Kemandirian Ekonomi dan Masa Depan PERSIS

oleh Henri Lukmanul Hakim

30 November 2025 | 21:54

Ketua Bidang Maliyah

Kemandirian Ekonomi dan Masa Depan PERSIS



Oleh

Aay Mohamad Furkon

(Ketua Bidang Maliyah dan Ijtimaiyah PP PERSIS 2022-2027)


Musyawarah Kerja Nasional IV (Muskernas IV) Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP PERSIS) di Yogyakarta pada akhir tahun 2025 menjadi panggung penegasan visi organisasi: "Kemandirian Jamiyah untuk Kemaslahatan Umat dan Bangsa." Tema ini, sebagaimana ditekankan oleh Ketua Umum PP PERSIS, Dr. KH. Jeje Zaenudin, bukanlah sekadar slogan moral, melainkan sebuah strategi struktural yang mendalam, yang memerlukan penguatan pada dua pilar utama: sumber daya insani dan sumber daya ekonomi. Visi kemandirian ini dapat dianalisis sebagai upaya signifikan untuk institusionalisasi gerakan dakwah dalam menghadapi modernitas, pasar, dan tantangan pembangunan nasional


Sosologi ekonomi memandang bahwa tindakan dan keputusan ekonomi, termasuk pendanaan organisasi keagamaan, selalu tertanam (embedded) dalam konteks sosial, budaya, dan struktur kekuasaan jamiyyah itu sendiri, yang menjadi kunci analisis kita.


Pendekatan sosiologi ekonomi klasik, terutama dari perspektif Karl Polanyi, memperkenalkan konsep "disembedding," yaitu upaya pasar untuk melepaskan aktivitas ekonomi dari kontrol norma dan institusi sosial. Dalam konteks organisasi keagamaan, ketergantungan finansial pada sumber daya di luar kontrol organisasi berisiko pada erosi norma dan pergeseran orientasi dakwah.


Program kerja dapat bergeser, secara halus atau terang-terangan, mengikuti kepentingan pragmatis atau ideologis donatur, bukan sepenuhnya berdasarkan manhaj (metode) dakwah dan kemaslahatan umat yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, Visi Kemandirian Ekonomi PERSIS adalah respons struktural terhadap risiko disembedding ini, yang berupaya memelihara integritas ideologi melalui kontrol atas basis materialnya.


Visi kemandirian ini bertujuan untuk menginstitusionalisasi sumber daya keuangan melalui mekanisme internal yang terstruktur, memastikan bahwa alokasi sumber daya diatur oleh etika dan tujuan organisasi. Hal ini secara langsung mengarah pada penguatan modal sosial internal PERSIS yang menjadi fondasi utama. Ketika umat berdonasi, berinvestasi, atau berpartisipasi dalam unit usaha jamiyyah, hal itu secara otomatis meningkatkan kepercayaan (trust) dan jaringan (networks) di antara anggota dan pimpinan. Modal sosial ini, yang berupa hubungan timbal balik dan norma solidaritas, merupakan aset non-material yang jauh lebih berharga daripada sekadar uang tunai, sebab ia adalah pengikat bagi soliditas internal organisasi yang sangat didambakan.


Lebih lanjut, tindakan ekonomi yang dilakukan oleh PERSIS, misalnya melalui pengembangan amal usaha atau unit bisnis, dirasionalisasi bukan semata-mata oleh motif laba murni, tetapi oleh tujuan sosial-keagamaan yang lebih tinggi. Ini adalah contoh klasik dari rasionalitas substantif (sesuai dengan nilai-nilai Islam dan organisasi) yang mengontrol rasionalitas instrumental (efisiensi dan maksimalisasi keuntungan) dalam kerangka pemikiran Max Weber. Dalam hal ini, keuntungan finansial adalah alat, bukan tujuan akhir, yang berfungsi untuk membiayai dakwah, pendidikan, dan kesejahteraan sosial umat.


Kontrol nilai atas ekonomi ini membedakan amal usaha jamiyyah dari perusahaan kapitalis biasa, menjadikan ekonomi PERSIS sebagai bentuk ekonomi solidaritas.

Ustadz Jeje Zaenudin secara eksplisit menyinggung perlunya kekuatan materi sebagaimana analogi jihad dalam Al-Qur'an, menunjukkan pemahaman bahwa kekuasaan struktural organisasi di masyarakat sangat bergantung pada kapasitas finansialnya. Kekuasaan ini tidak hanya bersifat politik, tetapi juga kemampuan untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas tinggi, memberikan layanan kesehatan, dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi umat secara mandiri. Kemandirian ekonomi akan memposisikan PERSIS sebagai aktor pembangunan yang kuat, mampu berkolaborasi secara setara dengan institusi negara maupun swasta, bukan sebagai pihak yang hanya mengandalkan subsidi atau belas kasihan eksternal.


Dua pilar kemandirian yang diusung PERSIS, yakni Insani (Kualitas SDM) dan Ekonomi (Kekuatan Materi), menciptakan sebuah lingkaran penguatan (virtuous cycle) yang berkelanjutan. Pilar Ekonomi mendanai institusi pendidikan PERSIS yang berkualitas, yang kemudian menghasilkan Pilar Insani (kader ulama, guru, dan profesional) yang berintegritas dan kompeten. Pilar Insani inilah yang pada gilirannya akan mengelola dan mengembangkan kembali Pilar Ekonomi (amal usaha, koperasi, dan yayasan) dengan profesionalisme tinggi, sehingga modal sosial dan modal material organisasi terus tumbuh secara sinergis.


Model ini menjamin keberlanjutan misi jamiyyah melampaui masa kepemimpinan tertentu.

Namun, mewujudkan visi ini memerlukan transformasi dari "ekonomi berbasis sumbangan" menjadi "ekonomi berbasis produksi dan investasi." Organisasi perlu memanfaatkan aset wakaf dan kepemilikan yang ada—tanah, bangunan, dan institusi—untuk menghasilkan pendapatan berkelanjutan (endowment funds). Hal ini memerlukan pergeseran budaya dari pola pikir berbasis pengeluaran jangka pendek ke pola pikir berbasis investasi jangka panjang, yang berfokus pada pertumbuhan modal inti. Kegagalan dalam melakukan transformasi ini akan membuat organisasi tetap rentan terhadap fluktuasi donasi dan kondisi ekonomi makro.


Langkah selanjutnya adalah profesionalisasi tata kelola amal usaha secara serius, sebuah kebutuhan yang tak terhindarkan dalam perspektif sosiologi ekonomi kontemporer. Unit-unit bisnis organisasi harus dikelola dengan prinsip korporatisasi yang ketat, memisahkan manajemen profesional dan akuntansi dari urusan jamiyyah struktural, sembari tetap berada di bawah pengawasan syariah dan etika organisasi. Manajemen yang profesional ini harus diisi oleh kader-kader Insani yang telah terlatih, sehingga menghindari risiko inefisiensi dan konflik kepentingan yang kerap menghambat pertumbuhan entitas ekonomi berbasis komunitas.


Selain itu, kemandirian ekonomi menuntut mobilisasi social network anggota dan simpatisan PERSIS yang berprofesi sebagai pengusaha atau profesional. Mereka harus diintegrasikan secara sistematis ke dalam jaringan ekonomi jamiyyah, baik sebagai investor, mitra bisnis, maupun penyedia jasa. Strategi ini bertujuan menciptakan ekonomi sirkular internal yang kuat, di mana daya beli dan investasi anggota diarahkan untuk memperkuat ekosistem ekonomi PERSIS. Jaringan ini bertindak sebagai mekanisme reciprocity atau timbal balik, di mana keuntungan individu dan organisasi saling menguatkan.


Penegasan bahwa tema Muskernas ini merupakan "estafet dari tema sebelumnya," yang disampaikan oleh Ustaz Haris Muslim, menggarisbawahi adanya kontinuitas institusional dalam strategi PERSIS. Ini menunjukkan bahwa kemandirian bukanlah program ad-hoc, melainkan sebuah komitmen strategis jangka panjang yang terintegrasi dalam rencana pembangunan organisasi 2022–2027. Kontinuitas ini penting untuk membangun path dependency yang kuat, di mana keberhasilan pada fase awal secara otomatis akan mempermudah dan memperkuat langkah-langkah strategis pada fase berikutnya, menjadikan visi ini semakin sulit untuk diubah atau dibatalkan.


Secara ringkas, Muskernas IV di Yogyakarta telah menegaskan kembali komitmen PERSIS untuk membangun basis material yang otonom sebagai jaminan keberlanjutan basis ideologis dan normatifnya. Ini adalah langkah strategis yang menggarisbawahi betapa pentingnya faktor ekonomi dalam perjuangan dakwah modern. Kemandirian ekonomi bukan sekadar upaya mencari dana, melainkan sebuah “proyek dakwah” untuk memperkuat institusi, mengamankan nilai, dan meningkatkan kekuasaan struktural PERSIS demi kemaslahatan yang lebih luas bagi umat dan bangsa Indonesia di masa depan.

Dalam konteks yang lebih luas, keberhasilan PERSIS dalam mencapai kemandirian ekonominya akan menjadi model bagi organisasi massa Islam lainnya dalam menjawab tantangan modernitas. Hal ini akan menunjukkan bahwa organisasi berbasis nilai dapat beroperasi secara profesional dalam pasar tanpa mengorbankan integritas idealisme mereka. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana jamiyyah mampu menjaga keseimbangan antara efisiensi pasar dan etika sosial-keagamaan, sebuah dilema abadi yang selalu dihadapi oleh setiap institusi yang berupaya menyeimbangkan profit dengan purpose.


Yogyakarta 30 November 2025

BACA JUGA:

PP PERSIS Berangkatkan 36 Santri ke Mesir