Penulis:
Syarif Hidayat dan Dudung Abdul Rohman
(Bidgar Dakwah PW PERSIS Jabar)
Gema Muktamar XVI PERSIS sudah mulai menghangat. Hajatan akbar jamiyyah lima tahunan ini rencananya akan digelar 23—26 September 2022 di Soreang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Sedianya muktamar ini dilaksanakan pada tahun 2020, tetapi karena pandemi covid-19 yang membatasi aktivitas dan mobilitas sosial diputuskan diundur dua tahun. Meskipun demikian, antusiasme jamaah untuk menyambut gelaran muktamar ini tetap masih sangat besar. Ini terlihat pada gelaran Silaturrahim Akbar (Silatbar) & Grand Launching Muktamar XVI PERSIS dan Bagian Otonom PERSISTRI, Pemudi PERSIS, dan Himi PERSIS pada 27 Agustus 2022 lalu di Stadion Si Jalak Harupat Soreang, Kabupaten Bandung. Acara tersebut dihadiri berpuluh-puluh ribu warga PERSIS yang datang dari tiap-tiap daerah.
Ini tentu menjadi energi positif untuk kesuksesan penyelenggaraan muktamar supaya menghasilkan keputusan-keputusan terbaik untuk jamiyyah PERSIS lima tahun ke depan. Karena sejatinya, muktamar itu bukan hanya serimonial, melainkan yang paling esensial adalah menentukan arah perjuangan PERSIS ke depan supaya lebih baik lagi.
Secara esensial, penyelenggaraan Muktamar XVI PERSIS kali ini bisa dipandang spesial atau istimewa. Mengapa? Karena bertepatan dengan usianya yang menjelang satu abad (99 tahun). Sebagaimana disebutkan dalam Qanun Asasi PERSIS Pasal 1, bahwa jamiyyah PERSIS didirikan di Bandung pada tanggal 1 Shafar 1342 H/12 September 1923 M. Berarti, tinggal satu tahun lagi usia jamiyyah ini genap satu abad. Tentu ini capaian prestasi tersendiri yang mesti disyukuri. Ternyata PERSIS mampu eksis hingga hari ini melakoni jalan dakwah dan melayani umat di bidang sosial keagamaan berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Juga sekaligus menjadi momentum untuk mentafakkuri (merenungkan) perjuangan dan perjalanan dakwah PERSIS, supaya terus berkreasi dan berkonstribusi bagi kemaslahatan umat dan masyarakat secara luas.
Maka, tepat sekali jika tagline muktamar kali ini mengusung tema “Transformasi Gerakan Dakwah PERSIS untuk Mewujudkan Islam Rahmatan lil-’Alamien dalam Bingkai NKRI”. Tema ini semakin meneguhkan eksistensi PERSIS yang tetap istikamah di jalan dakwah, untuk mewujudkan Islam yang kaffah (paripurna) dengan membawa misi menyebar rahmat untuk semesta alam, wa bilkhusus di negeri Indonesia yang kita cintai.
Lahirnya Mujaddid Baru
Berkenaan dengan usianya yang menjelang satu abad, ada hal yang penting untuk direnungkan dan dipertimbangkan bersama, khususnya bagi warga PERSIS. Mengingat terdapat suatu hadits tentang kemunculan seorang mujaddid (pembaharu) pada tiap seratus tahun sekali. Dalam haditsnya, yang mulia Rasulullah saw. bersabda, “Innallaha yab’atsu ilaa hadzihi al-ummah ‘alaa ra’si kulli miati sanatin man yujaddidu lahaa diinahaa, ‘sesungguhnya Allah membangkitkan bagi umat ini pada setiap puncak seratus tahun orang yang akan memperbarui agamanya’.” (HR Al-Hakim)
Apabila disepakati di internal Jamiyah untuk menetapkan Tuan A. Hassan sebagai mujaddid paruh pertama abad kedua puluh (karena beliau dipandang guru utama PERSIS), pertanyaannya yang sangat mendasar adalah siapa mujaddid sekarang ini? Mungkinkah jamiyyah PERSIS mampu melahirkan mujaddid berikutnya, atau justru PERSIS menjadi jamiyyah yang harus “terombang-ambing” dengan pemikiran-pemikiran keagaman di sekelilingnya. Maksudnya, dulu PERSIS sangat disegani karena ide-ide tajdid-nya yang mampu menggegerkan jagat harakah islamiyyah dan menjadi lokomotif harakah anti kejumudan dan kemapanan.
Namun, hari ini boleh jadi PERSIS-lah yang terkondisikan dengan kemapanan itu sendiri. Dengan kata lain, dulu PERSIS pandai mengkritik paham dan praktik keagamaan yang dipandang menyimpang, tetapi kini PERSIS justru menjadi jamiyyah yang malah menikmati kemapanan pemikiran.
Terlepas dari dialektika tersebut, nampaknya saat ini di internal jamiyyah muncul kerinduan dengan kemunculan sosok A. Hassan dan M. Natsir (tanpa mengenyampingkan tokoh-tokoh PERSIS lainnya) pada era sekarang. Dua sosok kepemimpinan yang pernah mengharubirukan ranah pergerakan Islam, baik dalam dunia ilmiyah (keilmuan) maupun siyasah (perpolitikan). Amat berat memang mengharapkan kondisi yang sama pada masa sekarang ini, karena tantangan dan permasalahannya tentu sangat berbeda dan kompleks.
Memang terkadang dirasa indah jika hanya bernostalgia dengan masa lalu tanpa mampu memprediksi ke masa yang akan datang. Apalagi apabila kita merenungkan hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang mengisyaratkan bahwa masa pertama selalu lebih baik ketimbang masa-masa berikutnya. Generasi pertama selalu lebih unggul daripada generasi selanjutnya. Rasululllah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maa zamanun ya’tii ‘alaikum illa asyarru min al-zaman al-ladzi kaana qablahu, ‘tiada suatu masa melintas kepadamu, kecuali masa tersebut lebih buruk daripada masa sebelumnya’.” (HR Ahmad). Ini merupakan sinyalemen Nabi saw. sebagai perenungan supaya kita terus berjuang menghadirkan generasi-generasi terbaik untuk masa yang akan datang.
Ini pun menggambarkan bahwa kondisi yang dihadapi sekarang seakan lebih sulit daripada kondisi ketika A. Hassan dan M. Natsir masih hidup. Namun demikian, bukan berarti kita putus asa akan pertolongan Allah untuk menegakkan panji Islam yang berlandaskan pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan manhaj yang benar. Tinggal sudah sejauh mana upaya yang dilakukan untuk menyiapkan generasi saat ini dalam menyongsong kemajuan Islam secara luas, pada masa sekarang dan yang akan datang. Kita tidak akan ditanya tentang prestasi yang sudah ditorehkan oleh pendahulu kita di masa lalu. Paling kita belajar dan berkaca pada kesuksesan masa lalu. Tentu pertanyaan bagi kita, prestasi dan legasi apa yang sudah diperbuat untuk investasi kemaslahatan masa depan. Dalam Al-Qur’an ditegaskan,
“Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS Al-Baqarah [2]:141)
Dalam konteks ini, Malik bin Nabi, seorang intelektual muslim asal Aljazair (1905-1973) pernah mengemukakan, bahwa kebangkitan umat itu harus memenuhi syarat-syaratnya yang beliau sebut sebagai syuruth al-Nahdhah. Menurutnya, hanya dengan menggelorakan kembali beragama yang membuat umat terdahulu bangkit, umat Islam hari ini dapat masuk kembali ke gelanggang peradaban. Ungkapan ini persis seperti yang pernah dikemukakan Imam Malik rahimahullah, bahwa syarat sebuah komunitas muslim bisa meraih kejayaan tiada lain adalah dengan kembali menghidupkan spirit yang dulu pernah membuat umat ini jaya pada awal pertumbuhannya.
Menurut Malik bin Nabi, peradaban Islam bisa ditegakkan kembali dengan menghidupkan pemikiran keagamaan yang memiliki corak sebagai berikut.
Pertama, harus menyentuh, menggerakkan jiwa manusia dan memengaruhi kesadarannya. Poin pertama ini menuntut perubahan mendasar pada diri manusia sebagai bagian dari peradaban.
Kedua, harus mampu mengubah sepenuhnya manusia menjadi manusia spiritual. Kekuatan ruh harus mampu menundukkan naluri.
Ketiga, memiliki tujuan yang kuat, yaitu akhirat. Orientasi akhirat membuat hidup manusia lebih bermakna. Tujuan yang kuat ini penting, sebab masyarakat tidak akan mampu menghadapi beratnya tantangan jika tidak tahu tujuan akhir sebuah perjuangan.
Keempat, mampu menggerakkan masyarakat membangun kebudayaan dan membentuk sejarah.
Kelima, pemikiran keagamaan ini menjamin tumbuhnya kebudayaan yang sehat. Maksudnya, masyarakat telah bergerak secara berkesinambungan menuju tujuan-tujuan luhur yang telah digariskan. (Wahyudi Husain, Kebangkitan Peradaban: Rumus Malik Bennabi, di suaramuslim.net)
Jika kelima poin tersebut dapat dijabarkan dengan baik, diharapkan eksistensi PERSIS akan kembali kepada idealismenya yang dulu pernah digagas founding father. Karena itu, penting bagi PERSIS membuka kembali lembaran-lembaran emas masa silam untuk direfleksikan pada masa sekarang. Misalnya, PERSIS memiliki sifat harakah tajdid dalam pemikiran Islam dan penerapannya, bagaimana lembaran tinta emas ini dikaji ulang dan dihadirkan kembali pada konteks zaman sekarang dan yang akan datang dengan formulasi yang relevan.
Reorientasi Tafaqquh Fiddin
Sebetulnya, secara internal potensi PERSIS untuk kembali menjadi lokomotif pergerakan pembaharuan sangat terbuka lebar. Betapa tidak! Dengan potensi lembaga-lembaga pendidikan PERSIS yang berjumlah ratusan dan setiap tahun melahirkan generasi muda PERSIS berjumlah ribuan santri dan mahasiswa, semestinya optimis bisa mencetak kader-kader pelanjut perjuangan founding father PERSIS dalam konteks zaman sekarang.
Di sini penting melakukan reorientasi atau merumuskan kembali arah dan paradigma pendidikan PERSIS ke depan. Sehingga, dapat menghasilkan kader-kader yang dapat menghidupkan dan memajukan jamiyyah dengan berbagai potensi yang dimilikinya, karena cakupan pergerakan PERSIS sangat luas, yakni dalam bidang dakwah, pendidikan, ekonomi, sosial-kemasyarakatan dan bidang lainnya menurut tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah (QA PERSIS Pasal 4).
Misalnya, sejak awal orientasi pendidikan PERSIS adalah menghasilkan mutu lulusan yang tafaqquh fiddin (mendalam pemahaman agamanya). Dalam mencapai tujuan tersebut, tentu ada standar minimal dan maksimal. Untuk minimalnya, misalnya dapat menghasilkan lulusan yang paham dan dapat mengamalkan agama dengan baik sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk standar maksimal, dapat menghasilkan kader-kader ulama yang mendalami dan menguasai ilmu agama.
Seandainya standar maksimal ini belum tercapai, maka perlu dipikirkan dan diluncurkan program lanjutan yang khusus mendalami agama untuk menghasilkan kader ulama yang mumpuni, ataupun diadakan program beasiswa untuk pengkaderan ulama jamiyyah secara bertahap dan berkesinambungan. Sehingga, 5—10 tahun ke depan, jamiyyah PERSIS memiliki stok kader ulama yang dapat mengembalikan kejayaan masa lalu serta menghadirkannya pada masa sekarang dan yang akan datang.
Apabila dulu pesantren PERSIS mampu melahirkan ulama-ulama sekelas anggota Dewan Hisbah (Majelis Ulama di PERSIS), hari ini pesantren PERSIS ditantang untuk tetap mampu melahirkan alumni-alumni yang melek terhadap turâts-ulama yang notabene ditulis dalam bahasa Arab tanpa syakal, dan kemampuan istinbâth hukum yang mumpuni dalam setiap persoalan keagamaan dan keumatan. Tentu bukan sekedar kemampuan retorika di atas mimbar, melainkan melahirkan sosok ulama panutan umat yang berkarakter warats al-Anbiya` (pewaris para nabi). Bukan hanya cakap dalam berdialog, tetapi berjiwa ahli agama dan berkharisma karena kedalaman ilmunya.
Tentu tidak berlebihan bila menaruh harapan besar kepada lembaga-lembaga yang ada di bawah naungan jamiyyah PERSIS, baik itu pesantrennya maupun perguruan tingginya, untuk kembali membidani lahirnya kader-kader ulama yang berilmu tinggi dalam bidang agama (tafaqquh fiddin) ataupun mengadakan program khusus (takhasus) yang orientasinya menghasilkan kader-kader ulama. Ini sejalan dengan spirit awal pendirian pesantren di PERSIS, sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Qur’an,
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS At-Taubah [9]:122)
Kepeloporan PERSIS akan hadirnya kembali mujaddid pada masa kini bukan hanya sekedar angan-angan dan romantisme sejarah masa silam. Sejatinya ini bisa diwujudkan manakala sejak hari ini serius memikirkan generasi penerus yang mampu melanjutkan cita-cita luhur founding father yang tertuang dalam tujuan pendirian Jamiyah PERSIS, yaitu terlaksananya syariat Islam berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah secara kaffah dalam segala aspek kehidupan (QA PERSIS Pasal 3).
Akhirnya, selamat bermuktamar XVI PERSIS, semoga menjadi momentum untuk melakukan trasnformasi gerakan dakwah untuk menyongsong lahirnya mujaddid-mujaddid yang akan terus berkhidmat dan berkonstribusi, demi memajukan jamiyyah dan umat secara keseluruhan.
Wallahu A’lam Bish-Shawab.
[]
Editor: Dhanyawan