[Arsip - 13/10/21]
Bandung, persis.or.id - Vaksin sebagai salah satu ikhtiar mencegah dan solusi terjadinya wabah, menuai polemik di kalangan masyarakat.
Sebagian golongan ada yang mendukung secara penuh, sebagian lagi ada yang menolak. Salah satu alasan yang menolak adalah karena status kehalalannya yang masih dipertanyakan.
Tentu hal ini mesti dijawab oleh lembaga fatwa, termasuk di dalamnya Dewan Hisbah, sebagai otoritas tertinggi masalah hukum dalam organisasi Persatuan Islam.
PC Pemuda PERSIS Pameungpeuk merespon masalah tersebut dengan mengadakan acara diskusi "Metodologi Penetapan Hukum Dewan Hisbah dalam Kasus Vaksin", dengan mengundang salah satu asatidz dari tim Sekretariat Dewan Hisbah, Ustaz Ginanjar Nugraha, yang juga anggota PERSIS cabang Pameungpeuk.
Diskusi yang diselenggarakan pada Sabtu malam (9/10/2021) tersebut, dihadiri oleh para tasykil dan anggota Pemuda PERSIS cabang Pameungpeuk.
"Dewan Hisbah setidaknya sudah bersidang tiga kali dalam kasus vaksin. Pertama, kasus vaksin meningitis bagi yang hendak beribadah haji; Kedua, vaksin MR yang mencegah kecacatan pada anak; ketiga, vaksin Sinovac sebagai salah satu vaksin untuk pandemi Covid-19. Ketiganya menjadi modal untuk memahami pola istinbat Dewan Hisbah dalam kasus Vaksin," ujar Ustaz Ginanjar Nugraha yang juga redaktur majalah Risalah Persatuan Islam ini.
Dirinya menerangkan bahwa pola istinbatnya adalah sebagai berikut. Pertama, menggunakan pendekatan maqashid syariah yaitu hifz al-nafs (menjaga jiwa). Untuk vaksinasi, difahami sebagai bagian dari ikhtiar untuk menjaga jiwa dari hal yang dapat membahayakannya.
Kedua, karena pada dasarnya sama dengan pengobatan, vaksin mesti diteliti bahan dasarnya, apakah dari sesuatu yang halal atau haram. Dalam hal ini tentunya perlu mengundang para ahli dibidangnya, misalnya para ilmuan dari PT Biofarma.
Ketiga, terkait dengan proses produksi. Jika dalam prosesnya terdapat campuran bahan yang diharamkan kemudian terbawa pada hasil akhir, maka vaksinasi hukumnya haram.
Namun jika hanya sekedar katalisator atau pengurai dan menjadi media bagi virus, tetapi tidak terbawa pada hasil akhir, maka hukumnya halal. Dalam dunia fikih dikenal dengan istilah istihalah, yaitu perubahan zat lewat proses tertentu dari asalnya haram menjadi halal atau sebaliknya.
Keempat, pada hasil akhir mesti terbebas dari unsur yang diharamkan. Karena bisa saja bahan dan proses terbebas dari yang haram, tetapi pada hasil akhir mengandung yang diharamkan.
Misalnya pada kasus perasan anggur yang lewat proses tertentu dapat menjadi bir yang mengandung unsur yang diharamkan. Sehingga, hukumnya haram.
Kelima, uji efikasi atau keamanan untuk dikonsumsi. Walaupun pada hasil akhir halal, tetapi seandainya dipastikan dapat menimbulkan bahaya, maka dapat dilarang karena unsur bahayanya.
“Lewat serangkaian tahapan proses penetapan hukum ini, sampai kepada kesimpulan vaksin yang berbahan dasar dan proses produksinya halal, maka hukum vaksinasinya mubah, adapun vaksin yang berbahan dasar proses produksinya haram, maka hukumnya haram," terangnya.
Namun seandainya dalam keadaan darurat, terdesak atau terpaksa, maka kata dia, dapat dimaafkan dan tidak berdosa berdasarkan kaidah-kaidah kedaruratan dalam kaidah fikih.
"Dalam kasus vaksin Sinovac, Dewan Hisbah meyimpulkan hukumnya halal, setelah melalui serangkaian pengujian tersebut," pungkas Ustaz Ginanjar.
Ketua PC Persis Pameungpeuk, Ustaz Ridwan Farid, menyatakan bahwa kegiatan bedah metodologi akan diadakan setiap bulan.
"Untuk memperkuat pemahaman jamaah terhadap putusan-putusan Dewan Hisbah dan metodenya, sesuai dengan prinsip berilmu sebelum berkata dan beramal," tandasnya.
(GN/MN/FAR)