Persis.or.id - Usai sudah Konferensi Internasional bertajuk "Pembebasan Turkistan Timur dari Ketidakadilan". Kegiatan tersebut dihelat selama tiga hari, 10-12 Juni 2022 di Istanbul, Turki.
Kegiatan internasional tersebut diselenggarakan oleh Persatuan Ulama Turkistan Timur yang menilai bahwa yang terjadi dan dialami oleh muslimin Xinjiang (nama lain dari wilayah Turkistan Timur) sudah termasuk kategori pelanggaran HAM berupa genosida.
Dalam kegiatan tersebut, hadir sejumlah organisasi Islam di berbagai negara Islam, baik Timur Tengah maupun dari Asia lainnya, termasuk Asia Tenggara, seperti Indonesia. Selain itu, hadir pula para ulama dan cendikiawan muslim yang memberikan refleksi terkait fenomena yang terjadi di wilayah yang dikuasai oleh negara Republik Rakyat China (RRC) tersebut.
Salah satu pembicara dalam kegiatan tersebut adalah delegasi dari Persatuan Islam, Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum. Pada sesi paparannya, Bachtiar, yang juga ketua HMK PP PERSIS, memberikan analisis singkat terkait fakta kontemporer yang terjadi di Turkistan Timur.
Pertama, hegemoni pemerintah yang dikuasai oleh ideologi komunis berhasil membuat rakyat di wilayah tersebut menjadi jahil terhadap ajaran Islam. Kedua, hal tersebut tidak dapat dinafikan karena upaya penghancuran terhadap warisan-warisan keilmuan tentang sejarah umat islam di Turkistan Timur. Ketiga, kemudian berefek pada rontoknya tatanan masyarakat Islam di sana.
Lebih lanjut, Bachtiar menguraikan bahwa yang terjadi di Xinjiang memiliki kemiripan dengan yang terjadi di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Nusantara (Indonesia) pada sekitar abad XVII hingga XX telah mengalami penghancuran kerajaan-kerajaan Islam oleh kolonial Belanda, hingga akhirnya terbentuk pemerintahan yang dikenal dengan Hindia Belanda sebagai sebutan wilayah Indonesia saat itu.
Selain faktor politik yang sangat kuat dilakukan untuk menghilangkan jejak Islam di Nusantara, dilakukan pula melalui tradisi keilmuan berupa penulisan karya-karya sejarah yang jelas-jelas menghapus jejak kejayaan umat Islam di Nusantara.
Walaupun demikian, kesadaran kolektif akhirnya terjadi di kalangan para ulama dan cendikiawan muslim di Indonesia. Mereka bersatu padu dengan potensi dan posisi masing-masing, hingga akhirnya sampai pada puncaknya, kemerdekaan dari penjajahan pada 1945. Sejak saat itu, beragam upaya dilakukan untuk memasukkan nilai-nilai Islam pada struktur politik negara, di antaranya yang berhasil dilakukan adalah terciptanya Pancasila. Hal tersebut memiliki ruh nilai-nilai Islam yang kuat dan hasil konsensus nasional semua elemen rakyat Indonesia.
Pada akhir paparannya, Bachtiar memberikan beberapa saran terkait upaya pembebasan Turkistan Timur dari hegemoni yang terjadi saat ini. Di antaranya: pertama, jaga dan pelihara pengetahuan kolektif jejak-jejak kejayaan umat Islam di wilayah ini dengan membangun pusat-pusat pendidikan, baik madrasah, kuttab, dan semisalnya, guna menyiapkan kader-kader masa depan. Kedua, perkuat persatuan dan tekan perselisihan di antara para alim, cendikia, serta organisasi-organisasi yang ada.
Kontributor: Muslim Nurdin
Editor: Ilmi Fadillah