Gelar "Haji" Bukan Pemberian Belanda

oleh Reporter

28 Juni 2019 | 07:51

Bandung - persis.or.id, Beberapa waktu ke belakang ini tersebar beberapa tulisan entah darimana sumbernya yang mengatakan bahwa gelar “haji” pada masa Indonesia masih dijajah oleh Belanda merupakan pemberian dari pemerintah Kolonial Belanda sendiri. Hal demikian sengaja diberikan untuk mengawasi siapa-siapa saja yang yang telah menunaikan haji ke Mekah. Mereka penting untuk dikenali dan diawasi mengingat pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah Belanda banyak dilakukan oleh mereka yang telah menunaikan ibadah haji ke Mekah. Oleh sebab itu, untuk memudahkan Belanda mencegah kaum Muslim yang pulang haji melakukan pemberontakan, maka disematkanlah gelas “haji” di depan nama mereka. Benarkah demikian?

Jawaban atas pertanyaan di atas adalah “tidak”. Bahkan, kesimpulannya tergategori gegabah dan terlampau simplisistik. Kesimpulan sejarah simplisistik semacam ini sering muncul di tengah masyarakat Indonesia yang pada umumnya awam sejarah. Buku-buku sejarah dan kajian-kajian sejarah yang baik dan serius jarang menjadi bacaan masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, wajar bila cerita-cerita seperti di atas muncul. Tujuannya mungkin untuk menunjukkan bahwa menggunakan gelar “haji” bukan merupakan hal yang terpuji. Untuk itu perlu dicari legitimasi sejarah dari mana gelar itu datang. Muncullah kemudian cerita rumor seperti di atas yang kalau dicari sumbernya amat sulit, karena seringkali hanya merupakan dugaan-dugaan yang kemudian menyebar menjadi cerita dari mulut ke mulut.

Sayang sekali, cerita semacam ini pada era media sosial yang amat cepat memassifkan informasi hanya dari sumber tunggal segera menjalar ke mana. Bahkan, kekuatan ceritanya semakin diperkuat manakala website milik ormas besar ikut menyebarkannya. Sebut saja contohnya dalam “Asal-Usul Gelar Haji” yang dimuat di nu.or.id. Dalam situs ini dikutip pendapat Agus Sunyoto yang menyebut adanya “Ordonansi Haji” tahun 1916 yang mewajibkan penggunaan gelar haji untuk mengawasi para haji, karena umumnya sering menjadi pemimpin perlawanan di Indonesia. Pendapat ini kemudian di-copy paste oleh situs-situs yang lain dan menyebar secara massif ke mana-mana sehingga dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Kelemahan pertama pendapat di atas adalah mengutip “Ordonansi Haji 1916”. Persoalannya bukan pada pengutipan atau penyebutan, melainkan pada keberadaan ordonansinya itu sendiri. Sepanjang periode Hindia Belanda (1800-1942) peraturan (ordonansi) mengenai haji terbit pada tahun 1825 tentang pembatasan kuota jamaah haji, 1859 tentang aturan pelaksanaan haji, dan 1922 yang berisi aturan tentang pelayanan haji yang lebih baik. Tidak ditemukan sama sekali ada ordonansi haji tahun 1916. Kalaupun ada bukan ordonansi, melainkan pelarangan menunaikan ibadah haji oleh pemerintah terkait tengah belangsungnya Perang Dunia I yang dikeluarkan sejak tahun 1915, walaupun dalam praktiknya jamaah haji Indonesia tetap banyak yang berangkat meski jumlahnya menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Pelarangan ini juga tidak ada kaitan dengan masalah ideologis atau gelar, melainkan terkait masalah keamanan perjalanan haji. (lihat: Saleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, 2007: 170-173; Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 1996: 92-98).

Kedua, tidak benar bahwa gelar haji baru dipakai sejak tahun 1916. Bahkan, pernyataan ini menunjukkan keteledoran sejarah yang fatal. Berbagai fakta yang jumlahnya tidak terhitung banyak sekali yang menunjukkan bahwa gelar “haji” sudah dipakai sejak lama di Indonesia bahkan sejak sebelum Zaman Klonial. Salah satunya yang dikemukakan oleh Henri Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2013:  33-34). Ia menyebut bahwa pada tahun 1674, anak Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten naik haji. Ia merupakan anak raja di Jawa yang pertama kali naik haji. Sepulang dari Mekah tahun 1675, ia kemudian disebut sebagai “Sultan Haji”. Sebelumnya, beberapa bangsawan Banten sudah berangkat haji juga pada tahun 1638 dan 1651. Sepulang dari Mekah, mereka menyematkan gelar “haji” di depan namanya, yaitu Haji Jayasantana dan Haji Wangsaraja, lalu Haji Fatah. Fakta ini menunjukkan bahwa sejak lama gelar “haji” sudah populer di Indonesia, dan sama sekali bukan buatan Belanda. Bila pada abad ke-17 saja gelar “haji” sudah populer, apalagi abad-abad selanjutnya. Pada saat Sarekat Islam didirikan tahun 1911, pendirinya sudah populer disebut “haji”, yaitu Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.

Ketiga, mengenai gelar haji ini justru sikap Belanda malah ingin menghapuskannya, hanya saja mereka tidak sanggup melakukan itu. Hal ini terlihat jelas dari Ordonansi Haji tahun 1859. Salah satu ketentuan dalam ordonansi ini adalah bahwa sepulang dari Mekah mereka harus menempuh ujian mengenai masalah Mekah dan Islam. Hanya apabila mereka lulus ujian ini, barulah mereka dianggap berhak untuk mempergunakan gelar haji di depan nama mereka. Ujian ini maksudnya untuk mengurangi pengaruh orang-orang haji yang tidak disenangi pemerintah terhadap masyarakat. Sebab, di masyarakat umum, mereka yang pernah pergi haji dan menggunakan gelar haji mendapatkan apresiasi yang lebih tinggi dari masyarakat. Agar mereka tidak berpengaruh lagi; atau minimal dapat mengurangi pengaruh mereka, maka penggunaan gelar “haji” justu ingin dihilangkan oleh Belanda. (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1993: 32).

Alasan ketiga ini semakin diperkuat dengan kenyataan bahwa pada masa lalu, terutama pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20 posisi mereka yang pernah menunaikan ibadah haji ke Mekkah sangat penting dan strategis. Mereka yang melaksanakan ibadah haji pada masa itu, disebabkan faktor geografis, menyebabkan perjalanan haji menjadi perjalanan yang sangat penting. Perjalanan haji bukan hanya sekedar menjadi perjalanan spiritual belaka seperti yang kita saksikan akhir-akhir ini setelah transportasi udara massal mudah diakses. Perjalan haji pada masa itu adalah juga perjalanan mencari ilmu dan membangun relasi internasional. Mereka pada umumnya bermukim di Mekah atau Jeddah dalam waktu yang cukup lama sebelum atau sesudah melaksanakan ibadah haji. Selama mereka berada di sana, sebagian besar menggunakannya untuk belajar dan membangun relasi internasional.

Selama mereka “ngelmu”dan membangun jaringan di Tanah Suci, terbangunlah kesadaran tentang kondisi tanah air mereka yang sedang terjajah sama seperti di belahan dunia Islam yang lain. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pada masa Kolonial Belanda banyak tokoh yang sepulang haji tampil menjadi tokoh-tokoh pergerakan yang memapu mempengaruhi masyakarat untuk melawan pemerintah Belanda. Salah satu yang cukup penting adalah munculnya gerakan pembaharuan Islam di Sumatera Barat yang sekaligus menjadi motor perlawanan terhadap Belanda, yaitu kaum Padri. Cristian Dobbin dalam Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847 (2008: 198-202) menjelaskan bahwa munculnya para pemimpin Padri dan pengaruh mereka terhadap masyarakat tidak terlepas dari pengaruh yang didapatkan dari kawasan Hijaz sepulang haji. Pengaruh ini bahkan semakin kuat hingga mampu menggerakkan masyarakat untuk angkat senjata melawan Belanda pada Perang Padri (1833-1838).

Pengaruh gerakan para haji ini semakin menguat memasuki abad ke-20. Hasil ngelmu di Mekah dari guru-guru mereka dan kenalan mereka sedunia menginspirasi para haji ini untuk membuat suatu terobosan gerakan baru selain gerakan militer seperti para pendahulu mereka. Pendekatan baru yang dimaksud adalah pendekatan politik dengan cara mendirikan organisasi-organisasi gerakan yang cukup efektif untuk mendapat dukungan rakyat secara langsung. Mula-mula Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1905; lalu Hadji Oemar Said Tjokroaminota memperluas cakupan politiknya dengan mendirikan Sarekat Islam (SI) pada tahun 1911. Setahun berikutnya 1912 Haji Ahmad Dahlan yang pernah tinggal cukup lama di Mekah mendirikan organisasi Muhammadiyah yang berfokus pada pendidikan dan kegiatan sosial untuk membentengi umat dari pemurtadan. Tahun 1923 di Bandung Haji Muhammad Yunus dan Haji Muhammad Zam-zam mendirikan Persatuan Islam (Persis), Haji Abdul Halim mendirikan Persyarekatan Ulama di Majalengka, dan contoh-contoh lain yang jumlahnya cukup banyak. Gara-gara haji ini juga, para pengasuh pesantren akhirnya menempuh jalan para aktivis Islam dengan mendirikan Nahdhatul Ulama (NU) pada tahun 1926.

Munculnya gerakan-gerakan Islam tersebut semakin menekan posisi politik Belanda di tanah jajahannya ini. Oleh sebab itu, Belanda berusaha untuk menekannya supaya tidak berbahaya. Masuk akal bila tahun Ordonansi Haji tahun 1859 membatasi dan cenderung melarang penggunaan gelar “haji”, karena masyarakat memang amat menghormati gelar ini sejak lama. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa gelar “haji” bukan pemberian Belanda, melainkan budaya yang sudah melekat lama di kalangan kaum Muslim di Indonesia. Wallâhu A’lam.

Tiar Anwar Bachtiar (Sejarawan; Dosen STAI Persis Garut dan Universitas Padjadjaran Bandung)

Reporter: Reporter Editor: admin