Persis.or.id - Tukar cincin adalah suatu kebiasaan yang 'Taqlidy' (meniru atau mengekor) pada kebiasaan barat. Tampaknya, apa saja yang datang dari barat dipandang baik dan dijadikan tanda atau bukti kemajuan.
Tukar cincin ialah suatu upacara yang tidak ,,ma'qulul ma'na,, tidak termasuk urusan duniawiyyah yang dapat dirasakan manfa'at dan faidahnya, dan bukan pula ajaran Islam. Tukar cincin merupakan suatu upacara yang menyerupai keagamaan. Sedangkan agama Islam tidak mengakui akan kebenaran upacara semacam itu. Maka yang demikian itu ialah yang dinamakan bid'ah.
Bahaya dari upacara tukar cincin ini sudah jelas, tidak dapat dipungkiri lagi. Sudah menjadi kenyataan sehari-hari, akibat upacara tukar cincin merusak aqidah, kehilangan keyakinan akan halal dan haram. Mereka yang telah melakukan tukar cincin, calon suami istri yang satu sama lainya belum atau bukan mahram, belum menjadi suami istri bergaul dengan sesuka hati dan bebasnya.
Orang tua mereka tidak lagi berkuasa apa-apa lagi atas mereka, untuk mencegah dan melarangnya, malah kadang-kadang mereka memufakatinya pula dengan alasan sudah bertukar cincin. Padahal hal itu dipandang dari segi ajaran Islam haram hukumnya, sebab keduanya belum melakukan aqad nikah sebagaimana mestinya.
Dalam suatu buku yang pernah saya baca, ada diriwayatkan asal muasal upacara tukar cincin dan berbulan madu (honeymoon). Konon tukar cincin itu berasal dari kebiasaan zaman Romawi atau kebiasaan dalam kalangan bangsa yang tidak beragama.
Mereka beranggapan bahwa melarikan gadis itu suatu perbuatan yang perwira yang menjadi lambang kebanggan dan kemegahan mereka. Mereka mencuri atau melarikan wanita yang diingininya dalam keadaan terikat, dibawa lari dengan mengendarai seekor kuda kesuatu tempat yang jauh dari tempat kediamannya. Maksudnya ialah untuk dijadikan istrinya.
Tali pengikat yang dipergunakan untuk mengikat gadis yang dibawa lari itu akhirnya dijadikan suatu perlambang, sekalipun tidak dicuri dan dibawa lari. Lambang kemegahan dan kebanggaan bahwa gadis itu telah menjadi miliknya.
Dan untuk itu terjadilah upacara pengikatan yang kita kenal dengan nama tukar cincin. Tali pengikatnya sudah berubah, bukan dengan tali biasa, tapi dengan mas atau perak atau barang berharga lainya yang kemudian diringkaskan dalam bentuk cincin. Dan yang diikat sekarang bukan saja si gadis saja, tapi juga si prianya.
Selanjutnya upacara melarikan gadis itu sekarang berubah dengan nama "honey moon" atau berbulan madu. Dan dalam honeymoon itu mereka bergaul dengan tidak mengindahkan batas-batas halal dan haram.
Dikalangan yang bukan Islam di negri kita perbuatan melarikan gadis itu masih terdapat sisa-sisa nya. Dalam ethonology (ilmu bangsa-bangsa) sering disebut "kawin lari" atau "Marlodjing" atau "dilodjongkan".
*KH.E. Abdurrahman (Allohu yarham)
Istifta Majalah Risalah th 69