UU PNPS No 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama merupakan cikal bakal lahirnya pasal 156a KUHP.
UU tersebut harus kita fahami sebagai bentuk ikhtiar pemerintah dalam melindungi dan menjaga kesucian aspek-aspek Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam hal ini Agama dan Orang yang beragama di negara Indonesia juga harus mendapatkan perlindungan hukum agar terciptanya kehidupan beragama dan bernegara yang rukun, adil, tentram, dan sejahtera.
Lebih dari itu Konsekwensi logis dari tercantumnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam Pancasila ialah segala bentuk sikap, kebijakan, dan perilaku pemerintah dalam menjalankan Negara harus dapat merepresentatifkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu jika kita baca setiap pembukaan dari Undang-undang sering kali kita menemukan kalimat “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA”.
Kalimat diatas merupakan bukti bahwa Undang-undang itu diproduksi dengan mengharap Rahmat Tuhan yang Maha Esa, sehingga kemudian penerapannya ditujukan untuk merepresentatifkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa pada kehidupan bermasyarakat.
Pasal 4 pada UU PNPS No 1 Tahun 1965 telah melahirkan pasal 156a sebagai pasal yang baru di dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang mengatur terkait sanksi pidana bagi orang yang telah melakukan penodaan atau penyalahgunaan terhadap ajaran agama yang di anut di Indonesia.
Hal ini seharusnya disambut dengan baik oleh seluruh warga negara Indonesia yang pada dasarnya sebagai warga yang beragama, karena pasal ini merupakan tameng yang melindungi agama dan melindungi warganya dalam menjaga dan menjalankan agamanya itu.
Bagi orang-orang yang menilai bahwa Pasal ini merupakan pasal yang Inkonstitusional, maka sudah dapat dipastikan bahwa semangat konstitusi mereka tidak berpijak lagi pada sila pertama dalam Pancasila yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh LBH Jakarta dalam pernyataan Sikapnya tertanggal 15 April 2017 tidak jauh dari isi gugatan yang pernah dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 tentang Pembatalan UU PNPS No 1 tahun 1965.
Yang pada intinya mereka menilai bahwa pasal ini bertentangan dengan pasal 28E UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan “Kebebasan Mengemukakan Pendapat”. Pada dasarnya mereka telah melupakan dan mengenyampingkan pasal 29 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa:
- Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Jika dikaji secara komprehensif sebetulnya pasal penodaan terhadap agama tidak bertentangan dengan konstitusi, oleh karena itu permohonan pembatalan atas UU PNPS No 1 tahun 1965 yang pernah dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 telah di tolak untuk seluruhnya.
Jika dalilnya pasal penodaan terhadap agama bertentangan dengan Pasal 28E UUD 1945 tentang kebebasan mengemukakan pendapat, bagaimana dengan pasal 207, 310, 311, 315 KUHP yang kesemuanya merupakan pasal penodaan atau penghinaan, apakah merupakan bentuk aturan yang bertentangan juga dengan konstitusi yang mengatur kebebasan berpendapat? Tentu tidak bertentangan sama sekali.
Kebebasan Berpendapat merupakan hak-hak demokrasi, kemerdekaan menjalankan agama juga merupakan hak demokrasi yang dilindungi konstitusi. Keduanya merupakan aturan yang saling melengkapi satu sama lain.
Jika kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi tapi tidak dibatasi oleh aturan-aturan lainnya yang mengatur mengenai penghinaan, pelecehan, penodaan, dan fitnah maka Negara akan kehilangan wibawanya dalam menjaga kehormatan setiap warganya.
Jika kemerdekaan beragama dijamin oleh konstitusi tapi tidak memiliki jaminan atas kebebasan berpendapat maka Negara itu bukan merupakan negara demokrasi lagi tapi sudah berubah menjadi Negara Tirani.
Oleh karena itu tidak ada istilah bahwa pasal penodaan terhadap agama merupakan aturan yang inkonstitusional, dan dijadikan sebagai pasal yang mengkriminalisasi pilkada DKI Jakarta, mencederai demokrasi karena bertentangan dengan Kebebasan Berpendapat.
Apabila saya gambarkan bahwa Kebebasan Berpendapat merupakan Benteng Demokrasi, begitupun Pasal penodaan terhadap agama merupakan Benteng Demokrasi, jika salah satunya di robohkan maka celah masuk untuk merusak demokrasi akan terbuka lebar.
Kasus Basuki Tjahaja Purnama dalam pidatonya di Kepulauan Seribu merupakan perbuatan yang telah melanggar pasal 156a KUHP sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam Perkara 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr. Pasal 156a sebagai bagian dari Bab V KUHP dapat dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum.
Sedangkan Penjelasan pasal tersebut (dalam UU Nomor 1/PNPS/1965) dimaksudkan sebagai peratuan hukum untuk melindungi ketenteraman orang-orang yang beragama.
Ketenteraman ini erat kaitannya dengan rasa keagamaan, teori yang dapat digunakan adalah
Gefuhlsschultz Theorie[1] , yang menghendaki perlindungan terhadap rasa keagamaan. Penempatan dan penjelasan yang demikian ini menimbulkan konsekuensi mengenai pemidanaannya baru dapat di pertimbangkan apabila pernyataan yang dibuat mengganggu ke tenteraman orang-orang beragama dan membahayakan ketertiban umum.
Sebaliknya apabila ketenteraman orang beragama dan kepentingan /ketertiban umum tidak terganggu, maka orang yang bersangkutan tidak dapat dipidana.
[2]
Perbuatan BTP di kepulauan seribu telah menyebabkan terganggunya ketertiban umum masyarakat beragama di seluruh Indonesia yang berkumpul pada ABI I, II, dan III sejumlah 7 (tujuh) juta orang.
Oleh karena itu sudah sewajibnya JPU dalam menyusun Tuntutannya menuntut secara maksimal atas perbuatan BTP yaitu 5 (lima) tahun penjara, karena ketertiban umum yang terganggu tidak lagi bersifat local, melainkan sudah bersifat nasional.
[1] Teori yang memandang rasa keagamaan sebagai kepentingan-kepentingan hukum yang harus dilindungi, Oemar Seno Adji (1981: 87)
[2] Marsudi Utoyo,
“Tindak Pidana Penistaan Agama oleh Kelompok Aliran di Indonesia”. Jurnal Ilmiah, Palembang, 2012: 1
Note:
Tulisan ini sudah disampaikan ke Pengadilan Negri Jakarta Utara (lihat foto diatas, sebelah kanan)
***
Oleh: Zamzam Aqbil Raziqin, Advokat dan Konsultan Hukum pada LBH Persatuan Islam (PERSIS)