Indonesia sebagai negara hukum mempunyai aturan main (rule of the law) yang jelas dalam mengidentifikasi, mengungkap dan memproses suatu tindak pidana. Apapun jenis tindak pidananya, maka proses hukumnya diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) sebagai pedoman utama prosedur penegakan hukum pidana.
Proses ini diperlukan untuk membuat terang dan jelas mengenai perbuatan yang dilakukan apakah benar-benar melanggar hukum, apa saja bukti-bukti sehingga perbuatan tersebut bisa yakin diketahui (bukan asumsi dan menduga duga), dan hukum yang mana yang patut dibebankan kepada pelaku tersebut.
Hal tersebut demi menjunjung tinggi kepastian hukum, dan menghindari kesewenang-wenangan. maka tidak bisa seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana, secara sekonyong-konyong dijatuhi hukuman tanpa melalui tahapan proses sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Adapun proses dalam mengungkap tindak pidana dalam KUHAP dimulai dari proses penyelidikan, penyidikan, di kepolisian hingga proses penuntutan, pembuktian di pengadilan dan eksekusi putusan pengadilan. Demikian pula dengan tindak pidana penistaan agama yang saat ini tengah menjadi sorotan warga Muslim Indonesia. masyarakat muslim mendesak pemerintah melalui aparat penegak hukum (kepolisian) untuk memproses sdr. Basuki Tjahja Purnama yang diduga kuat telah melakukan penistaan agama Islam, dengan menyatakan bahwa QS. al maidah ayat 51 adalah alat untuk membohongi masyarakat agar tidak memilih pemimpin non-muslim.
Perlu digaris bawahi, aksi gabungan ormas Islam khususnya aksi damai jilid 2 yang digelar 4 November 2016 ini bukanlah aksi barbar yang menekan agar sdr. Basuki ditangkap. tetapi pemerintah dan aparat penegak hukum harus bisa menterjemahkan aksi unjuk rasa ini kedalam bahasa hukum sehingga memahami bahwa aksi damai ini adalah untuk menekan aparat penegak hukum agar tegas segera melakukan proses hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP, dan menunjukan atensi bahwa seluruh elemen masyarakat muslim mengawal jalannya proses yang dilakukan aparat penegak hukum. Bahwa umat Islam tidak diam terhadap perilaku penistaan agama.
Aksi Damai 4 November 2016 adalah tuntutan konstitusional agar aparat penegak hukum kembali kepada khittahnya sebagai penegak hukum, bukan pembela salahsatu golongan bukan pembela salahsatu sosok tertentu.
Dalam hal ini aparat penegak hukum; tingkat kepolisian, seyogianya mendengarkan aspirasi masyarakat yang secara jelas sesuai dengan perintah undang-undang yaitu segera lakukan penyelidikan, kemudian lakukan penyidikan. Penyidikan sendiri diartikan dalam pasal 1 butir (2) KUHAP sebagai: "serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya". maka sesuai tuntutan masyarakat dan perintah undang-undang ini, penyidik harus segera mengumpulkan alat bukti.
Diantara alat bukti sebagaimana diatur pasal 184 KUHAP, untuk tindak pidana penistaan agama ini alat bukti yang urgent adalah keterangan ahli. diantaranya ahli bahasa untuk mendeskripsikan interpretasi dari ucapan yang dilakukan sdr. Basuki alias Ahok. Kemudian ahli agama, ahli tafsir Al quran untuk menjelaskan bagaimana penafsiran QS Al Maidah ayat 51 sehingga penyidik memahami dengan terang dan jelas bagaimana konteks perkataan Ahok dihubungkan dengan keterangan ahli tersebut, kemudian dihubungkan dengan unsur pasal penistaan agama 156 a KUHP.
Prosedur hukum adalah proses yang panjang, namun akan selesai jika aparat penegak hukum segera menjalankan proses dengan professional. masyarakat Islam Indonesia pun akan kembali tenang. Unjuk rasa aksi damai 4 November ini adalah bukti bahwa betapapun geramnya terhadap perbuatan Ahok, namun masyarakat Muslim adalah masyarakat berbudi luhur, beradab yang cinta NKRI dan menghormati perundang-undangan.
Berkaitan dengan anjuran beberapa tokoh untuk memaafkan Ahok, maka umat Islam siap memaafkan, dan permintaan maaf memaafkan tidak menjadi penghapus pidana menurut legal formal Indonesia sebagaimana menerobos lampu merah/rambu lalulintas, tidak menggunakan helm, tetap dikenakan tilang oleh Polantas meskipun pelaku telah meminta maaf. Apalagi ini adalah kasus penistaan agama yang tentunya membawa keresahan umat beragama dalam skala nasional.
Jam'iyyah Persis melalui perwakilannya yang berangkat ikut serta dalam aksi damai 4 November adalah pengejawantahan dari akronim nama Jam'iyyah PERSATUAN ISLAM itu sendiri. Bersatu-padu untuk kepentingan, kejayaan dan kemaslahatan Islam yang tetap memperhatikan koridor hukum sebagai fondasi NKRI. Keikut sertaan Jam'iyyah PERSATUAN ISLAM juga menandai bahwa Persis masih mempunyai taring peduli terhadap ummat, tidak dikerangkeng oleh kepentingan elit pemerintah yang tidak simpati terhadap umat.
Tidak berkelit bahwa "persis tidak didirikan untuk berunjuk rasa". Persis memahami bahwa bentuk dakwah, pendidikan masyarakat, solidaritas, dan kepedulian terhadap umat layak dilakukan dengan berbagai cara sepanjang halal dan terhormat! Wallahu 'alam bi showab. [/Adli Hakim]