itu BKBH PERSIS menilai dalam konteks wilayah pedesaan masih sangat relevan, mengingat kerugian yang dapat terjadi akibat gagal panen tersebut. Hal ini masuk dalam kategori kelalaian sang pemilik ungags yang mengakibatkan hilangnya objek garapan yakni kebun seorang yang sedang menggarapnya.

8. Pasal 282 tentang Advokat yang Curang

BKBH PERSIS menilai standard an kategori curang sangat tidak bisa dijelaskan secara sempurna dalam pasal ini. Oleh sebab itu BKBH PERSIS mengusulkan agar pasal ini dihapus.

9. Pasal 304 tentang Penodaan Agama

BKBH PERSIS dalam konteks ini sangat menyepakati terhadap pasal tersebut, hal ini dikarenakan Pasal ini mampu menjaga ketertiban dan menghindari konflik horizontal dan perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting), bangsa indonesia tidak dapat dilepaskan dari identitas keagamaan, oleh sebab itu kesucian agama dan penganut agama harus dilindungi, selain itu juga mengacu kepada UU nomor 1/PNPS 1965 dalam hal ini semangat perlindungan terhadap entitas yang berkembang dan kepercayaan yang menubuh dikalangan rakyat Indonesia.

10. Pasal 342 tentang Penganiayaan Hewan

Bagi BKBH PERSIS pasal ini juga memiliki urgensitas yang sangat berarti, hal ini dikarenakan Dengan semangat Q.S An Nur ayat 41 yang menerangkan bahwa semua makhluk hidup bertasbih kepada Allah. Maka sebagai prinsip nilai teologis, maka penyalahgunaan hewan dapat ditindak pidana. Alasan yang paling kuat adalah bahwa mereka merupakan makhluk hidup yang layak akan harmoni kehidupannya, selain itu juga Dalam prinsip green constitution ada nilai dalam praktik bernegara yang disebut ecokrasi, maka konsekuensi nya penyalahgunaan terhadap hewan dan lingkungan adalah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan juga. Apabila hewan tersebut berhenti lestari, maka manusia pun akan terpengaruh dalam sisi harmoni ekosistemnya.

11. Pasal 414, 415 dan 416 tentang Alat Pencegah Kehamilan dan Pengguguran kandungan

KKBH PERSIS menganggap terdapat urgensitas dalam pasal ini, alasannya adalah ketentuan ini untuk memberikan pelindungan kepada anak agar terhindar dari seks bebas, sebab aborsi lazim diketahui adalah pilihan pasangan diluar pernikahan yang merasa anak adalah aib karena dilakukan diluar ikatan yang sah.

12. Pasal 431 tentang Penggelandangan

KKBH PERSIS menganggap bahwa Pemidanaan ini diperlukan sebab konteks gelandangan dewasa ini hadir sebagai profesi yang tersistematis dan tak jarang mereka yang menggelandang itu meminta-minta secara memaksa dan mengganggu masyarakat, Namun sebagai catatan, pihak pelaksana nantinya perlu bisa menginverntarisir mana gelandangan yang secara sosial dia memang tidak sejahtera dan terpaksa menggelandang dan mana gelandangan yang dia itu hadir dengan perintah dan memiliki petinggi.

Jika terdapat pertanyaan “apakah gelandangan ditanggung oleh Negara atau tidak?”, maka jawabannya adalah tidak, hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-X/2012 yang berbunyi sebagai berikut:

Pelarangan hidup bergelandangan merupakan soal yang tidak berkaitan dengan kewajiban negara untuk memelihara  fakir  miskin  dan  anak-

anak terlantar. Pelarangan hidup bergelandangan            merupakan pembatasan yang                     menjadi kewenangan negara, sedangkan memelihara fakir miskin dan anak- anak terlantar merupakan kewajiban konstitusional negara yang harus dilakukan dengan memperhatikan kemampuan negara. Manakala negara dengan kemampuan yang ada belum sepenuhnya dapat melaksanakan kewajiban tersebut tidak dapat menjadi alasan untuk membolehkan warga negara hidup bergelandangan. Dengan demikian hal tersebut tidak menjadi alasan pembenar bagi siapapun untuk melanggar hukum, melakukan             penggelandangan, mengabaikan ketertiban umum, dengan alasan negara belum melaksanakan                    kewajibannya memelihara fakir miskin dan anak- anak terlantar. Sebagai negara hukum, negara harus membangun sistem hukum yang harus dipatuhi oleh masyarakat dan ditegakkan oleh aparat hukum.

13. Pasal 469 tentang Pengguguran Kandungan

Pasal ini merupakan bagian dari progresifitas moral di negara indoneisa, ditengah terpaan perilaku seks bebas yang merajalela, maka hukum sebagai a tool of social enginereeng atau mesin perekayasa sosial hadir untuk membuat pencegahan atas praktik seks bebas. Konsekuensi dari seks bebas adalah kehamilan dan karena hamil diluar ikatan pernikahan adalah aib, maka tak jarang perilaku menggugurkan kandungan adalah pilihan. Maka dengan pasal ini, hukum sebagai perekayasa dapat mencegah sedari awal penyebab penggugurannya, yakni seks bebas. Maka KKBH PERSIS menyepakati pasal ini masuk dalam KUHP.

14. Pasal 417,418 dan 479 tentang Perzinahan, Kohabitasi dan Perkosaan

Larangan perzinaan adalah living law atau hukum dan ekspresi moral yang hidup di masyarakat dan melekat juga sebagai norma kesusilaan dan kesopanan. Hukum positif sebagai hukum yang berlaku wajib untuk menyerap itu dan mentransformasikannya kepada kaidah hukum nasional agar terciptanya rasa keadilan di masyarakat. Maka pasal ini merupakan salah satu progresifitas aturan dalam RKUHP.

Pasal ini juga merupakan penghormatan kepada lembaga perkawinan, sebab ikatan itu tidak dapat dikategorikan secara bebas. Pasti melekat dengan, istri, suami, orang tua dan anak. Maka ada aspek materiil yang dirugikan ketika seseorang berbuat zina bagi ikatan tersebut.

Untuk kohabitasi sendiri hari ini marak hadir dalam peradaban modern, millennial menyebutnya sebagai living together atau hidup bersama kekasih tanpa ikatan pernikahan. Jika hal ini dibiarkan tanpa proses rekayasa hukum untuk mencegahnya, maka nilai sacral pernikahan yang dihormati oleh Negara.

Begitu juga dengan perkosaan, pemerkosaan adalah bentuk upaya pemaksaan seksual yang nantinya dapat mengakibatkan trauma mental yang berat bagi korbannya.

Oleh sebab itu maka BKBH PERSIS dengan tegas menyetujui pasal-pasal ini masuk dalam KUHP.

 

Demikianlah kajian dan pendapat yang diberikan oleh BKBH PERSIS, hal ini menjadi sebuah bukti konsistensi Persatuan Islam dalam mengawal kepentingan islam sebagai harakah tajdid dalam ranah politik kenegaraan.

 

Mengetahui:

Direktur BKBH PERSIS
Drs.H.Yudi Wildan Latief,S.H.,M.H.                      

Sekretaris Direktur BKBH PERSIS
Zamzam Aqbil Raziqin,S.Sy.,M.H.

 

 

Reporter: Reporter Editor: admin