Prof Dr H Dadan Wildan Sekretaris Majlis Penasehat PP Persis.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kaum muslim Rohingya di bagian Utara-Barat Myanmar, berbatasan 167 mil dengan Bangladesh, menghadapi penindasan dan perampasan hak-hak asasinya sebagai manusia. Konflik yang mendera Rohingya sejak berpuluh-puluh tahun lamanya, memang tak kunjung selesai. Akibatnya, banyak kaum muslim Rohingya terpaksa harus mengungsi dari negaranya dan mencari perlindungan di Negara-negara tetangganya.
Kaum muslimin Rohingya harus terusir dari negerinya. Sebagian jadi “Manusia Perahu” yang terapung-apung di lautan sebagai dampak konflik kemanusiaan di Myanmar.
Mereka yg terpaksa harus menjadi pengungsi itu sungguh mengenaskan, apalagi beberapa diantaranya termasuk balita dan anak-anak.
Gelombang “Manusia Perahu” kaum muslim Rohingya diprediksi terus berlanjut.
Indonesia nampaknya belum mengatur kehadiran pengungsi dan pencari suaka dari Negara lain dalam sebuah regulasi. Konvensi Status Pengungsi tahun 1951 dan Protokolnya, juga belum diratifikasi. Perangkat Hukum dalam menangani pengungsi baru terdapat pada Undang Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Namun Undang-Undang Keimigrasian belum secara spesifik memuat ketentuan mengenai penataan pengungsi dan pencari suaka. Undang-undang itu hanya mengatur orang asing yang masuk wilayah Indonesia tanpa Dokumen Perjalanan yang sah, akan ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim). Dengan kata lain, para pencari suaka yang masuk tanpa dokumen perjalanan dianggap sebagai pelanggar imigrasi wilayah Indonesia.
Namun demikian, memperlakukan pengungsi dan pencari suaka sebagai pelaku pelanggaran imigrasi apalagi harus mengalami penahanan di Rudenim dapat menimbulkan persoalan hak asasi manusia. Walaupun Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur para pengungsi dan pencari suaka dari luar negeri, setidaknya
Indonesia, sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, juga dengan komunitas muslim terbesar di dunia, memiliki kewajiban moral untuk menyelamatkan sesama muslim yang teraniaya.
Kita berkewajiban untuk melaksanakan poin-poin kesepakatan (points of agreement) yang tertuang pada Komisi Hak-Hak Asasi Manusia Antarnegara ASEAN. Pelaksanaan kesepakatan itu berperan penting agar kasus HAM Myanmar dapat diselesaikan antar sesama anggota ASEAN tanpa melibatkan campur tangan PBB atau Komisi HAM Internasional (UNHCR). Jadi, selamatkan kaum muslim Rohingya atas dasar kemanusian dan ukhuwah Islamiyah.
Janganlah kita selalu hanya berteriak lantang untuk membela kaum muslim palestina, padahal dalam jarak sepelemparan batu dari Indonesia, juga ada komunitas muslim yang sedang teraniaya. Kita tidak bisa menutup mata atas tindakan intoleransi dari mayoritas budha ke minoritas muslim di myanmar. Bukankah indonesia sudah menjadi contoh toleransi yang diakui dunia. Umat non muslim minoritas bisa hidup tenang tanpa tekanan atau ancaman apapun dari mayoritas muslim.
Seharusnya umat budha Myanmar belajar sikap toleransi ke umat muslim di indonesia yg benar benar mengamalkan harmoni antara peradaban islam dan budha. (HL)
Wallahu’alam.