Oleh: Ustaz Amin Muchtar (Sekretaris Dewan Hisbah PP PERSIS)
Pada bulam Muharram, terdapat syariat ibadah shaum yang tarikh tasyri’nya memiliki rentang waktu yang cukup panjang, merujuk kepada Isyarat Al-Qur’an (QS. Hud:44) paling tidak di mulai pada masa Nabi Nuh (diperkirakan hidup pada 3993-3043 SM), berkenaan dengan peristiwa berlabuhnya kapal Nabi Nuh di atas bukit Judi, yang terjadi pada hari Asyura sebagaimana dijelaskan dalam hadis Abu Huraerah riwayat Al-Bukhari.
Menulusuri jejak petunjuk tentang syariat ibadah shaum itu, baik pada masa para nabi sebelum nabi Muhammad maupun pada masa Nabi sendiri, khabar riwayat tentang itu semua yang tersebar di masyarakat kita diliputi oleh dua keadaan tentang kebenarannya: Pertama, khabar yang shahih, kedua, khabar yang dha’ief, bahkan mawdhu’ (Palsu)
Contoh hadis Dhaif
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ كَانَتْ تَصُومُهُ الْأَنْبِيَاءُ فَصُومُوهُ أَنْتُمْ
Dari Abu Huraerah, ia berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Hari Asyura adalah hari shaumnya para nabi, maka shaumlah kalian” HR. Ibnu Abu Syaibah. [1]
Redaksi ini dinilai dhaif karena terdapat rawi bernama Ibrahim bin Muslim Al-Hajariy, ia dinyatakan dhaif oleh banyak ulama, bahkan Imam Al-Bukhari menilainya Munkarul Hadits. [2]
Sementara dalam hadis shahih, yang dapat dipastikan shaum Asyura disyariatkan pada masa 4 Nabi: Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad saw. sebagaimana telah dibahas pada edisi sebelumnya klik di sini https://persis.or.id/sikap-ahlus-sunnah-terhadap-asyura
I. Shaum Muharram Berdasarkan Sunnah Shahihah
Menulusuri jejak petunjuk tentang syariat ibadah shaum Muharram itu pada masa Nabi Muhammad diliputi pula oleh dua khabar: Pertama, khabar yang shahih, kedua, khabar yang dha’ief, bahkan mawdhu’ (Palsu)
Pembahasan tentang Syariat Shaum Muharram di masa Nabi Muhammad ini selain merujuk kepada hadis Shahih/Sunnah Shahihah, juga melibatkan analisa aspek sejarah berkenaan dengan Taarikh Tasyri’ (Sejarah perundang-undangan) shaum dalam periode Mekah dan Madinah
Hasil Analisa menunjukka bahwa Nabi Muhammad saw. selama hidup di Mekah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari/13 tahun, beliau telah “mengalami” Asyura sebanyak 11 kali. Selama periode Mekah ini, beliau telah menyikapi Asyura dengan melaksanakan shaum hanya 1 hari, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai hadis:
عَن عَائِشَةَ رَضِي الله عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ
Dari Aisyah, ia berkata, “Hari Asyura adalah waktunya shaum orang-orang Quraisy di zaman jahiliyah dan Rasulullah Saw. pun menshauminya…” HR. Al-Bukhari. [3]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَامَهُ ، وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ رَمَضَانُ
Dari Ibnu Umar (ia berkata), “Sesungguhnya kaum jahiliyah melakukan shaum pada hari Asyura dan sesungguhnya Rasulullah Saw. beserta kaum muslimin melaksanakan shaum itu sebelum diwajibkannya shaum Ramadhan.” HR. Al-Baihaqi. [4]
Setelah Nabi hijrah di Madinah, memasuki bulan Muharram tahun ke-2 hijriah, Nabi saw. mendapati orang-orang Yahudi di Madinah melaksanakan shaum pada hari Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka mengenai hal itu, lantas mereka menjawab, “Pada hari ini Allah Swt. pernah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil atas (kejaran) Fir’aun, maka Musa menshauminya.” Rasulullah Saw. menjawab, “Kamilah yang paling berhak dengan Musa.” Kemudian beliau shaum dan memerintah para shahabat agar menshauminya. Demikian sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari. [5]
Perintah shaum Asyura pada masa awal hijrah itu dipertegas oleh Abu Musa sebagai berikut:
عَنْ أَبِى مُوسَى - رضى الله عنه - قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صُومُوهُ أَنْتُمْ
Dari Abu Musa Ra., ia berkata, “Hari Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan dijadikan sebagai hari raya. Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Shaumlah kalian pada hari itu’.” HR. Muslim. [6]
Adapun proses penetapan hukum shaum itu, sebagaimana dilaporkan oleh beberapa orang shahabat Nabi saw., antara lain sebagai berikut:
Pertama, Salamah bin al-Akwa’ dalam HR. Al-Bukhari [7] Dan al-Baihaqi[8]
Kedua, Hind bin Asma dalam HR. Ahmad.[9]
Ketiga, Ibnu Abbas dalam HR. Ahmad.[10]
Keempat, Abu Huraerah dalam HR. Ahmad.[11]
Kelima, Muhammad bin Shaifiy dalam HR. Ibnu Majah.[12]
Shaum ini yang semula hukumnya wajib kemudian berubah menja sunnat setelah turun perintah shaum di bulan Ramadhan tahun 2 H.
Proses perubahan tingkat akurasi hukumnya dari wajib kepada tathawwu (sunat) dijelaskan oleh Aisyah sebagai berikut:
كَانَتْ قُرَيْشٌ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُهُ فَلَمَّا هَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ شَهْرُ رَمَضَانَ قَالَ مَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
“Kaum Quraisy pada zaman Jahiliyah selalu shaum pada hari Asyura' dan Rasulullah saw. juga shaum pada hari itu. Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau tetap shaum pada hari itu dan menyuruh para sahabat untuk shaum pada hari itu. Namun ketika diwajibkan shaum bulan Ramadan, beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang hendak shaum, maka shaumlah. Dan barangsiapa tidak ingin shaum, maka ia boleh meninggalkannya’.” HR. Muslim. [13]
Dalam riwayat al-Bukhari dengan redaksi:
فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ.
“Ketika difardhukan shaum Ramadhan, beliau meninggalkannya (tidak shaum). Beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang hendak shaum, maka shaumlah. Dan barangsiapa tidak ingin shaum, maka ia boleh meninggalkannya’.” HR. Al-Bukhari.[14]
Perkataan Aisyah di atas diperkuat oleh keterangan Ibnu Umar dalam HR. Ibnu Hiban.[15] Juga keterangan Mu’awiyah dalam dalam riwayat Muslim. [16]
Dari berbagai keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada mulanya—ketika tahun pertama Nabi saw. berada di Madinah—shaum ini hukumnya wajib.
Namun setelah datang kewajiban shaum bulan Ramadan pada tahun ke-2 hijrah, shaum ini beralih hukumnya menjadi sunat, dan ketika itu pelaksanaannya hanya satu hari tanggal 10 Muharram.
Memasuki masa akhir periode Madinah (tahun 11 H), ketika para sahabat telah merasa kurang nyaman melakukan shaum Asyura yang sama persis dilakukan oleh Yahudi dan Nasrani, Nabi saw. mencanangkan untuk melakukan perbedaan. Ibnu Abas mengatakan:
لمَاَّ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَ أَمَرَ بِصَيَامِهِ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ اليَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ : فَإِذَا كَانَ عَامُ الْمُقْبِلِ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا اليَوْمَ التَّاسِعَ . قَالَ : فَلَمْ يَأْتِ العَامُ المُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Ketika Rasulullah saw. melakukan Shaum Asyura dan beliau memerintah (para sahabat) untuk melakukannya. Mereka berkata, ’Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu merupakan hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’ Beliau menjawab, ’Nanti tahun depan (12 H) insya Allah kita akan melaksanakan shaum tanggal sembilannya’ Ia berkata, ‘Tetapi tahun depan itu belum datang Rasulullah saw. telah berpulang keharibaan-Nya (tahun 11 H).”HR. Muslim dan Abu Dawud. [17]
Di dalam riwayat lain, Ibnu Abas mengatakan dengan redaksi :
قاَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَئِنْ بَقَيْتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ يَعْنِي يَوْمَ عَاشُورَاءَ
Rasulullah saw, telah bersabda, ”Jika aku masih hidup sampai tahun depan (12 H), niscaya aku akan shaum tanggal sembilannya, yaitu hari Asyura.” HR. Ahmad dan Muslim. [18]
Rasululah saw. sendiri tidak berkesempatan melaksanakan shaum tanggal sembilan Muharam di tahun itu (12 H), tetapi rencana beliau untuk melaksanakannya membuktikan bahwa shaum di tanggal 9 Muharram itu telah disyariatkan. Pencanangan syariat demikian itu, oleh sebagian ulama disebut Sunnah Hammiyyah Rasulullah (sunah rencana dan cita-cita Rasulullah)
Dari berbagai keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pada masa Nabi saw. penetapan saum sunat Muharram mengalami perkembangan.
Semula hanya dilaksanakan satu hari tanggal 10 Muharram yang disebut Asyura. Namun pada masa akhir kenabian, untuk membedai kebiasaan Jahiliyah, Yahudi atau Nasrani, Rasulullah saw. memerintahkan agar umat Islam melakukan shaum sehari sebelumnya yaitu tanggal 9 Muharam yang disebut Tasu’a.
Sehingga pelaksanaan saum sunat Muharram disyariatkan dua hari tanggal 9 dan 10 bulan Muharam yang disebut saum Tasu’a-Asyura.
Pelaksanaan shaum Muharram 2 hari (9-10) itu senantiasa dipelihara oleh generasi shahabat dan terus diajarkan kepada generasi berikutnya. Sehubungan dengan itu, Ibnu Abbas mengatakan:
صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ
“Shaumlah kalian pada hari kesembilan dan kesepuluh dan berbedalah kalian dengan orang-orang Yahudi.” HR. At-Tirmidzi dan al-Baihaqi. [19]
Paparan data serta analisisnya, sebagaimana terurai pada edisi lalu dan sekarang, menunjukkan betapa hari Asyura telah mendapatkan perlakuan istimewa dari berbagai kalangan, baik umat Islam maupun di luar umat Islam.
Nabi Muhammad, sebagai penutup para nabi dan rasul, telah mengajarkan cara penghormatan terhadap bulan Muharram dan menyikapi hari Asyura dalam bentuk pelaksanaan sunnah beliau, berupa shaum sunat 9-10 Muharram.
Bentuk penghormatan dan cara menyikapi demikian itu terus dilestarikan oleh para shahabat beliau dan akan terus berlanjut hingga di masa mendatang.
I.A. Keutamaan Shaum Muharram
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ : أَفْضَلُ الصِّياَمُ بَعْدَ رَمَضَانِ شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., beliau bersabda, “Shaum yang paling utama setelah (shaum) Ramadhan adalah bulan Allah Muharam.” HR. Muslim, Ahmad, Abd bin Humaid. [20]
وَصُومُ يَوْمِ عاَشُورَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةَ مَاضِيَةٍ
“Dan shaum hari Asyura dapat menutupi (dosa) satu tahun yang telah berlalu.” HR.Al-Jama’ah kecuali al-Bukhari dan at-Tirmidzi.[22]
Nabi saw. mengutamakan pengamalan shaum ini dibanding shaum sunat bulanan lainnya
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
Dari Ibnu Abbas radhiyallaahu 'anhuma, ia berkata, "Tidak pernah aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sengaja shaum pada suatu hari yang Beliau istimewakan dibanding hari-hari lainnya kecuali hari ini, hari 'Asyura' dan bulan ini, yaitu bulan Ramadhan.” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, III: 44, No. 2006
II. Shaum Muharram Berdasarkan Sunnah Dha’ifah
Terdapat sejumlah keterangan yang menunjukkan keutamaan dan jumlah hari shaum Muharram yang berbeda dengan keterangan di atas, sebagai berikut:
A. Shaum Muharram Tiga Hari (9-11) Atau Dua Hari (10-11)
Sebagian ulama berpendapat disunnahkan shaum Muharram pada tanggal 11 bagi yang tidak sempat shaum tanggal 9-nya. Bahkan sebagian ulama lain menyatakan bahwa disunnahkan shaum tiga hari sekaligus, yaitu 9, 10 dan 11 Muharram.
Jadi, jika tidak sempat tanggal 9 dan 10, maka bisa memilih tanggal 10 dan 11 untuk shaum. Benarkah pendapat ini? Hemat kami pendapat ini mengacu kepada salah satu hadis berikut ini:
صُوْمُوْا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَخَالِفُوْا فِيْهِ اليَهُوْدَ ، صُوْمُوْا قَبْلَهُ يوْمًا وَ بَعْدَهُ يَوْمًا.
“Shaumlah pada hari ‘Asyuraa (10 Muharram), dan berbedalah dengan orang-orang Yahudi, oleh karena itu shaumlah satu hari sebelumnya (9 Muharram) dan satu hari sesudahnya (11 Muharram).” HR. Ahmad
Pada hadis ini terdapat masalah dari aspek sanad dan matan. Namun analisa sanad dipandang cukup memadai untuk menunjukkan permasalahan hadis ini, dengan alasan sebagai berikut:
Hadis di atas diriwayatkan Imam Ahmad melalui jalur periwayatan Husyaim. Ia menerima dari Ibnu Abi Laila, dari Dawud bin Ali, dari bapaknya (Ali bin Abdullah bin Abbas), dari kakeknya (Ibnu Abbas).
Hadis di atas tidak dapat dijadikan hujjah adanya shaum tanggal 11 Muharram, karena hadisnya dhaif dengan sebab kedaifan rawi bernama Muhammad bin Abdurahman Ibnu Abi Laila, sebagaimana dijelaskan para ulama berikut ini:
Imam Abdurrazaq (w. 211 H) menyatakan:
وأما حديث ( صوموا يوماً قبله ويوماً بعده ) فهذا رواه الإمام أحمد ومداره على محمد ابن عبدالرحمن ابن أبي ليلى وقد قال عنه الإمام أحمد كان سيء الحفظ مضطرب الحديث وأيضاً قد خولف في إسناده فالخبر منكر ولايصح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه رغب بصيام ثلاثة أيام في عاشوراء وإنما جاءت فضيلة صيام ثلاثة أيام بأدلة عامة لاتختص بشهر الله المحرم . وكذلك الحديث الآخر ( صوموا يوماً قبله أو يوماً بعده ) هذا الخبر منكر
“Adapun hadis: ‘Shaumlah satu hari sebelumnya (9 Muharram) dan satu hari sesudahnya (11 Muharram).’ Maka ini riwayat Imam Ahmad, dan jalur periwayatannya berporos pada Muhammad bin Abdurahman Ibnu Abi Laila, dan sungguh Imam Ahmad telah mengomentarinya, ‘Dia buruk hapalan, hadisnya goncang.’ Selain itu terjadi pertentangan dalam sanadnya. Maka hadis itu munkar, dan tidak shahih bersumber dari Nabi bahwa beliau menganjurkan shaum tiga hari pada Asyura. Keutamaan shaum tiga hari diriwayatkan berdasarkan dalil-dalil umum yang tidak dikhususkan pada bulan Muharram. Begitu pula hadis lain (dengan menggunakan kata aw/atau): ‘‘Shaumlah satu hari sebelumnya atau satu hari sesudahnya.’ Hadis ini munkar.” [23]
Selanjutnya, Imam Abdurrazaq mencantumkan hadis shahih dari Ibnu Abbas, yang menyatakan:
(صُومُوا التَاسِعَ مَعَ العَاشِرِ) وَهذَا هُوَ الْمَحْفُوْظُ
“Shaumlah kalian pada hari yang kesembilan bersama kesepuluh dan.” Dan (Imam Abdurazaq mengatakan) Inilah yang terpelihara (shahih).” [24]
Sehubungan dengan itu, Imam Asy-Syawkani berkata:
رِوَايَةُ أَحْمَدَ هَذِهِ ضَعِيفَةٌ مُنْكَرَةٌ مِنْ طَرِيقِ دَاوُدَ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ رَوَاهَا عَنْهُ اِبْنُ أَبِي لَيْلَى ، قَالَ : وَقَدْ أَخْرَجَهُ بِمِثْلِهِ الْبَيْهَقِيُّ وَذَكَرَهُ فِي التَّلْخِيصِ وَسَكَتَ عَنْهُ اِنْتَهَى
“Riwayat Ahmad munkar dari jalur Dawud bin Ali, dari bapaknya, dari kakeknya, diriwayatkan dari Dawud bin Ali oleh Ibnu Abu Laila.” Ia berkata pula, “Hadis semisal diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqi dan menyebutkannya dalam kitab At-Talkhis, dan ia tidak berkomentar apapun terhadapnya.”[25]
Hadis ini dinilai dhaif pula oleh Imam Adz-Dzahabi[26], Al-Haitsami[27], Imam Abdurrauf Al-Munawi,[28] dan Syekh Al-Albani. [29]
Dengan demikian, mengamalkan shaum Muharram sebanyak tiga hari (tanggal 9, 10, 11) atau tanggal 10 dan 11 Muharram hukumnya menyalahi Sunnah Nabi saw., bahkan dinilai bid’ah oleh sebagian ulama.
B. Fadhilah Shaum Muharram
من صام يوم عاشوراء كتب الله له عبادة ستين سنة
“Barangsiapa Shaum Asyura niscaya Allah mencatat baginya pahala ibadah 60 tahun”
Kata Imam Ibnul Qayyim
وهذا باطل يرويه حبيب بن أبي حبيب عن إبراهيم الصائغ عن ميمون بن مهران عن ابن عباس وحبيب كان يضع الأحاديث
“Hadis ini adalah batil yang diriwayatkan oleh Habib bin Abu Habib, dari Ibrahim As-Shaig, dari Maimun bin Mihran, dari Ibnu Abas, dan Habib memalsukan beberapa hadis” (Al-Manaar Al-Munif fii Ash-Shahih wa Adh-Dha’if, I: 47)
من صام يوم عاشوراء كتب الله له عبادة ستين سنة بصيامها وقيامها
“Barangsiapa Shaum Asyura niscaya Allah mencatat baginya pahala ibadah 60 tahun dengan shaum dan qiyamul lailnya (Sebanding dengan pahala shaum dan tahajjud selama 60 tahun)
ومن صام يوم عاشوراء أعطي ثواب عشرة آلاف ملك
“Barangsiapa Shaum Asyura niscaya ia diberi pahala dengan pahala 10.000 malaikat”
ومن صام يوم عاشوراء أعطي ثواب عشرة آلاف شهيد
“Barangsiapa Shaum Asyura niscaya ia diberi pahala dengan pahala 10.000 syuhada”
ومن صام يوم عاشوراء كتب الله له أجر سبع سموات
“Barangsiapa Shaum Asyura niscaya Allah mencatat baginya pahala penghuni tujuh langit
ومن أفطر عنده مؤمن في يوم عاشوراء فكأنما أطعم جميع فقراء أمة محمد وأشبع بطونهم
“Barangsiapa seorang mukmin berbuka shaum di sampingnya pada hari Asyura seakan-akan ia memberi makan semua orang fakir umat Muhammad dan mengenyangkan perut mereka
ومن مسح على رأس يتيم رفعت له بكل شعرة على رأسه درجة في الجنة
“Barangsiapa mengusap kepala seorang yatim, niscaya ia diangkat derajatnya di surge dengan setiap helai rambut di kepala anak yatim itu”
Di dalam hadis ini, disebutkan Umar bertanya kepada Nabi saw.
فقال عمر يا رسول الله لقد فضل الله يوم عاشوراء قال نعم خلق الله السموات يوم عاشوراء والأرض كمثله وخلق القلم يوم عاشوراء واللوح مثله وخلق جبريل يوم عاشوراء وملائكته يوم عاشوراء وخلق آدم يوم عاشوراء وغفر ذنب داود يوم عاشوراء
Maka Umar bertanya, “Sungguh Allah telah mengutamakan hari Asyura?” Beliau menjawab, “Benar, Allah menciptakan langit-langit pada hari Asyura, dan bumi semisalnya, Dia menciptakan Qalam pada hari Asyura dan lauhul mahfuzh semisalnya, Dia menciptakan Malaikat Jibril dan Mikail pada hari Asyura, Dia menciptakan Adam pada hari Asyura dan mengampuni dosa Nabi Dawud pada hari Asyura
وأعطى سليمان ابن داود يوم عاشوراء وولد النبي يوم عاشوراء واستوى الرب عز وجل على العرش يوم عاشوراء ويوم القيامة يوم عاشوراء
Menurut Al-Hafizh Jalaluddin As-Suyuthi, hadis ini bersumber dari Abdullah bin Ali Al-Muqr’iy, dari Abu Manshur Al-Khayyath, dari Abdus Salaam bin Ahmad Al-Anshariy, dari Abu Al-Fath bin Abu Al-Fawaaris, dari Al-Hasan bin Ishaq bin Zaid Al-Mu’addil, dari Ahmad bin Muhammad bin Mush’ab, dari Muhammad bin Abdullah bin Qahzaad, dari Habiib bin Abu Habiib, dari Ibrahim Ash-Shaa’igh, dari Maimun bin Mihraan, dari Ibnu Abbas
Hadis ini maudhu’ (palsu), hasil rekayasa, kreasi, ciptaan Habiib bin Abu Habiib. Demikian dikatakan Imam Asy-Suyuthi dalam kitabnya: Al-La’aaliy Al-Mashnu’ah fil Ahaadits Al-Mawdhuu’ah, II: 92 dan ditegaskan pula oleh Imam Al-Syaukani dalam kitabnya Al-Fawa’id Al-Majmu’ah fil Ahaadits Al-Mawdhuu’ah, hlm. 33
Demikian hasil analisa terhadap sejumlah hadis yang menerangkan tentang shaum muharram, baik jumlah hari shaumnya maupun keutamaannya.
Bandung, 6 Muharram 1445 H/24 Juli 2023 M
[7] Shahih Al-Bukhari, II:705, No. 1903. Al-Bukhari meriwayatkan pula dengan redaksi berbeda (Lihat, Shahih Al-Bukhari, II:679, No. 1824; VI:2652, No. 6837).
[12] Sunan Ibnu Majah, I:552, No. 1735. Diriwayatkan pula oleh Ahmad (Lihat, HR. Ahmad, Musnad Ahmad, IV:388, No. 19.554; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:289, No. 2091).
[19] HR. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:128, No. 755, al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:287, No. 8187..
[20] Lihat, HR. Muslim, Shahih Muslim, II:821, No. 1163, Ahmad, Musnad Ahmad, II:344, No. 8515, Abd bin Humaid, al-Musnad, I:416, No. 1423.