Bandung - persis.or.id, Pandangan sebagian orang yang menilai kasus Ahok belum masuk dalam ranah hukum Indonesia, dibantah oleh Atip Latipulhayat SH, LLM, PhD, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
Esensi dari kasus Ahok ini bukan soal penafsiran Al-Maidah 51. "Itu bukan ranah kepolisian dan yang lebih penting kasus Ahok ini tidak terkait langsung dengan esensi Al-Maidah 51, tapi penghinaan dan penistaan terhadap Al-Qur'an dan ulama, karena mengnggap umat Islam yang menjelaskan dan mengajarkan Al-Maidah 51 dianggap membohongi publik khususnya umat Islam", papar Atip kepada persis.or.id (29/10)
Atip menjelaskan bahwa dari perspektif hukum agama, pernyataan Ahok itu sudah jelas sebuah kejahatan. Dalam kasus ini, justru kaum Muslimin, ingin Ahok diproses menurut hukum positif Indonesia. "Harusnya pihak penegak hukum, dalam hal ini polisi segera merespon tuntutan ini, karena menunjukkan pemahaman dan kesadaran hukum yang tinggi dari kaum Muslimin Indonesia", ujar Atip.
Umat Islam Indonesia ingin menjunjung tinggi supremasi hukum di Republik yang didirikannya dengan jihad dan keringat perjuangan umat. Penistaan agama sudah sangat jelas aturan hukumnya di Indonesia, contohnya UU N0 1 PNPS 1965 tentang penistaan agama. Jurisprudensi juga sudah sangat kuat mendukungnya. Mulai dari kasus Arswendo Atmowiloto sampai dengan kasus Tajul Muluk, tokoh Syiah dari Sampang yang di vonis dengan tuduhan penistaan agama.
"Dalam kasus ini, Ahok melanggar banyak hal. Melanggar hukum, etika sosial, agama, dan tentu saja menabrak rambu-rambu SARA yang selama ini digembor-gemborkan oleh dirinya", imbuh Atip.
"Saya yakin, sebetulnya polisi sudah sangat yakin dengan elemen pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Ahok. Namun, politik-lah yang kemungkinan besar membuat polisi ragu dan gamang. Ini pertaruhan besar bagi kredibiltas polisi. Polisi, kembalilah kepada rakyat, kembali menjadi pelindung masyarakat", pungkas Atip. (HL & TG)