Bandung – persis.or.id, Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) melalui bidgar Pengembangan Dakwah dan Kajian Pemikiran Islam (PDKPI) menyelenggarakan acara Bedah Akar Tashawwuf dan Rekonsiliasinya dengan Syariah, Sabtu (29/12/2018) di Mesjid Viaduct PP Persis.
Dijelaskan oleh ketua bidgar PDKPI PP Persis, H. Deni Sholehudin, M.Si menjelaskan diantara tujuan diselenggarakannya acara tersebut sebagai ajang silaturahim dan kopdar Whatsapp Group (WAG) Mubahasah. Produktivitas diskusi di forum tersebut sekaligus menjawab permasalah kontemporer yang terjadi saat ini.
“Berawal dari keinginan adanya kopdar atau silaturrahmi bagi Grup WA Mubahasah. Adapun materi yang dikaji hari ini mengenai pemikiran dan persfektif terhadap orang baik”, ujar Deni, pada persis.or.id (29/12)
Ia melanjutkan, sebagian kaum muslimin beranggapan orang-orang yang memiliki moralitas tinggi, di mana secara umum orang tersebut berprilaku baik dan sangat ketat menghindari hal-hal yang buruk, lalu kemudian oranglain menyebut dia sebagai seorang sufi.
Ketua bidgar PDKPI PP Persis itu menilai amaliah fiqih sufi berbeda dengan dengan ahlul hadits.
“Dari sisi lain kami mendapati bahwa cara-cara amaliah fiqih sufi berbeda dengan ahlul hadits seperti Persis misalnya. Latar belakang lainnya karena Tashawwuf sekarang dipakai alat bersembunyi oleh orang-orang Syiah”, ungkap Deni.
Deni mengajak, untuk memahami akar-akar thasawwuf dan bagaimana penerapannya dalam syariah.
Sejalan dengan itu, pemateri pertama Dr. Lathif Awaludin, MA menjelaskan bahwasanya thasawwuf tidak bisa dibuang begitu saja, karena banyak ayat dan hadits yang menjelaskan masalah aspek batin.
Lathif menambahkan, Thasawwuf bukanlah merupakan ajaran dalam arti syariat, yang langsung tertera dalam Al-Qur’an maupun al-Hadits. Menurutnya, Thasawuf tidak lebih sebagai tradisi dalam Islam karena Thasawwuf merupakan produk fikiran dan perasaan para sufi.
“Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa thasawwuf bukan bagian dari ibadah syar’iyah”, terang Lathif.
Thasawwuf sebagai ajaran Hakikat, jelas Latief, harus dikembalikan kepada konsep pemuka awal (Imam Junaid, Hasan al-Basri, dll) bahwa Thasawwuf sebagai jalan untuk taqarrub dan marifatullah dan sebagai gerakan moral harus berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah maka berThasawwuf yang keluar dari al-Qur’an dan Sunnah dipastikan menyimpang dan gulu (berlebihan)
Secara terminologis kata yang paling qurani untuk term pendekatan adalah "Taqarrub" dan Tazkiyyat an-Nafs bukan "Thasawwuf". Atau secara spesifik dalam tradisi ahli Hadis dengan ilmu Zuhud. Thasawwuf sebagai tradisi dan Keilmuan, bersifat sah-sah saja, baik untuk diikuti atau ditolak. Sebab sifat asli tradisi (mu’amalah) adalah tidak boleh mewajibkan, sebagaimana sifat ibadah.
Ketika seseorang merasa perlu dengan Thasawwuf sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt., maka posisinya tidak berbeda dengan seseorang yang tidak perlu berThasawwuf.
Latief mengakui memang ada thasawwuf yang sesat, tetapi ia juga tidak menafikan kenyataan ada juga yang lurus.
“Mengkaji Thasawwuf yang selamat kepada ulama yang berjasa membersihkan praktek Thasawwuf dari penyimpangan dan mengharmonikannya dengan syariat (fiqh) antara lain Abdul Qadir al-Jilani, Imam al-Ghazali, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah”, pungkasnya.
Adapun pemateri selanjutnya, KH. Teten Romly Qamaruddin, MA, cenderung menolak istilah tasawwuf. Ia lebih cenderung ke istilah Tazkiyatunnafsi. Sebagaimana yang disebutkan oleh Abul Hasan Ali Al Husni An Nadawy.
“Keterpaduan antara aqidah, ibadah, dan akhlak atau suluk merupakan ajaran Islam yang paripurna antara satu dengan lainnya saling menguatkan dan semuanya merupakan syaraiul Islam (kelengkapan ajaran islam)”, ujarnya.
Teten menjelaskan pola hidup tasawwuf yang diterima adalah yang berpegang teguh kepada Alquran, mengamalkan sunnah, makan makanan yang halal, mencegah menyakiti orang lain, menjauhi yang tidak baik, bertaubat dan menunaikan hak-hak.
“Dengan demikian, kalaulah upaya rekonsiliasi yang dimaksud adalah berpadunya dua atau tiga idea dengan sumber pijakan yang berbeda, maka tentu saja hal ini tidak akan pernah atau sulit terjadi”, ungkap Teten.
Latief cenderung menerima istilah tasawwuf, sedangkan Teten cenderung menolak. Namun kedua-duanya sepakat maqam ihsan mesti diperhatikan oleh kita yang cenderung kering dari aspek ini.
Terakhir, Dr. Tiar Anwar Bachtiar selaku moderator menutup bahwa thasawwuf itu substansinya adalah ihsan, adapun istilah yang populer di kalangan jamiyyah dikenal dengan nama tazkiyatun nafsi. (/TG)