Oleh: Ustaz Amin Muchtar (Sekretaris Dewan Hisbah PP PERSIS)
Sebagai insan beriman, kita sadar bahwa setiap insan masing-masing mempunyai kelemahan. Namun terkadang kita lupa bahwa kelemahan inilah yang menyebabkan manusia berkembang dan berbahagia.
Karena di balik kelemahan itu terdapat potensi kemajuan, terjadi moderenisasi dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan teknologi, sehingga terjadi perubahan dipelbagai sektor kehidupan.
Sejak zaman Nabi Adam hingga sekarang ini, manusia senantiasa berusaha untuk menghilangkan kelemahan dirinya juga kelemahan orang lain, agar mendapatkan kehidupan yang lebih nikmat dan terhormat.
Namun karena sadar terhadap kelemahannya itu, pada suatu kondisi tertentu manusia bisa berubah menjadi “makluk buas” yang berbahaya bagi sesamanya. Menjadikan orang lain sebagai korban hawa nafsunya.
Oleh karena itu, Islam mengajarkan umatnya agar senantiasa memperhatikan kelemahan dirinya juga kelemahan orang lain.
Pengajaran demikian kita dapatkan antara lain dari satu peristiwa ketika Rasulullah Saw hendak menyembelih kambing, para sahabat sibuk mencari dan memperhatikan kelemahan kawannya.
Seorang sahabat menghadap Rasul seraya berkata “Ya Rasulallah ‘alayya dzabhuha (wahai Rasulullah biarlah saya yang menyembelihnya)”.
Melihat hal ini, sahabat yang lain tidak tinggal diam, lalu ia berkata, “Alayya salhuha (biarlah saya yang mengulitinya)”.
Demikian pula sahabat yang lain berkata, “Alayya thabkhuha (Biarlah saya yang memasaknya)”.
Rasulullah Saw begitu berbahagia melihat sikap pengurbanan para sahabatnya, namun beliau memandang masih ada satu kelemahan yang harus ditutupi.
Karena itu, beliau segera menutupinya dengan mengatakan, “Alayya jam’ul hathabi (biarlah saya yang mencari kayu bakarnya)”.
Peristiwa ini menjadi ibrah bagi kita, bahwa sudah sepantasnya bila kaum muslimin saling memperhatikan kelemahan saudaranya.
Setelah dipelajari, barulah ia menyingsingkan lengan baju untuk menutupi kelemahan itu menurut kemampuan masing-masing, baik dengan harta, tenaga, maupun pikiran.
Dengan diketahuinya kelemahan orang lain, maka terbukalah lapangan yang luas untuk beramal salih, bertaqarrub kepada Allah dengan penuh ketakwaan.
Apabila jiwa pengurbanan demikian telah tertanam pada setiap insan, maka tidak perlu ada si miskin menangis, si faqir meringis, orang yang merasa terasingkan hidup di daerah terpencil, dan merasa kesepian hidup di kota metropolitan.
Apabila jiwa qurbani seperti ini tetap segar dan mendarah daging pada diri tiap pemimpin, maka tidak akan ada pegawai negeri yang merasa kekurangan gaji, ibu rumah tangga berkeluh kesah, pemuda yang bejat moral dan kehilangan pegangan hidup serta masa depannya, sehingga masyarakat menjadi aman dan tentram.
Namun sebaliknya, apabila jiwa qurbani seperti tidak terpatri pada diri insani, niscaya kelemahan orang lain itu bukan dijadikan modal untuk beramal salih melainkan dijadikan kesempatan dalam kesempitan, dijadikan korban hawa nafsunya, sehingga kehidupan penuh dengan kemunkaran.
Al-‘Aaidiin wa al-‘Aaidaat, Para Abdi Pencari Ridha Ilahi Zat Maha Suci
Ketika Rasulullah Saw mendapatkan tugas amar ma’ruf nahi munkar, kaum jahiliah merasa tertutup ruang geraknya untuk memanfaatkan kelemahan orang lain, menguras keuntungan.
Maka diutuslah Utbah bin Rabi’ah membawa misi untuk membujuk Rasul agar berhenti berdakwah, dengan memberikan ganti rugi apabila Rasul merasa rugi dengan berhentinya tugas itu.
Mereka berani melakukan hal demikian, karena beranggapan bahwa bagaimana pun kuatnya manusia tak ubahnya seekor banteng tetap saja ada kelemahan, akan tunduk pada tuannya apabila dicocoki lubang hidungnya. Demikian pula halnya dengan Rasulullah Saw.
Maka Utbah membawa misi untuk menundukkan kelemahan Rasul, sehingga Rasul menuruti kehendak kaum jahiliah.
Datanglah Utbah ke hadapan Rasul, kemudian ia meminta agar beliau menutup kegiatan dakwahnya, mengakhiri perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran, dicari-cari titik kelemahan beliau seraya menawarkan ganti rugi. Utbah berkata,
يَا بْنَ أَخِيْ إنْ كُنْتَ إنَّمَا تُرِيدُ بِمَا جِئْتَ بِهِ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ مَالًا جَمَعْنَا لَكَ مِنْ أَمْوَالِنَا حَتَّى تَكُونَ أَكْثَرَنَا مَالًا
"Hai anak saudaraku, jika di balik misi dakwahmu itu tiada lain sesungguhnya engkau menginginkan sejumlah harta yang banyak, niscaya kami himpun untukmu dari harta-harta kami hingga engkau menjadi orang yang paling banyak hartanya di kalangan kami.”
Utbah berani menawarkan harta kepada Rasul, karena ia memandang bahwa manusia lemah ketika berhadapan dengan harta.
Karena kelemahan terhadap harta itu, manusia menjadi lupa akan kewajiban dan hakikat perjuangannya.
Di samping itu Utbah pun berusaha menawarkan yang lainnya,
وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ بِهِ شَرَفًا سَوَّدْنَاكَ عَلَيْنَا حَتَّى لَا نَقْطَعَ أَمْرًا دُونَكَ
“Jika di balik itu engkau menginginkan kedudukan yang terhormat niscaya kami menjadikanmu sebagai orang yang berkuasa atas kami, dan kami tidak berani memutuskan suatu perkara pun tanpa seizin Anda.”
وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ بِهِ مُلْكًا مَلَّكْنَاكَ عَلَيْنَا
“Jika di balik itu engkau menginginkan kerajaan, niscaya kami mengangkatmu menjadi raja kami.”
Utbah berani menawarkan pangkat dan tahta sebab manusia lemah pula ketika menghadapi tahta. Demi tahta rela menyembunyikan kebenaran.
Demikian pula manusia lemah pada saat menghadapi wanita. Karena lemahnya menghadapi wanita, maka manusia diperas dan diumpan dengan aneka ragam penampilan wanita.
Namun anggapan mereka pada diri Nabi Saw demikian itu ternyata keliru, sebab beliau telah menjaga dirinya dengan perisai keimanan dan ketakwaan yang luar biasa, sehingga beliau tidak lemah lagi ketika berhadapan dengan harta, tahta, maupun wanita.
Beliau menolak tawaran ganti-rugi dari Utbah dan tetap setia menjalankan tugas amar ma’ruf nahi munkar.
Al-‘Aaidiin wa al-‘Aaidaat, Para Hamba yang Tetap setia dan Berusaha Menggapai Derajat Mulia di Hadapan Zat Maha Kaya
Hari ini kita menyaksikan kembali hewan kurban bergelimpangan. Darahnya mengalir memerahi bumi yang fana ini.
Setelah menunaikan baktinya, mereka melepaskan nyawanya dengan memberi banyak manfaat kepada manusia.
Sebelum disembelih, tenaga mereka dimanfaatkan untuk menarik bajak di sawah atau gerobak di jalan.
Sesudah disembelih, dagingnya bermanfaat menjadi gizi makanan manusia, kulitnya jadi pelindung kaki manusia, tulangnya jadi kancing baju manusia, segalanya bermanfaat. Mereka banyak berqurban untuk membantu kehidupan manusia.
Kini rabalah diri kita, qurban apakah yang sudah dibaktikan kepada Zat Maha Rahman? Qurban apakah yang sudah diberikan kepada sesama hamba Zat Maha Kuasa?
Mudah-mudahan dengan Idul Adha yang setiap tahun datang menyapa kita dapat mengembalikan semangat dan jiwa qurbani sehingga tetap segar dan mendarah daging pada diri kita masing-masing.
تقبل الله منا ومنكم
أقول قولى هذا وأستغفر الله لي ولكم والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Bandung, 10 Dzulhijjah 1444 H/29 Juni 2023 M
Disampaikan dalam Khutbah Iedul Adha, di Masjid Istiqamah Jl. Taman Citarum, Bandung
[]