Jakarta, Persis.or.id – Meski tujukan untuk menghormati kedatangan Paus Fransiskus, namun langkah yang dilakukan Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) maupun Kementerian Agama (Kemenag) dinilai salah kaprah.
Salaah satu kegiatan yang dilakukan Paus Fransiskus di Indonesia adalah melakukan Misa yang akan dilaksanakan mulai pukul 17.00-19.00 WIB di seluruh TV nasional.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah mengimbau stasiun TV untuk menyiarkan azan magrib namun secara running text.
Himbauan tersebut mengundang reaksi banyak pihak, tidak terkecuali Pimpinan Pusat (PP) PP PERSIS. Ketua Umum PP PERSIS Dr. K.H. Jeje Zaenudin, M.Ag kemudian menyampaikan pendapatnya.
Menurutnya, bahwa secara hukum fikih mengubah atau mengganti kumandang azan dengan running text sebenarnya tidak termasuk pelanggaran syari’at, sebab azan yang dikumandangkan pun sebatas rekaman suara.
Sedangkan syari’at azan itu dikumandangkan di tempat salat, pada saat datangnya waktu salat. “Jadi tidak ada kumandang azan di TV tidaklah menjadi masalah hukum syariat. Dan selama ini juga yang dikumandangkan di TV itu hanya azan magrib dan subuh,” ucapnya.
Kemudian Ustaz Jeje menyampaikan bahwa jika yang menjadi alasan perubahan itu berkenaan dengan adanya acara ibadah agama lain, maka hal tersebutlah yang akan menjadi persoalan.
Sebab, di sana sudah ada ketersinggungan budaya atas syi’ar agama. ”Jika yang dijadikan alasan perubahan kumandang azan menjadi running text itu karena berbarengan dengan adanya acara ibadah agama lain, seperti karena ada penayangan Misa umat Katolik, hal ini tentu menjadi persoalan,” katanya.
Menurutnya, persoalannya dilihat dari banyak aspek. Seperti pertanyaan masyarakat, kenapa pelaksanaan Misa tidak mengambil waktu antara jam 15.30 sd 17.30 sehingga tidak bertabrakan dengan waktu azan magrib?
Atau mengapa harus ditiadakan kumandang azan di semua stasiun televisi, padahal mayoritas penonton tv adalah umat Islam? Kata dia, belum lagi jika dikaitkan dengan aspek etika dan keadaban, penghormatan atas adat budaya religi bangsa Indonesia.
“Oleh karena itu, jika sudah menyentuh aspek sensitif dari budaya keagamaan yang dianut oleh suatu bangsa, maka persoalannya menjadi besar. Sebab disana sudah ada ketersinggungan budaya,” terangnya.
“Ketersinggungan budaya atas syiar agama, ini harusnya dipahami dan dihindari secara bijaksana. Apalagi momennya adalah kehadiran tamu yang dimuliakan,” tambahnya.
Ustaz Jeje kemudian menyoroti pernyataan mengapa kegiatan keagamaan suatu kelompok harus meniadakan kegiatan syiar agama kelompok lain, apalagi mayoritas.
“Ada pepatah, di mana bumi diinjak, di sana langit di junjung. Artinya, tamu harus menghormati tata budaya dan syiar agama masyarakat setempat,” tandasnya.
Berdasarkan hal ini, Ustaz Jeje Zaenudin mengatakan bahwa Kominfo tidak selayaknya mengeluarkan himbauan untuk penggantian siaran azan di televisi atas dasar adanya siaran langsung acara Misa Akbar di GBK Jakarta, karena itu justru akan menimbulkan ketersinggungan masyarakat muslim.
Kemudian disampaikan pula jangan sampai keberatan yang disampaikan oleh sebagaian masyarakat Indonesia dipahami sebagai bentuk intoleransi.
Sebab menurutnya, masyarakat Indonesia sudah sangat toleran dengan menerima kehadiran Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik di negeri ini.
“Terbukti dengan keterbukaan menerima pemimpin tertinggi umat Katolik hadir di negeri ini. Tetapi harus dipahami sebagai bentuk saling menghargai dan menghormati syiar keagamaan masing-masing,” pungkasnya.