Pernyataan Pemerintah Yang diwakili Oleh Menteri Kordinator Politik, hukam dan keamanan Wiranto menegaskan akan menempuh jalur hukum sesuai dengan UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan terkait keputusan untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI ). Pembubaran itu didasarkan atas penyerapan aspirasi dari masyarakat.
Didasarkan atas penyerapan aspirasi, wiranto memaparkan tigas alasan pemerintah membubarkan HTI. Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI dinilai tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Ketiga, aktifitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI (kompas.com/read/2017/05/)Pernyataan Yang Di Sambut Baik
Pernyataan pemerintah terkait pembubaran HTI disambut baik oleh Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, beliau menilai organisasi HTI bertentanga dengan pancasila karena ingin mendirikan khilafah. Lebih lanjut beliau menjelaskan “ HTI ini merupakan kelompok umat islam yang pingin mendirikan khilafah jelas bertentangan dengan pancasila dan kosntitusi” ( kompas.com/read/2016/05/14/)
Hal yang senada juga disampaikan oleh GP Anshor yang merupakan sayap dawah NU. Ketua Umum Pimpinan Pusat GP anshor Yaqut Cholil Qoumas mengatakan “ Langkah pemerintah sudah benar. Kami akan dukung sepenuhnya. Selanjutnya yang perlu dilakukan adalah pembersihan oknum-oknum birokrasi dan aparatur negara dari anasir-anasir HTI dan kelompok anti-NKRI yang lain," ( republika.co.id/17/05/08/ )
Pernyataan Pemerintah Menuai Kritikan
Pernyataan Pemerintah terkait Pembubaran HTI disambut baik oleh beberapa Tokoh dan Ormas. Disamping sambutan baik, beberapa pernyataan yang bersifat mengkritik dan tidak setuju silih berdatangan baik itu dari tokoh ataupun ormas, yang sangat menyesalkan pernyataan pemerintah yang dilakukan dengan cara sewenang-wenang tanpa prosedur yang sesuai.
Pakar Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendara memberikan kritikannya terkait pernyataan pemerintah atas HTI beliua mengatakan “ Pemerintah harus terlebih dahulu menempuh langkah persuasif. Langkah persuasif itu yakni dengan memberikan surat peringatan sebanyak tiga kali. Jika langkah persuasif sudah dilakukan dan tidak membuahkan hasil, baru mengajukan permohonan ke pengadilan.
"Langkah hukum itupun benar-benar harus didasarkan atas kajian yang mendalam dengan alat bukti yang kokoh. Sebab jika tidak, permohonan pembubaran pembubaran bisa dikalahkan," (kompas.com/2017/05/08)
Hadirnya Ke Gaduhan Nasional
Selekas Pernyataan pemerintah, kegaduhan antar kelompok yang kontra ataupun yang pro tidak bisa dibendung. Berbagai kritikan dan silang pendapat meramaikan pemberitaan nasional. Nama ormas Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI ) tiba-tiba mencuat masuk ke isi telinga seluruh penduduk Indonesia.
HTI mendapat perhatian yang serius, karena berbagai kecaman yang datang untuk menyudutkan ormas tersebut, bahakan beberapa kali Anggota HTI ditangkap oleh aparat ketika menyebarkan dakwahnya lewat media cetak, tidak hanya itu, ormas yang pro pembubaran HTIpun ikut melakukan cara-cara layaknya aparat, membubarkan pengajian dan forum-forum diskusi yang diadakan oleh HTI.
Dukungan untuk HTIpun datang dari berbagai elemen masyarakat, dari mulai islam, non islam dan para penggiat HAM. Kesemuanya menyuarakan pembelaan atas hak-hak yang sama bagi semua warga negara yang diatur dalam UUD 45 Pasal 28. Selain itu pemerintah dikecam karena tidak menjunjung tinggi supremasi hukum, cara-cara yang dilakukan jauh menyimpang dari sebuh negara yang notabene adalah negara Hukum ( UUD 45 Pasal 1 ).
Langkah-langkah yang diambil pemerintah tidak memiliki urgensi untuk penyelesaiaan masalah bangsa hari ini, alih-alih menyelesaikan masalah pemerintah menambah masalah baru. Melakukan tindakan yang berkesan otoritatif atas pernyataan pembubaran HTI. Pernyataan yang berkesan tiba-tiba dan dilakukan dengan cara yang tidak mengindahkan hukum. Otomatis ini menjadi polemik, ketegangan antar anak bangsapun terjadi, dari mulai elit sampai akar rumput.
Ketegangan inipun merambah kepada silih klaim dan tuduh menuduh, antara kelompok yang mengklaim pancasilais disertai dengan tuduhan anti pancasilais terhadap kelompok lain. Ketegangan itu diperparah dengan tindakan-tindakan yang berkesan mengintimidasi suatu ormas tertentu, sehingga peran penyelenggara negara disini harus hadir untuk memberikan rasa aman, tapi sangat disayangkan dalam beberapa kesempatan para penyelenggara negara memberikan kesan yang diskriminatif, berdiri diatas ormas tertentu.
Demokrasi Mati Suri
Pernyataan pemerintah atas pembubaran HTI yang dilakukan dengan cara yang tidak konstitusional menandaan kemunduran demokarasi Indonesia, bagi negara demokrasi yang menjunjung supremasi hukum, hukum menjadi acuan bagi pemerintah dalam mengambil keputusan.
Sehingga disini pemerintah adalah pelaksana hukum atau subjek hukum, disamping itu pemerintah juga berposisi sebagai objek hukum. Pemerintah sebagai subjek hukum bukan berarti dengan semaunya melaksanakan sebuah hukum dan bukan berarti pemerintah juga kebal hukum.
Karena sebagai negara hukum prinsip "Equality Before the Law," ( kesamaan didepan hukum ) berlaku untuk semunya tidak hanya masyarakat sipil tetapi juga untuk pemerintah.
Pemerintah secara tidak langsung telah mengkerdilkan supremasi hukum dengan pernytaannya yang membubarkan ormas HTI, disini pemerintah kurang menjiwai praktik kehidupan sebuah negara hukum, prinsip "Equality Before the Law," seolah hanya selogan semata, tidak menyentuh terhadap realitas yang lebih konkret dan objektif. Ormas HTI dan orang-orang yang tergabung didalamnya dihakimi dan dikecam sedemikian rupa tanpa bukti-bukti yang dapat dibenarkan. Pemirintah dengan tindakan otoritatifnya rela mamasung kebebasan berserikat, yang notabene menjadi pilar utama dalam nagara yang menganut sistem demokrasi.
Pilar-pilar demokrasi semakin-semakin rapuh, keropos digerogoti oleh pemangku-pemangku kebijakan yang gampang mempolitisasi sesuatu, dan acapkali mendeskriditkan mereka-meraka yang bersebrangan pendapat. Sejatinya apabila perbedaan pendapat sudah disikapi dengan cara-cara yang arogan dan anarki, maka secara tidak langsung Demokrasi dinegri ini mati suri.
Belajar Dari Prinsip Demokrasi Ramah Ala Emanuel Marco
Macro merupakan presiden baru Prancis yang berusia 39, beliau adalah president termuda dalam sejarah prancis. Yang menarik dari beliau ialah gagasan akomodatifnya, beliau pernah mengtakan dalam salah satu janji kampanyenya “tidak ada agama yang menjadi masalah diprancis saat ini, jika negara bersikap netral yang merupakan inti sekulerisme, kita memiliki kewajiban untuk membiarkan semua orang mempraktikan agama meraka dengan harga diri”
(sindonews.com)
Francis, yang merupakan prototype negara demokrasi yang menjunjung tinggi prinsip persamaa, persaudaraan dan kebebasan. Francis Sekarang sedang menikmati udara segar yang kental dengan harapan semenjak terpilihnya Emanuel Marco, terpilihnya beliau disambut baik oleh muslim prancis, beliau adalah sosok yang santun terhadap keyakinan yang dianut setiap orang yang Bergama. Ditambah dengan gagasan ramah dan akomodatif beliau terhadap semua agama yang hidup difrancis.
Ketika pemerintah Indonesia menyatakan pembubaran atas ormas HTI, disamping ada keganjalan hukum, tidak terlihatnya langkah-langkah yang ramah terhadap warganya sendiri, seharusnya pemerintah memposisikan mereka sebagai warga negara yang harus disikapi secara ramah dan akomodatif, tidak serta merta langsung berujar pembubaran karena sikap politik seperti ini kurang baik untuk keberlangsungan sebuah negara hukum.
Oleh sebab itu gagasan ramah dan akomodatif Emanuel Marco penting untuk dijadikan referensi oleh pemerintah Indonesia, supaya dalam mesikapi perbedaan pendapat dengan warga negaranya dapat bertindak secara akomodatif, ramah dan menjunjung tinggi supremasi hukum.
***
Penulis: Ilham Nur Hidayatullah