Homoseksual dalam Budaya Indonesia

oleh Reporter

29 Februari 2016 | 10:59

Tiar Anwar Bachtiar (Kabidgar Pengembangan Dakwah PP Persatuan Islam) Perilaku penyuka sesama jenis dan tindakan berhubungan badan dengan sesama jenis adalah suatu tindakan yang tidak dipungkiri keberadaannya oleh hampir semua agama dan budaya di dunia, termasuk dalam budaya masyarakat Indonesia. Walaupun tidak ditemukan fakta-fakta sosial yang benar-benar massif terjadi tentang perilaku seks menyimpang ini, namun kebudayaan mayoritas bangsa di Indonesia yang dipengaruhi Islam, pasti akan mengakui adanya kasus homoseksual ini dari agamanya. Sebab, dalam Islam sangat familiar kisah dakwah Nabi Luth as. yang diutus Allah Swt, kepada bangsa Sodom yang memiliki perilaku seks menyimpang, yaitu menyukai sesama jenis (gay). Oleh sebab pengaruh agama itu pula, maka perilaku ini dianggap suatu perbuatan terlaknat yang harus dijauhi. Di Indonesia, kisah serupa kaum Sodom itu juga ditemukan dalam beberapa peninggalan kebudayaan, bukan sebagai fakta sosial yang “jelas”, melainkan semacam sinyalemen dari peninggalan kebudayaan itu bahwa perilaku homoseks itu sungguh-sungguh juga terjadi di masyarakat Indonesia. Di antaranya kisah homoseksual ini bisa dilihat dalam Serat Chentini yang sangat terkenal itu. Selain dalam Serat Chentini, biasanya yang dijadikan sebagai fakta sosial tentang perilaku homoseksual adalah kasus hubungan Warok-Gemblak di Ponorogo; Bissu, Calabai-Calalai di Sulawesi Selatan. Serat Chentini adalah naskah yang berisi ensiklopedi budaya atau tepatnya “perilaku” yang terjadi di masyarakat Jawa yang dibuat dalam bentuk tembang. Naskah ini diduga disusun oleh tim pengarang di bawah putra mahkota Keraton Surakarta yang kemudian menjadi Pakubuwono V dan selesai pada tahun 1814. Konten homo dalam naskah ini terdapat dalam cerita tentang tokoh bernama Cebolang. Ia diusir dari rumah oleh ayahnya; lalu mencari nafkah dengan memimpin rombongan pementasan jalanan. Di antara anggota rombongan tersebut terdapat pria muda kemayu bernama Nurwitri. Dalam perjalanannya rombongan ini sampai di Kabupaten Daha dan dipanggil adipati untuk pentas. Sebagaimana para istri, pejabat, pelayan dan pengikutnya, sang Adipati pun terkesima oleh keterampilan para penampil, khususnya Nurwitri yang menari dengan anggun dalam pakaian perempuan. Usai pementasan, penari muda ini diundang untuk tidur dengan sang Adipati yang sangat terangsang. Nurwitri terus-terang bersedia disodomi, menyenangkan hati sang Adipati dengan seni bercintanya yang hebat. Keesokan harinya, Nurwitri mendapat imbalan uang dan pakaian mahal. Sampai beberapa malam sang adipati bersuka cita dengan Nurwitri, tapi ia belakangan mengalihkan perhatiannya pada Cebolang yang lebih maskulin, yang diperintahkannya untuk menari dalam busana perempuan. Seperti sebelumnya, musik dan tari membangkitkan gairah seksualnya, dan ia pun tidur dengan Cebolang. Dipaparkan dengan gamblang, bagaimana dengan penuh kenikmatan sang adipati menyodomi Cebolang yang dilukiskan “lebih hebat di ranjang dibandingkan dengan Nurwitri”. Ia pun mendapat imbalan yang sepadan sesudahnya. Cerita itu tentu saja bukan reportase kejadian nyata, melainkan suatu gambaran kultural bahwa hal demikian terjadi di tengah masyarakat Jawa. Apakah penulis Chentini mengidealkan perilaku sex semacam itu? Tidak begitu jelas, karena memang tidak dikatakan secara jelas oleh penulis Serat ini. Dalam Serat itu hanya disebutkan perilaku semacam itu. Bisa jadi, tujuan dituliskannya adalah untuk menunjukkan bahwa ada perilaku sex semcam itu dilakukan oleh seorang priyayi. Perilaku semacam itu sangat mungkin dinilai sebagai perilaku yang menyimpang dan amoral. Kalau dalam Chentini hanya cerita rekaan, maka lain halnya dengan warok-gemblak dalam kesenian Reog Ponorogo. Bahkan kisah Cebolang yang menjadi homoseks pun bermula karena ia disodomi oleh seorang warok. Kepandaiannya menari pun karena ia sebelumnya menjadi gemblak dari sang warok. Warok adalah istilah untuk seorang pemimpin suatu grup kesenian Reog Ponorogo. Pada masa lalu, warok identik dengan kesaktiannya sehingga dia bisa melakukan hal-hal yang tidak masuk akal saat tampil menari. Konon, untuk mencapai kesaktiannya ini, ia melakukan ritual yang mengharuskannya memiliki gemblak. Gemblak adalah anak laki-laki remaja tampan usia 10-15 tahun. Dalam pementasan Reog, mereka akan menari Jathilan. Namun, di luar itu, gemblak adalah “simpanan” para warok. Mereka membeli anak-anak ini dari orang tua mereka dengan harga tertentu. Lalu untuk jangka waktu tertentu, gemblak ini akan dikontrak oleh warok untuk melayani apa saja keinginan mereka, termasuk melakukan hubungan seks sesama jenis. Bagi para warok, memiliki gemblak adalah suatu kebanggaan. Semakin banyak dan semakin eksklusif gemblak yang dimilikinya, maka statusnya sebagai warok semakin tinggi. Itu juga sekaligus penanda bahwa ia dianggap sebagai warok paling sakti dan digjaya. Memang, untuk menjadi warok telah dimaklumi bahwa ia harus melakukan ritual untuk tidak berhubungan badan dengan perempuan, walaupun ia telah beristri. Kalaupun mau melakukan hubungan seks, ia hanya boleh melakukannya pada gemblak yang dibelinya. Untuk alasan inilah terjadi hungungan homoseks antara warok dan gemblak di Ponorogo. Kisah ini sangat populer, walaupun seiring berkembangnya zaman warok tidak selalu identik dengan kesaktian. Ia hanya pemimpin grup reog; begitu juga gemblak yang menari jathilan, hanya berperan sebagai penari belaka. Kasus warok-gemblak ini sesungguhnya semakin mengokohkan pandangan bahwa perilaku seks sesama jenis itu sungguh-sungguh ada dan terjadi seperti terjadi pada masa Nabi Luth as. dahulu. Hanya persoalannya, apakah perilaku ini dianggap sebagai perilaku yang normal, baik, dan mendapat dukungan masyarakat? Inilah yang harus diperhatikan secara cermat. Bila dilihatnya secara serampangan, kebiasaan dan adat yang berlaku ini bisa jadi akan menjadi alat pembenaran perilaku menyimpang homoseks. Sebab, nanti bukan hanya satu kasus ini saja. Ada beberapa kasus dalam budaya lain seperti kasus mairilan yang dituduhkan sering terjadi di lingkungan pesantren, calabai, calalai, dan bissu yang ditemukan di suku Bugis, anal intercourse yang dilakukan sebagian suku di Papua terhadap anak yang memasuki akil baligh, dan sebagainya. Kita akan fokuskan cara pandang itu pada satu kasus warok-gemblak di Ponorogo sebagai contoh. Dalam kasus warok-gemblak, perilaku homoseks sebagian besar bukan karena tuntutan alamiah dari di warok atau gemblak, melainkan suatu tuntutan eksternal yang menghendakinya begitu. Orang menjadi warok yang mengharuskannya tidak boleh berhubungan dengan lawan jenis, pada umumnya karena ingin menjadi sosok yang digjaya, sakti mandraguna. Ritual yang dilakukannya yang merupakan bagian dari ritual semcam sihir ini memaksanya untuk meninggalkan dunia hetero menuju dunia homo. Begitu pula dengan mereka yang menjadi gemblak. Pada umumnya karena ada motif keuntungan materi, karena gemblak-gemblak ini dibeli dengan harga yang cukup menggiurkan dari orang tuanya. Ini sejatinya adalah praktik perbudakan warisan masa lalu. Ketika budaya perbudakan yang masih populer hingga awal ke-20, warok-warok yang membeli gemblak akan merasa bangga bisa semakin banyak memiliki gemblak; apalagi bila gemblak-nya hanya eksklusif dimilikiya sendiri. Prosesi pembelian dan pengangkatan gemblak baru itu sendiri seringkali dibuat dengan sangat meriah dalam satu acara pesta khusus seperti pesta perkawinan. Mungkin pada masa lalu ketika nilai-nilai feodalisme masih menjadi sesuatu yang amat dibanggakan dan bahkan dikejar oleh sebagian orang, menjadi warok yang punya banyak gemblak adalah sesuatu yang sangat dibanggakan, walaupun konsekwensinya mereka harus menjadi pelaku homoseks. Apakah kondisi seksual warok-gemblak saat itu dianggap sebagai kewajaran? Kalau dilihat dari antusiasme masyarakat terhadap seni reog atau terhadap pertunjukan warok-gemblak sepertinya masyarakat sudah dapat memakluminya. Akan tetapi, perilaku seksnya tetap bukan merupakan sesuatu yang dianggap wajar. Masyarakat tetap menilainya sebagai penyimpangan. Bahkan, nasib anak-anak yang menjadi gemblak seringkali menjadi bahan cemoohan. Meski menjadi warok yang sakti adalah kebanggaan, namun menjadi gemblak bukanlah pilihan yang menyenangkan. Bila merupakan pilihan yang menyenangkan dan membanggakan tentu tidak perlu ada transaksi jual-beli antara warok dengan orang tua calon gemblak. Pada saat tradisi warok-gemblak ini masih berjalan baik saja status itu sudah bukan merupakan sesuatu yang dianggap wajar, apalagi setelah berkembang nilai-nilai baru seperti nilai-nilai anti-feodalisme dan berkembangnya agama (Islam). Nilai-nilai anti-feodalisme yang tumbuh seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat dan perlawanan terhadap kolonialisme tidak memberikan ruang pada semua praktik perbudakan termasuk transaksi pembelian gemblak. Transaksi ini dalam nilai-nilai baru anti-feodal terkategori sebagai tarficking (jual-beli manusia) yang tentu sangat bertentangan dengan semangat kesamaan manusia dan HAM. Oleh sebab itu, kian kemari praktik per-gemblak-an sebagai “budak” seperti pada masa lalu semakin berkurang atas kesadaran masyarakat sendiri. Berkembangnya ajaran Islam dengan berdirinya puluhan atau bahkan ratusan pesantren di Ponorogo dan sekitarnya menyebabkan perilaku warok-gemblak ini semakin dianggap sebagai perilaku yang ganjil. Nilai-nilai Islam yang dianut masyarakat jelas tidak menoleransi sihir dan perbuatan seks sejenis. Bagi masyarakat Islam, mengikuti sihir berarti mengikuti jalan setan karena pencipta sihir adalah setan; tambahan lagi sihir ini mempersyaratkan harus berhubungan badan hanya dengan lelaki sejenisnya dalam wujud gemblak. Dalam hal tari-tarian pementasan reog, tidak ditemukan nilai dalam Islam yang melarangnya. Oleh sebab itu, dalam perkembangan terkini, seni reog-nya tetap dipertahankan dengan tari-tarian khasnya. Akan tetapi, menjadi warok atau gemblak hanya semata-mata dalam pementasan tidak sampai dibawa ke dalam kehidupan nyata seperti pada masa lalu. Kalau mengamati kasus warok-gemblak ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa perilaku ini sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk meligitimasi perilaku seks sejenis. Sebagai budaya yang pasti akan terus mengalami perkembangan syarat “homoseks” untuk menjadi warok atau gemblak ternyata tidak merupakan sesuatu yang permanen. Buktinya, walaupun reog tetap ada, warok-gemblak sebagai pelakon utama di dalamnya tidak mesti menjadi homoseks. Mereka bisa juga hidupo normal sebagaimana yang lainnya. Kasus-kasus yang lainnya pun hampir bisa dipastikan tidak akan terlalu berbeda situasinya, karena pada dasarnya budaya masyarakat Indonesia ini memiliki perilaku seks yang normal dan menganggap homoseksual sebagai penyimpangan. Wallahu A’lam.
Reporter: Reporter Editor: admin