Muslim dan Pancasila: Belajar dari Sejarah

oleh Reporter

02 Juni 2016 | 07:32

Oleh: Nizar A. Saputra (Ketua Umum Hima Persis) Presiden Jokowi menetapkan tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Entah karena desakan atau pertimbangan politis. Sebab, jauh sebelum keputusan tersebut, Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan secara resmi dan kelembagaan meminta agar 1 Juni 1945 dtetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila. Dalam peringatan Hari Lahir ke 93 NU di Lapangan Candra Wilwatika Pasuruan, Jawa Timur, Ketua Umum PB. NU, Said Ail Siraj menyatakan bahwa NU telah melakukan kajian akademis, yang bersifat historis dan ideologis, untuk menjadikan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, Demikian pula Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri. Putri sang proklamator tersebut bahkan merasa heran mengapa gagasan menetapkan 1 Juni sebagai hari nasional tidak kunjung terealisasi. Ia menyayangkan jika gagasan tersebut tidak diwujudkan karena ingin mengeliminasi peran Presiden Soekarno dalam kelahiran Pancasila. Terlepas dari adanya nilai politis keputusan Jokowi tersebut untuk memperbaiki hubungan yang kurang harmonis belakangan ini dengan Megawati Soekarno Putri, sebagai kelompok mahasiswa, bukan itu yang akan kita bahas disini. Melainkan nalar sejarah kita sebagai kelompok mahasiswa terhadap Pancasila. Kesadaran sejarah dan sikap rasional-ilmiah diharapkan dapat meluruskan informasi yang keliru dan menguatkan kebenaran yang sebenar-benarnya. 1 Juni dan Pidato Bersejarah Soekarno 1 Juni 1945 adalah persitiwa bersejarah bagi bangsa dan Negara Indonesia. Pada saat itu, Soekarno melalaui BPUPKI memerintahkan untuk membuat landasan filosofis yang akan digunakan Negara Indonesia. Hal tersebut dinilai sangat penting, sebab menentukan masa depan bangsa dan Negara Indonesia. Bagi Soekarno, landasan filosofis bagi Negara adalah fondasi yang fundamental, sebuah filsafat, alasan mendasar, sebuah spirit yang kuat dan hasrat yang mendalam yang mendasari struktur Negara merdeka yang hendak dibangun. Indonesia Merdeka sangat penting dan mendesak, tetapi lebih penting lagi merumuskan dasar Negara (weltanschaung, philosophische grondslag). Soekarno terinspirasi dari beberapa Negara di dunia yang mempersiapkan dasar Negara jauh sebelum Negara-negara tersebut merdeka. Kata Soekarno: “Weltanschaung harus kita bulatkan dulu sebelum Indonesia merdeka dan para idealis di dunia bekerja mati-matian untuk menyusun dan merea merealisasikan weltanschauung mereka. Lenin mendirikan Uni Soviet dalam 10 hari di tahun 1917, tetapi weltanshaungnya sudah dipersiapkan sejak 1895. Adolf Hitler berkuasa pada tahun 1935, tetapi weltanschaungnya sudah dipersiapkan sejak 1922. Dr. Sun Yat Sen mendirikan Negara Tiongkok pada tahun 1912, tapi weltanshaungnya sudah dipersiapkan sejak 1985 yaitu San Min Chu I” Setelah menyampaikan hal tersebut, Soekarno kemudian mengemukakan pemikiran dan gagasannya tentang dasar Negara untuk Indonesia merdeka. Dalam pandangan Soekarno, dasar Negara ini harus dibangun diatas lima hal. Pertama, kebangsaan. Negara Indonesia tidak didirikan untuk satu golongan tertentu saja, tidak untuk suku dan ras tertentu, tetapi meliputi seluruh bangsa yang ada di Indonesia. Karenanya, kebangsaan ini menjadi dasar pertama untuk Negara Indonesia. Soekarno meyakini bahwa dasar kebangsaan saja akan sangat berbahaya dan melahirkan chauvinism. Sementara chauvinism bias mengarah pada uber allas. Maka diperlukan dasar Negara yang kedua, yaitu Internasionalisme. bagi Soekarno, cinta tanah air, merasa berbangsa satu dan punya bahasa satu, harus dimiliki oleh semua bangsa Indonesia. tetapi harus diingat, Indonesia hanya satu bagian kecil dunia. Sang Proklamator punya gagasan dan hasrat besar tentang bagaimana Indonesia ke depan menatap dunia. Dia berkeinginan untuk mendirikan Negara Indonesia merdeka sekaligus menuju pada kekeluargaan bangsa-bangsa. Inilah yang dimaksud Soekarno dengan internationalism. Baginya, internasionalisme tidak berarti kosmopolisme yang meniadakan bangsa. Internasionalisme tidak dapat hidup subur bila tidak berakar di bumi nationalism. Sedangkan nationalisme tidak dapat hidup di taman sarinya internationalisme. Prinsip pertama dan kedua saling bergandengan, Setelah nasional statate (kebangsaan) dan internasionalisme, Soekarno menyampaikan apa yang disebutnya dengan Mufakat, Perwakilan dan Permusyawaratan sebagai dasar ketiga. Menurutnya, kita tidak mendirikan Negara untuk satu orang, satu golongan, tetapi semua untuk semua, satu buat semua, semua buat satu, dan agar Negara menjadi kuat perlu permusyawaratan perwakilan. Dalam point ini, Soekarno juga menyatakan dengan sangat lantang tentang kesempatan pihak islam dalam memelihara agamanya. Permusyawaratan perwakilan adalah tempat terbaik untuk memelihara agama. Bahkan bukan hanya pihak muslim, tetapi semua golongan agama dapat memanfaatkan dasar ini untuk memperjuangkan kepentingannya. Dasar permusyawaratan dan perwakilan juga belum sempurna tanpa adanya kesejahtraan social, prinsip tidak ada kemiskinan di Indonesia. Di Eropa dan Amerika, kata Soekarno, ada badan perwakilan, tetapi nyatanya kapitalis merajalela di sana. Demokrasi yang kita perlukan bukanlah demokrasi Barat, melainkan demokrasi yang memberi penghidupan, yaitu demokrasi politik ekonomi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Sementara dasar yang kelima, adalah dasar ketuhanan. Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi setiap orang Indonesia hendaknya bertuhan dengan Tuhannya sendiri. Hendaknya rakyat bertuhan secara kebudayaan, dengan tiada egoisme agama. Marilah kita jalankan agama secara berkeadaban, saling menghormati. Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur. Menurut Soekarno, kelima dasar tersebut tidak dinamakan Pancadharma karena dharma berarti kewajiban, sedangkan kita saat ini membicarakan dasar. Kelima dasar ini dinamakan Pancasila karena sila berarti asas atau dasar. Jika tidak ada yang senang, angka lima dapat diperas. Kebangsaan dan internasionalisme kebangsaan serta peri kemanusiaan diperas menjadi socio nasionalisme. Demokrasi dan kesejahteraan diperas menjadi satu menjadi sosio demokrasi dan tinggal ketuhanan yang saling menghormati. Dari lima tinggal tiga, yaitu sosio nasinalisme, sosia demokrasi dan ketuhanan. Ketiga dasar ini dinamakan Trisila. Jika tidak senang dengan angka tiga dan minta satu dasar ada kata Indonesia yang tulen yaiu gotong royong. Negara Indonesia yang kita dirikan harus berdasarkan gotong royong dan dasar yang satu ini dinamakan Ekasila. Pancasila dan Kaum Muslim Indonesia Dari uraian singkat sebelumnya, Nampak jelas sebenarnya gagasan Pancasila Soekarno tidak sama sepenuhnya dengan pancasila yang ada saat ini. Soekarno hanya menyebut dasar ketuhanan tanpa ada tambahan kata “Yang Maha Esa”. Selain itu, ketuhanan ternyata dijadikan dasar paling bawah, dasar kelima, bukan dasar pertama. Pertanyaannya, darimana sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan mengapa dasar tersebut menjadi sila pertama, struktur pertama dari lima sila yang ada? Pertanyaan inilah yang harus dijawab secara jujur dan komprehensif. Maka membahas pancasila tidak bias dilepaskan dari pembahasan BPUPKI. Dan pembahasan BPUPKI tidak bias lepas dari behasan “Piagam Jakarta”. Kita harus membuka kembali bagaimana proses BPUPKI tersebut selanjutnya sampai melahirkan Pancasila dan UUD 1945 seperti sekarang. BPUPKI adalah sebuah badan yang sengaja dibentuk guna mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Dalam BPUPKI itulah perdebatan panjang tentang dasar Negara berlangsung. Dari perdebatan panjang tersebut, akhirnya dicapailah modus Vivendi berupa preambule yang ditandatangani di Jakarta 22 Juni 1945, bahkan diikuti pula dengan kesepakatan batang tubuh rancangan UUD. Kompromi ini oleh Mohammad Yamin disebut Piagam Jakarta (The Jakarta Charter). Soekiman menyebutnya Gentleman Agreement. Bagi Soekarno, kesepakatan itu merupakan kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan yang hanya didapat secara susah payah, didasarkan atas “memberi dan mengambil”. Nasionalis Islam memberi (nasionalis sekuler mengambil) dua konsesi. Pertama, Islam tak dijadikan dasar negara. Kedua, tidak menjadikan Islam sebagai agama negara. Sebaliknya, nasionalis sekuler memberikan (nasionalis Islam mengambil) konsesi; pertama, sila ketuhanan ditaruh pada urutan pertama pancasila. Kedua, sila ketuhanan, dan pasal 29 batang tubuh, dirumuskan dalam; ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya. Ketiga, presiden Indonesia beragama Islam. (Dhurorudin Mashad, 2008: 56-57). Piagam Jakarta kemudian dibacakan Soekarno pada tanggal 10 Juli 1945 di hadapan Sidang BPUPKI. Usai menyampaikan naskah Piagam Jakarta tersebut, kepada para pimpinan dan anggota BPUPKI, Soekarno mengatakan: “Di dalam preambule itu ternyatalah, seperti saya katakan tempo hari, segenap pokok-pokok pikiran yang mengisi dada sebagian besar daripada anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyosakai. Masuk di dalamnya ke-Tuhanan, dan terutama sekali kewajiban umat Islam untuk menjalankan syariat Islam masuk di dalamnua; kebulatan nasinalisme Indonesia, persatuan bangsa Indonesia masu di dalamnya; kemanusiaan atau Indonesia merdeka masuk di dalamnya; perwakilan permupakatan kedaulatan rakyat masuk di dalamnya; keadilan social, social rechtvaardigheit, masuk di dalamnya. Maka oleh karena itu, Panitia Kecil penyelidik usul-usul berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bias menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai. Kesepakatan tersebut dalam perjalanannya mengalami perubahan. Berawal dari laporan yang disampaikan kepada Moh. Hatta tentang adanya keberatan –Natsir menyebutnya sebagai ultimatum– dari pihak Kristen bagian timur Indonesia yang disampaikan melalui beberapa mahasiswa. Kelompok Kristen bagian timur menolak dan mengancam akan memisahkan diri dari Indonesia apabila klausul “ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syari’at Islam” diberlakukan. Perdebatan sengitpun terjadi. Soekarno dan Hatta mengadakan rapat dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di Pejambon Jakarta. Agenda sidang dibatasi hanya membahas perubahan penting dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Rapat yang diagendakan berlangsung pukul 09.30 WIB mundur menjadi pukul 11.30 WIB. Mundurnya rapat tersebut disebabkan terjadinya perdebatan yang sengit dalam lobi-lobi yang dilakukan untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Lobi-lobi yang digagas Hatta terjadi antara Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, dan KH A Wahid Hasyim. Pertemuan dengan Hatta berlangsung sengit dan tegang. Saking sengit dan tegangnya pertemuan itu, sampai-sampai Soekarno memilih tak melibatkan diri dalam lobi tersebut. Soekarno terkesan menghindar dan canggung dengan kegigihan Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah ketika itu, dalam mempertahankan seluruh kesepakatan Piagam Jakarta. Ki Bagus Hadikusumo luluh dilobi Kasman Singodimejo yang sesame Muhammadiyah. Kasman meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo bahwa pembicaraan seputar piagam Jakarta akan bisa dibicarakan lagi di Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Maejlis Pembuat Undang-Undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam undang-undang dasar yang tetap. Dari piagam Jakarta yang telah disepakati itu, dirubahlah empat hal pokok; pertama, kata mukaddimah diganti dengan “pembukaan”, meskipun artinya sama. Kedua, “kalimat berdasarkan ketuhanan dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, baik dalam Preambule maupun dalam batang tubuh pasal 29. Ketiga, pasal 6 ayat 1 “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata “dan beragama Islam” dicabut. (Dhurorudin Mashad, 2008: 58) Sempat terjadi kembali perdeabatan sengit di sidang konstituante antara kelompok Nasionalis Islam, Nasionalis Sekular dan sosialis. Namun, siding tersebut mengalami dedlok karena masing-masing kelompok mempertahankan pendiriannya. Soekarno akhirnya mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Juli 1959. Dalam dekrit tersebut soekarno berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut. Dan atas dasar itu dalam dekrti tersebut menetapkan UUD 1945 berlaku kembali bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitug mulai tanggal penetapan dekrit tersebut. Hingga saat ini, dekrit tersebut tidak pernah dibatalkan. Artinya, Pancasila dan UUD 1945 yang sampai pada kita saat inilah yang berlaku sebagai dasar bernegara di Indonesia. Sejak saat itulah, seperti disebutkan dalam dekrit tersebut, Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945. Piagam Jakarta tidak bertentangan dengan UUD 1945, pun dengan pancasila. Bahkan, dalam bahasa Jendral Abdul Haris Nasution “Pancasila itu pun Pencerminan dan Hasil daripada Hikmah Piagam Jakarta. Dalam salah satu pidatonya, sang Jendral menceritakan bahwa penyusunan Piagam Jakarta tidak lepas dari adanya 52 ribu surat yang dikirimkan oleh para ulama se-Indonesia ke Djawa Hokokai. Tidaklah salah apabila Kyai Saududdin Zuhri mengingatkan bahwa justru Piagam Jakartlah yang dengan tegas-tegas menyebut kelima sila dalam Pancasila mendahului pengesahan UUD 1945 itu sendiri. Sebab, UUD 1945 baru disahkan setelah dekrit 5 Juli 1945. Sejak saat itu, mayoritas muslim di Indonesia menerima Pancasila karena berkeyakinan tidak bertentangan dengan Islam. Kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah konsensus dari tujuh kata yang dihapus dalam Piagam Jakarta. karena kata-kata tersebut telah terwakili dalam “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah konsensus dari para founding father bangsa ini dari klausul “Ketuhanan dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Atas dasar inilah founding father muslim bangsa ini menerima pancasila dan tidak mempersoalkannya. Maka adalah aneh jika kemudian ada halangan kepada umat Islam untuk menerapkan syari’at islam dalam perundang-undangan Negara ini, karena sedari dulu para founding Negara ini telah menyepakatinya. Terlebih, dekrit Soekarno pada 5 Juli 1959 dengan sangat jelas menyebut kembali ke UUD 1945 dan menjiwai piagam Jakarta. Dengan demikian, dekrit Presiden Soekarno itulah yang menempatkan Piagam Jakarta sebagai bagian yang sah dan tak terpisahkan dari konstitusi Negara Indonesia, UUD 1945, dimana rumusan Pancasila tercantum di dalamnya. Maka mempertentangkan Pancasila dan Islam bukan hanya keliru, tetapi a historis. Bahkan bagi Moh. Natsir, Pancasila tidak bertentangan dengan al-Quran. Tidak ada satu sila pun dalam pancasila yang tidak ada dalam al-Quran. Sila pertama sesuai dengan konsep tauhid dalam al-Quran. Begitu juga ayat-ayat tentang kemanusiaan banyak terdapat dalam al-Quran. Pun dengan keadilan, persatuan, hikmah, musyawarah dan kesejahtraan. Karenanya, tokoh-tokoh Islam semisal Natsir, Kasman Singodimejo, berkeyakinan Pancasila akan semakin subur dengan Islam. Bahwa pernah terjadi perdebatan sengit antara kelompok islam terkait dasar Negara adalah sejarah yang benar adanya. Namun, perdebatan sengit tersebut terjadi karena pada waktu itu memang konstitusi memberi kesempatan untuk memperdebatkannya. Namun, setelah itu, muslim Indonesia menerima Pancasila. Kalaupun sempat ada penentangan, yang ditentang oleh kelompok muslim bukanlah pancasilanya, melainkan tafsiran kelompok tertentu terhadap pancasila. Menetapkan tanggal 1 Juni sebagai hari lahir pancasila dan mengaitkannya secara membabi buta tanpa adanya kejujuran sejarah hanya akan membuat bangsa ini pada kemunafikan. Tidak heran jika perjalanan bangsa ini selalu tertatih-tatih dan tertinggal jauh. Sebab, selalu ada kejujuran yang ditutupi. Kita bias melihat satu rezim menyalahkan rezim yang lainnya. Karena adanya ketidakjujuran inilah bangsa ini susah maju, disibukan dengan persoalan internal bangsanya yang belum beres. Ada sejarah yang tidak diungkap sepenuhnya. Jika menetapkan 1 Juni sebagai hari lahirnya pancasila didasarkan pada pidato soekarno, tentu pancasila yang ada sekarang tidak sama persis dengan apa yang diutarakan Soekarno. Pemerintah tidak sedang dalam posisi jujur menguraikan sejarah panjang pancasila. Memisahkan Pancasila dari Piagam Jakarta, sekali lagi, adalah bentuk ketidakjujuran atau tepatnya disebut bentuk kemunafikan yang akan terus menerus membayangi masa depan Indonesia.
Reporter: Reporter Editor: admin