Nampaknya sudah betapa seringnya disampaikan, bahwa ilmu memiliki peran yang sangat besar dalam kelangsungan hidup ini. Diterangkan dalam sebuah riwayat yang sering kita dengar pula, bahwasanya “Siapa yang menghendaki dunia, hendaklah dia berilmu. Juga siapa yang menghendaki akhirat, maka hendaklah dia berilmu”. Kemenangan di dunia, bisa di raih dengan ilmu. Juga kemenangan di akhirat, dapat diperoleh pula dengan ilmu. Tetapi, seringnya pesan ini disampaikan secara berulang-ulang, tidak menjamin bagi tumbuhnya kegiatan dan aktifitas keilmuan yang subur di tengah-tengah kita.
Kehidupan pada masa kenabian, telah menunjukan kepada kita, tentang bagaimana bekas daripada ilmu yang nampak jelas terlihat oleh mata telanjang dan sangat terasa oleh jiwa. Peradaban yang tinggi telah dibangun dengan dasar-dasar tradisi keilmuan. Ilmu yang hidup pada waktu itu sungguh-sungguh telah memberikan ruh bagi tegaknya kehidupan yang Islami.
Penulis membayangkan, betapa asyiknya generasi para sahabat yang hidup sezaman dengan Rasulullah, dalam menggauli ilmu. Kegiatan dan aktifitas keilmuan menjadi suatu yang sangat disukai dan dicintai. Terbayang, bagaimana para sahabat bersegera dan bergerombol ketika hendak menghadiri majlis ilmu. Betapa mereka merasakan kehampaan dan kejenuhan ketika tidak mereka dapati sehari tanpa asupan keilmuan. Jiwa mereka telah diresapi oleh ketergantungan dan kecintaan terhadap ilmu. Semua kecenderungan ini, telah membangun suatu kebudayaan keilmuan dalam komunitas muslim pada waktu itu. Dengan kebudayaan inilah, mereka mampu membawa kehidupan kepada segala kebaikan dan kebahagiaan.
Kehidupan kita saat ini, khususnya kalangan muda, sebagaimana terlihat, telah menunjukan perbedaan yang sangat jauh dengan kebudayaan-kebudayaan yang pernah terbangun di masa kenabian. Kita ambil salah satu contoh dari kalangan muda yang hidup di lingkungan lembaga pendidikan tepatnya di perguruan tinggi-perguruan tinggi. Sebagaimana digambarkan oleh Prof. AM Saefuddin ketika menerangkan budaya di kampus-kampus, “… mahasiswa lebih senang, di satu pihak, menampilkan gaya pakaian, gaya bicara, gaya handphone, gaya mobil, gaya tongkrongan, sebagai cara menampilkan status, prestise, dan kelas ketimbang mengejar pengetahuan.” Sekelas akademisi saja, budaya yang berkembang di tengah mereka sudah seperti demikian, entah seperti apa budaya yang berkembang di luar itu. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bagaimana ruang-ruang kampus telah berbaur dengan budaya populis dan pengutamaan gaya hidup.
Budaya hidup seperti ini hanya akan melanggengkan pola hidup yang konsumeris dan materialis. Budaya konsumeris, mampu membuat suatu komunitas manusia ‘hanyut’ ke dalam apa-apa yang ditawarkan kepadanya berupa tontonan, produk, kesenangan, gaya, dan gaya hidup. Biasanya, budaya konsumeris juga akan melemahkan suatu kelompok atau komunitas dari produktifitas dan kreatifitas. Sedangkan kita ketahui bersama, produktifitas dan kreatifitas merupakan nilai-nilai yang mendukung proses-proses kemajuan.
Budaya materialis, telah berhasil menjauhkan mereka dari unsur-unsur spiritual. Jauhnya spiritualitas dari kehidupan menjadikan nilai-nilai spiritual tidak lebih penting dan berharga daripada nilai-nilai material. Bila sudah seperti itu, orang-orang akan berlomba-lomba untuk mencapai segala sesuatu yang sifatnya materi dengan mengabaikan aspek spiritual dalam kehidupan. Padahal, spiritualitas merupakan pertahanan penting bagi setiap manusia dalam menghadapi segala macam kompleksitas persoalan hidup. Makanya tidak aneh, ketika banyak manusia-manusia hari ini yang mengalami depresi bahkan disorientasi (kehilangan arah hidup).
Budaya-budaya seperti ini, jelas hanya mementingkan keinginan dan kepuasan semata. Kita ketahui bersama, kecenderungan seperti itu tiada lain lahir daripada nafsu yang mendominasi kehidupan seorang manusia. Muhammad Qutb menerangkan bahwa, kebudayaan yang lahir dari nafsu, hanya akan membangun kehidupan jahiliyyah dan menjauhkan kita dari kehidupan yang terbangun dari nilai-nilai Islami.
Secara sederhana dapat kita pahami, bagaimana keterhanyutan sebagian besar kalangan muda kita dalam konsumerisme telah menghambat berlangsungnya kebudayaan-kebudayaan yang maju. Dalam pandangan penulis, segala hal yang menghambat kepada kemajuan, cenderung akan mengantarkan kepada kebodohan, kehinaan dan ketertinggalan.
Begitulah pertentangan antara kebudayaan Ilmu yang memperjuangkan kemajuan dan kebahagian hakiki bagi manusia berhadapan dengan kebudayaan nafsu yang mengantarkan manusia kepada kebinasaan. Gambaran ini mewakili pertentangan abadi antara haq dengan bathil.
Jiwa akan senantiasa menunjukan kecenderungan terhadap kebiasaan-kebiasaan yang telah melekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Apabila kebiasaan kita banyak berlangsung di tengah-tengah kebudayaan ilmu, maka tetaplah istiqomah di jalan tersebut. Namun apabila kebiasaan kita banyak bergaul dengan kebudayaan nafsu, maka segeralah selamatkan dirimu. Sebelum tenggelam lebih dalam dan akhirnya hanya akan mengantarkan kepada kebinasaan.
***
Penulis: Zarifin