Jakarta - persis.or.id, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pihak terkait dalam persidangan lanjutan Judical Review KUHP pasal kesusilaan, menyampaikan permintaan agar MK mempertimbangkan hukum Islam dalam perluasan makna zina pada hari selasa (04/10) di Gedung Mahkamah Konstitusi.
Perwakilan dari MUI yang mengikuti sidang tersebut ialah Prof. Dr. H M Baharun, Ketua komisi Hukum dan Perundang Undangan Dewan Pimpinan MUI, Dr. Zaenal Arifin Hoesein, Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang undangan Dewan Pimpinan MUI serta Hj. Mursyidah Thahir MA, Anggota Komisi Fatwa Dewan Pimpinan MUI.
"Sesuai fitrahnya, Allah SWT menciptakan manusia dan makhluk hidup lainnya berpasang-pasangan serta mengatur orientasi seksual manusia berdasarkan pada pasangannya", Papar Hj. Mursyidah Thahir MA.
Lebih lanjut Hj.Mursyidah menyebutkan bahwa fenomena kehidupan komunitas pasangan sejenis baik gay dan lesbian semakin banyak terjadi baik secara terang-terangan maupun sembunyi, bahkan tidak jarang mereka hidup sebagai pasangan suami istri.
"Itu semua bertentangan dengan Al Quran dan Hadits, MUI memohon agar MK mempertimbangkan hukum Islam sebagai landasan untuk memperluas pengertian zina sebagaimana diuraikan asas Ketuhana yang Maha Esa yang tercantum dalam Pancasial sumber hukum negara Indonesia. Demikain pula asas kemanusian yang adil dan beradab", ujar Hj.Mursyidah.
Tanpa perubahan makna perzinaan yang tercantum dalam KUHP berarti negara dianggap telah membiarkan praktik hubungan bebas di luar pernikahan yang sah, yang sudah terbukti banyak menimbulkan kemudaratan, tidak hanya bagi keutuhan keluarga melainkan juga merosotnya akhlak dan moral bangsa serta munculnya berbagai prilaku sosial dan penyakit masyarakat yang disebabkan merajalelanya perbuatatan zina di tengah masyrakat.
"MUI memohon agar MK menyatakan bahwa norma zina dalam KUHP hanya terjadi apabila dilakukan oleh pria atau wanita yang terkait dengan perkawinan (gehuwd person) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai laki-laki dan perempuan yang melakukan zina", tutur Hj.Mursyidah.
MUI menilai ketentuan pasal 285 KUHP merupakan peraturan yang membuka peluang dan membebaskan pelaku baik laki-laki dan perempuan untuk memaksa dan melakukan kekerasan karena di dalam pasal aquo hanya memberikan sanksi bagi pelaku yang memaksa seseorang wanita, tetap seseorang laki-laki yang diperkosa pelakunya tidak dikenakan sanksi. Pasal 285 KUHP tidak mampu lagi sebagai norma hukum tertulis yang dapat melindungi atau mencegah terjadinya tindak pidana seksual, baik secara heterokseksual maupun homoseksual (gay dan lesbi).
"Ketentuan pasal 285 KUHP masih bersifat diskriminatif dan harus dipandang secara utuh dampaknya kepada masyarakat baik perkosaan yang dilakukan secara heteroseksual maupun homoseksual, sehingga dengan demikian Pasal 285 KUHP tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 281 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945", imbuh Hj.Mursyidah.
Hukum Islam memandang perkosaan dapat terjadi antar lawan jenis (al-ikhrah bi al-zina) maupun sesama jenis (al-ikhrah bi al-liwath). Dengan demikian perempuan atau laki-laki yang diperkosa bebas dari tuntutan hukum, berdasarkan hadits Rasululloh SAW yang menyatakan bahwa orang yang dipaksa adalah bebas dari tuntutan hukum. "Menurut hukum Islam perkosaan secara heteoseksual adalah termasuk tindak pidana zina, selain heteroseksual perkosaan juga dapat terjadi pada homoseksual", papar Hj.Mursyidah.
MUI berpandangan perbuatan cabul yang dilakukan antar sesama perempuan (lesbi) dan sesama lelaki (gay) adalah perbuatan keji yang dilaknat Allah SWT, bukan hanya bagi para pelakunya saja yang akan mendapatkan akibat murka Allah melainkan juga masyarakat sekitarnya apabila membiarkan hal tersebut. (HL & TG)