Oleh: Ustadz Amin Muchtar
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa kaum muslimin yang tidak melaksanakan ibadah haji disyariatkan untuk melaksanakan berbagai ibadah lain di bulan Dzulhijjah, antara lain shaum pada tanggal 9 Dzulhijjah yang populer dengan sebutan Shaum Arafah.
Meski demikian sering timbul masalah bila kebetulan satu pemerintahan menetapkan tanggal yang berbeda dengan ketetapan pemerintah Saudi Arabia dalam masalah wukuf di Arafah. Apakah umat yang tidak tinggal di negeri itu ikut shaum dengan tanggal yang ditetapkan Saudi, ataukah tetap dengan tanggal yang ditetapkan di negerinya sendiri?
Demikian itu, karena ada sementara pihak yang berpendapat bahwa ketetapan waktu Idul Adha di negara manapun mesti ditetapkan berdasarkan waktu wukuf di Arafah. Dengan perkataan lain wukuf itu sebagai standar penetapan Iedul Adha. Istinbath ini ditetapkan berdasarkan sabda Nabi saw. tentang shaum ‘Arafah dalam hadis Abu Qatadah al-Anshari,
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
"Dan beliau ditanya tentang shaum hari Arafah. Maka beliau menjawab, ‘Ia (shaum Arafah) akan menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun mendatang.”
Penamaan shaum ini dengan “shaumu yaumi ‘arafah”, dipahami oleh sebagian pihak bahwa shaum Arafah itu waktunya harus bersesuaian dengan waktu wukuf di ‘Arafah. Benarkah pendapat ini ?
Hemat kami, pendapat demikian tidaklah tepat dilihat dari tiga aspek:
Pertama, Latar belakang Arafah
Berkenaan asal muasal kata, Ibnu Abidin menjelaskan, “Arafah adalah ismul yaum (nama hari) dan Arafaat adalah ismul makan (nama tempat).”
Menurut Imam ar-Raghib, al-Baghawi, dan al-Kirmani, Arafah adalah, “Nama hari ke-9 dari bulan Dzulhijjah.”
Hari tersebut dinamakan Arafah berkaitan dengan peristiwa mimpinya Nabi Ibrahim yang diperintah untuk menyembelih anaknya. Pada pagi harinya, Ibrahim mengetahui bahwa mimpi itu benar-benar (datang) dari Allah,
فَسُمِّيَ يَوْمَ عَرَفَةَ
“Maka (hari itu) dinamakan hari Arafah.”
Menurut Imam al-‘Aini dan ar-Raghib, Arafat, bentuk jamak dari ‘Arafah adalah “Nama bagi tempat yang khusus ini.”
Adapun tempat tersebut dinamakan Arafat berkaitan dengan peristiwa pertemuan antara Nabi Adam dan Hawa ditempat itu, sebagaimana dijelaskan Ibnu Abas :
وَتَعَارَفَا بِعَرَفَاتِ فَلِذلِكَ سُمِّيَتْ عَرَفَاتِ
"Dan keduanya ta’aruf di Arafat, karena itu dinamai ‘Arafat.”
Meski demikian, untuk menunjuk tempat yang dimaksud terkadang digunakan pula kata ‘Arafah, dalam bentuk kata tunggal (mufrad). Penggunaan kata ‘Arafah (tunggal), untuk makna tempat, bukanlah bahasa orang Arab tulen.
Keterangan pakar bahasa tersebut menunjukkan bahwa kata ‘Arafah mengalami “perkembangan makna”, dari “makna tunggal: “nama waktu (isim zaman)”, menjadi dwi makna: “nama waktu (isim zaman)” dan “nama tempat (isim makaan)”.
Setelah dianalisa baik dari sisi asal muasal kata maupun latar belakang penamaannya, sebagaimana terurai sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
Penamaan Arafah, baik sebagai nama hari (ismul yaum) maupun nama tempat (ismul makaan), sudah digunakan sebelum disyariatkan ibadah haji.
Penamaan Arafah bukan karena pelaksanaan wukuf dalam ibadah haji (fi’lun). Dengan perkataan lain, fi’lun (wukuf dalam ibadah haji) bukan muqaddamah wujud penamaan Arafah.
Kedua, Struktur Kalimat (Shaum Arafah) dan Latar belakang penamaannya
Berkenaan dengan struktur kalimat, mari kita baca kembali sabda Nabi saw. tentang shaum itu berikut ini,
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Shaum hari Arafah.”
Jika kita telusuri dalam al-Kutub as-Sittah, kalimat Shaum Arafah digunakan Nabi saw. dalam tiga bentuk: Pertama, Shaum Yawm ‘Arafah (صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ). Kedua, Shiyaam Yawm ‘Arafah (صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ). Ketiga, Shaum ‘Arafah (صَوْمُ عَرَفَةَ). Bentuk pertama ditemukan sekitar 15 kali. Bentuk kedua 5 kali. Bentuk ketiga 2 kali.
Struktur kalimat: Yaum ‘Arafah disebut idhafah bayaniyyah, yaitu penyandaran satu kata kepada kata yang lain untuk menjelaskan. Penjelasan di sini berkenaan dengan waktu (bayaan zamani), bukan berkenaan dengan tempat (bayaan makaani), tidak pula berkenaan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah (bayaan fi’li).
Sehubungan dengan itu, Ibnu Abidin menjelaskan, “Perkataannya: ‘Yawm ‘Arafah.’ Penyandaran kata itu untuk menjelaskan karena Arafah adalah nama hari.”
Merujuk kepada latar belakang penamaan Arafah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, juga penjelasan para ulama, maka struktur kalimat Shaum Yaum Arafah menunjukkan makna: “Shaum pada hari ke-9 bulan Dzulhijjah yang disebut hari Arafah”.
Dengan perkataan lain, apabila struktur kalimat Shaum Yaum Arafah dipahami bahwa “shaum itu waktunya harus bersesuaian dengan waktu wukuf di ‘Arafah”, maka harus disertakan qarinah (keterangan pendukung), karena cara pemahaman seperti ini khilaaful qiyaas (menyalahi kaidah), dalam hal ini kaidah tentang idhaafah bayaan zamani.
Selain itu, cara pemahaman tersebut juga menyalahi dalil-dalil tentang shaum itu. Karena dalam berbagai hadis digunakan pula “sebutan hari/tanggal” tanpa menyebut Arafah, sebagai berikut :
Pertama, Tis’a Dzilhijjah (9 Dzulhijjah)
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
Dari sebagian istri Nabi saw., ia berkata, “Rasulullah saw. shaum tis’a Dzilhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan.”
HR. Abu Dawud, Ahmad, dan al-Baihaqi.
Kedua, Shaum al-‘Asyru
عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ: أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ رَسُولُ اللهِ ﷺ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالعَشْرَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَالرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ اْلغَدَاةِ
Dari Hafshah, ia berkata, “Empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw.: shaum Asyura, shaum Arafah, shaum tiga hari setiap bulan dan dua rakaat qabla subuh.”
HR. Ahmad, an-Nasai, Ibnu Hiban, dan Ath-Thabrani.
Kata al-Asyru pada hadis di atas maksudnya menunjuk tanggal 9 Dzulhijjah (Tis’a Dzilhijjah). Penyebutan al-Asyr untuk menunjuk tanggal 9 Dzulhijjah merupakan kiasan (majaaz). Adapun penamaan shaum tanggal 9 Dzulhijjah dengan al-‘Asyru, karena hari pelaksanaan shaum tersebut termasuk di antara 10 hari pertama bulan Dzulhijjah (Ayyaam al-‘Asyr) yang agung.
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa
Penamaan Shaum itu dengan yaum Arafah, Tis’a Dzilhijjah, dan al-Asyru menunjukkan bahwa pelaksanaan shaum tersebut terikat oleh miqat zamani (tanggal 9 Dzulhijjah)
Penamaan shaum Arafah bukan karena fi’lun (wukuf dalam ibadah haji). Dengan perkataan lain, fi’lun (wukuf dalam ibadah haji) bukan muqaddamah wujud disyariatkannya shaum Arafah. Karena itu, penamaan tersebut tidak dapat dijadikan dalil bahwa waktu shaum itu harus bersamaan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah.
Ketiga, Sejarah Penetapan Shaum Arafah dan Iedul Adha
Penetapan hukum sementara pihak itu, selain dengan latar belakang penamaan dan struktur kalimat (shaum Yawm ‘Arafah) dapat kita uji pula melalui analisa tarikh tasyri’ (sejarah Penetapan syariat) Shaum Arafah dan Iedul Adha sebagai berikut :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah saw. datang ke Madinah, dan mereka mempunyai dua hari yang mereka bermain-main pada keduanya di masa jahiliyyah. Maka beliau bersabda, ‘Sungguh Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Adha dan Hari Fitri’.” HR. Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim. Redaksi di atas versi Ahmad.
Para ulama sepakat bahwa Ied yang pertama disyariatkan adalah Iedul Fitri, selanjutnya Iedul Adha. Keduanya disyariatkan pada tahun ke-2 hijrah. Dalam hal ini para ulama menerangkan:
“Yaum fitri dari Ramadhan (ditetapkan) sebagai ied bagi semua umat ini tiada lain sebagai isyarat karena banyaknya pembebasan (dari neraka), sebagaimana hari Nahar, yang dia itu ied akbar, karena banyaknya pembebasan (dari nereka) pada hari Arafah sebelum Iedul Adha. Karena tidak ada hari yang dipandang lebih banyak pembebasan daripada hari itu (Arafah).”
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Shaum Arafah mulai syariatkan bersamaan dengan Iedul Adha, yaitu tahun ke-2 hijriah. Keduanya disyariatkan setelah syariatkannya Shaum Ramadhan dan Iedul Fitri pada tahun yang sama. Adapun ibadah haji, termasuk di dalamnya wukuf di Arafah, mulai disyariatkan pada tahun ke-6 hijriah sebagaimana dinyatakan oleh Jumhur ulama. Namun menurut Ibnu Qayyim disyariatkan tahun ke-9/ke-10 Hijriah.
Jadi, waktu pensyariatan Shaum Arafah dan Iedul Adha lebih dahulu daripada pensyariatan wukuf di Arafah. Dengan demikian, wukuf di Arafah bukan muqaddamah wujud (syarat) shaum Arafah dan pelaksanaan Iedul Adha.
Berdasarkan berbagai keterangan tersebut, tampak jelas bahwa pendapat yang mengatakan “waktu shaum Arafah dan Iedul Adha harus berdasarkan standard pelaksanaan wukuf di Arafah” merupakan pendapat yang lemah, sehingga tidak dapat dijadikan rujukan amaliah.
Wallahu A’lam.