Tiar Anwar Bachtiar
Wakaf, dalam pengertian umum sebagai harta yang dihentikan kepemilikan dan pemanfaatnya secara pribadi untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum sebetulnya termasuk jenis mu’amalah yang sudah dikenal jauh sebelum Islam datang kepada Nabi Saw. Wujudnya dapat dilihat dalam bentuk rumah-rumah ibadah. Hanya saja di masa lalu, wakaf terbatus untuk ritual-ritual keagamaan. Bahkan, para Nabi sebelum Nabi Saw. sudah melakukan ini. Di antara buktinya adalah Masjid Al-Aqsha dan Masjid Al-Haram yang hingga kini berdiri tegak. Keberadaan dua tempat ibadah ini menunjukkan ada suatu sistem Muamalah seperti wakaf, walaupun mungkin namanya saat itu bukan “wakaf”.
Ketika Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah Swt. kepada bangsa Arab untuk disebarkan selanjutnya kepada seluruh umat manusia, wakaf merupakan salah satu bentuk muamalah yang dipertahankan sebagai bagian dari syariat dalam agama. Wakaf menduduki peran yang sangat penting dalam gerak langkah dakwah Nabi Saw. Wakaf menjadi salah satu penopang penting tegaknya agama dan terpeliharanya masyarakat Islam di samping syari’at-syari’at yang lain. Perbedaan wakaf sebelum dan sesudah zaman Nabi Saw. terletak pada fungsi dan pemanfaatannya. Sebelum zaman Nabi Saw., wakaf terbatas hanya untuk tempat-tempat ibadah dan keperluannya, seteah zaman Nabi Saw. wakaf digunakan juga untuk berbagai kepentingan umum lainnya. Inilah yang justru menjadi khas dan unik pada zaman Islam ini.
Dalam perkembangannya sepanjang sejarah Islam memang sudah ditunjukkan bahwa wakaf dapat digunakan untuk berbagai kepentingan bukan hanya kepentingan ibadah mahdhah seperti wakaf untuk pendirian dan pengelolaan masjid. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa umat Islam, tertutama di Indonesia, saat ini banyak yang tidak memahami penggunaan dan pemanfaat wakaf ini selain untuk ibadah. Oleh sebab itu, tulisan ini ingin mencoba mengungkapkan bagaimana wakaf digunakan sepenjang sejarah Islam agar kita mendapatkan contoh kongkrit tasharruf (pemanfaatan atau pendayagunaan) wakaf pada zaman ini.
Sejarah Syari’at Wakaf pada Zaman Nabi Saw.
Munculnya syariat wakaf pada zaman Nabi Saw. dikaitkan dengan peristiwa Umar ibn Khattab berikut. Suatu ketika Umar ibn Khattab mendatangi Nabi Saw., lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku mendapatkan tanah di Khaibar. Tidak ada harta yang paling berharga untukku selain tanah itu. Apa yang engkau perintahkan untukku (dari harta itu)?’ Rasulullah Saw. kemudian menjawab, “Jika kamu mau, kamu bisa menahan pokoknya dan menyedekahkan hasilnya.” Lalu Umar mematuhinya dengan menyedekahkan harta itu. Tanah itupun tidak pernah dijual, dihibahkan, juga diwariskan. Ia menyedekahkan hasilnya untuk orang-orang fakir, hamba sahaya, orang-orang yang tengah berjuang di jalan Allah Swt., orang-orang yang tengah di perjalanan, dan bahkan untuk menjamu tamu. Bagi yang mengurusnya, tidak dilarang untuk mengambil sekadar keperluannya secara tidak berlebihan.
Rasulullah Saw. sendiri pernah secara langsung mengatakan, “Siapa yang menahan hak milik (ihtibâs) kudanya di jalan Allah Swt. karena dorongan keimanannya kepada Allah Swt. dan membenarkan janji-Nya, maka kekenyangannya, baunya, kencingnya, dan kotorannya akan menjadi timbangan kebaikan baginya.”
Kasus wakaf yang lain pada zaman Nabi Saw. seperti diceritakan oleh Anas ibn Malik. Ia menceritakan kisah Abu Thalhah, orang terkaya di Madinah. Ia memiliki harta yang paling dicintai berupa kebun yang ia namai Bairuha. Letaknya persis di seberang Mesjid Nabi Saw. Nabi Saw. sendiri sering masuk ke sana dan minum air yang ada di sana. Ketika Allah Swt. menurunkan ayat, “Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan sampai kalian menginfakkan apa yang kalian cintai,” (QS Ali Imran: 92); Abu Thalhah lalu pergi menemui Rasulullah Saw. dan berkata, “Allah Swt. mengatakan [ia bacakan ayat di atas]; sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairuha. Aku sedekahkan harta ini; aku berharap mendapatkan kebaikan darinya dan menjadi simpanan pahala di sisi Allah Swt.; gunakanlah Bairuha ini sesuai petunjuk Allah Swt. padamu.” Rasulullah Saw. pun kemudian menjawab, “Bukh! Itu harta yang sangat menguntungkan. Itu sangat menguntungkan. Aku sudah mendengar apa yang kamu katakan. Aku akan menggunakannya untuk orang-orang yang sedang mendekatkan diri (ke Mesjid).
Peristiwa-peristiwa tersebut dianggap sebagai dasar-dasar disyariatkan wakaf, karena terjadi pada masa Nabi Saw. Bila merujuk kepada peristiwa-peristiwa tersebut, maka sejak awal wakaf dalam Islam memang tidak terbatas hanya untuk kepentingan-kepentingan ibadah. Wakaf pada awalnya digunakan sebagai salah satu “jaring sosial” untuk melindungi orang-orang yang tidak beruntung secara ekonomi.
Walaupun demikian, dalam sejarah, wakaf yang lebih awal justru untuk kepentingan ibadah. Wakaf pertama kali itu dilakukan sendiri oleh Rasulullah Saw. ketika membangun Masjid Nabawi. Ia membeli tanah yang di atasnya akan dibangun mesjid dari dua orang anak Yatim. Ia kemudian menggunakan sebagian untuk lokasi masjid dan sebagian lain untuk kamar istri-istrinya. Ia bersama-sama para sahabatnya yang lain kemudian bersama-sama membangun Masjid Nabawi yang terus berkembang sampai sekarang. Dalam hal ini Rasulullah Saw. sendiri yang memulai contoh mewakafkan harta untuk tempat ibadah. Wakaf juga memang dapat digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan ibadah seperti kasus Bairuha yang pemanfaatannya untuk orang-orang yang datang ke Masjid Nabi Saw. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila wakaf ini didefinisikan dalam peraturan perwakafan di Indonesia sebagai berikut.
“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebaguan harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan dan keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam.”
Ragam Bentuk Wakaf dalam Sejarah Islam
Disebabkan sejak awal, wakaf merupakan suatu tindakan atas harta yang penggunaannya cukup bebas, maka dalam sejarah Islam, baik bentuk maupun penggunaan wakaf ini wujudnya beragam dan terus mengalami perkembangan. Sejak masa Umar ibn Khattab, ada bentuk wakaf yang agak unik yang tidak dikenal sebelumnya, yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi keluarga dan keturunannya sendiri. Wakaf ini dikenal dengan istilah wakaf ahly atau wakaf dzurry. Wakaf ini juga berkembang terus hingga zaman Umawiyah dan Abbasiyah. Oleh sebab itu, pada saat itu dikenal dua jenis wakaf, yaitu wakaf ahly dan wakaf khairi. Wakaf khairi ini adalah jenis wakaf yang tujuannya untuk memberikan manfaat bagi masyarakat umum.
Pada masa Dinasti Maluk berkuasa di Mesir terjadi perkembangan baru. Wakaf dibedakan dibedakan menjadi tiga, yaitu ahbas, awqaf hukmiyyah, dan awqaf ahliyyah. Ahbas adalah tanah-tanah wakaf yang dimanfaatkan untuk sektor usaha perkebunan yang hasilnya (tsamarah) digunakan untuk pemeliharaan mesjid. Pada masa ini wakaf yang khusus berupa tanah perkebunan untuk kepentingan ibadah telah diberi istilah khusus untuk membedakannya dengan jenis wakaf yang lain.
Sementara itu, awqâf hukmiyyah adalah tanah-tanah wakaf di Mesir yang digunakan secara komersial yang hasilnya digunakan untuk pemeliharaan kota secara umum, bukan khusus untuk tempat-tempat ibadah. Dapat juga hasilnya digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan warga kota yang terdiri dari beragam strata sosial, usia, dan bahkan berbeda-beda agama. Sedangkaan awqâf ahliyyah adalah wakaf dari keluarga yang bercukupan untuk membantu anggota keluarga lainnya yang membutuhkan. Jenis ini hanya melanjutkan apa yang pernah dibuat pada masa Umar ibn Khattab di atas.
Pembedaan jenis-jenis wakaf di atas didasarkan pada ketentuan untuk siapa wakaf itu dimanfaatkan, bukan pada jenis harta yang diwakafkan dan jenis wakafnya. Hal itu disebabkan kedua hal itu tidak berubah sejak awal, yaitu tidak ada batasan jenis harta apa yang boleh diwakafkan dan wakaf masih tetap bermakna sama, yaitu mengentikan kepemilikan dan pemanfaatan oleh pemberinya. Dalam hal pemanfaatan untuk kepentingan pemeliharaan tempat ibadah dan menyantuni keluarga (ahly) dan turunan (dzurry) tentu bentuk pemanfaatannya tidak akan terlalu banyak inovasi dan perubahan karena sudah jelas peruntukannya. Akan tetapi, wakaf yang pemanfaatannya untuk umum (khairy) bentuknya akan sangat dinamis bergantung kepada kebutuhan umum atas harta tersebut. Oleh sebab itu, dalam hal wakaf khairy ini berkembang berbagai kreativitas umat Islam dalam memanfaatkannya yang akan dibahas secara singkat pada bagian selanjutnya.
Bentuk-bentuk Pemanfaatan Wakaf untuk Kepentingan Umum
Dalam hal pemanfaatan wakaf untuk umum, dapat dikelompokkan pemanafaatannya antara lain untuk: kesehatan, pengembangan pendidikan (keilmuan). kegiatan-kegiatan sosial (charity), dan kegiatan politik dan militer, Masing-masing keleompok tersebut tentu saja memiliki beragam cara dan teknik dalam mempergunakannya. Dalam sejarah Islam kita dapat menyebutkan beberapa kasus pemanafaatan wakaf untuk kepentingan-kepentingan tersebut sebagai berikut.
a. Wakaf untuk Pengembangan Ilmu dan Pendidikan
Selain wakaf untuk tempat ibadah, bentuk pemanfaatan wakaf untuk kepentingan yang paling banyak dan paling penting dalam sejarah Islam adalah pemanfaatan wakaf untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan penyebarluasannya melalui lembaga-lembaga pendidikan. Wakaf dengan kegunaan ini sudah dilakukan sejak masa Rasulullah Saw. di mesjid Nabi di Madinah Al-Munawwarah. Masjid beliau ini bukan hanya digunakan untuk peribadahan semata-mata. Lebih dari itu, masjid beliau sejak pertama kali didirikan digunakan untuk membina umatnya. Beliau mengajarkan kembali wahyu Allah Swt. yang turun kepadanya kepada para sahabat secara rutin di masjid ini. Paling sering kegiatan ini dilakukan selepas shalat Maghrib menjelang Isya; atau bisa juga pada waktu-waktu yang lain. Setelah umat Islam berkembang tidak hanya di sekitar Madinah, masjid-masjid di berbagai tempat pun digunakan oleh para sahabat sebagai pusat pengajaran Islam.
Masih pada zaman Nabi Saw., di samping mesjid biasanya dibuat bangunan berupa ruangan-ruangan sederhana untuk mengajarkan kepada anak-anak kecil Al-Quran; juga baca tulis lainnya. Bangunan ini dikenal dengan nama kuttâb. Kuttab yang pertama didirikan pada zaman Rasulullah Saw. adalah yang dibuat di Mesjid Nabi Saw. sendiri. Pendiriannya diawali dengan peristiwa pembebasan tawanan Perang Badar. Rasulullah Saw. mempersyaratkan kepada mereka untuk mengajar membaca dan menulis masing-masing sepuluh orang anak. Di antara yang belajar baca-tulis kepada tawanan Perang Badar ini adalah Zaid ibn Tsabit. Tidak hanya untuk anak, Rasulullah Saw. juga membuat ruangan khusus di samping masjid untuk mereka yang secara khusus ingin belajar dari Nabi Saw. Tempat ini dikenal dengan nama al-shuffah sehingga para pelajar yang berada di sana sering disebut ashhâb al-shuffah. Di antara pelajar yang dikenal di sini adalah Abu Hurairah.
Atas dasar praktik pengembangan ilmu yang dicontohkan oleh Nabi Saw. ini, maka seiring dengan menyebarnya Islam ke berbagai penjuru dunia, didirikan pula mesjid-mesjid di seluruh pusat-pusat Islam baru. Sama juga seperti Masjid Nabi Saw., masjid-masjid baru inipun digunakan sebagai pusat berkumpulnya pada ulama dan ahli-ahli ilmu untuk belajar dan mengajarkan kembali ilmu-ilmu mereka. Bila masjid sudah tidak memadai, maka dibuat bangunan-bangunan di sampingnya. Di antara masjid-masjid yang dikenal dalam sejarah Islam yang juga merupakan pusat-pusat ilmu antara lain: Masjid Al-Haram di Mekah, Masjid Al-Aqsha di Palestina, Masjid Al-Azhar di Mesir, Masjid Qairuwan dan Masjid Zaitunah di Tunisia, Masjid Qarawiyyin di Maroko, Masjid Umawy di Damaskus, Masjid Naisabut di Iran Timur, Masjid Herat di Afghanistan, Masjid Cordova di Andalusia dan lainnya. Masjid-masjid ini dalam perkembangannya kemudian menjadi universitas-universitas yang besar dan disegani di dunia.
Selain wakaf yang asalnya hanya masjid yang kemudian dikembangkan menjadi sekolah-sekolah dan universitas-universitas, ada juga madrasah-madrasah yang khusus didirikan untuk pusat pengembangan dan penyebarluasan ilmu. Madrasah yang mula-mula dibangun di luar masjid adalah Madrasah Nizhamiyyah. Madrasah ini didirikan pertama kali atas wakaf dari wazir Bani Abbasiyah Nizhamul-Muluk. Setelah diinisiasi oleh Nizhamul Muluk, kemudian penguasa-penguasa lain di berbagai belahan dunia Islam pun ikut meniru mewakafkan sebagian kekayaan mereka untuk mendirikan sekolah-sekolah Islam seperti Nuruddin Zanki di Mesir yang mendirikin Madrasah Zankiyah dan Shalahuddin Al-Ayyubi yang mendirikan Madrasah Ayyubiyah di Damaskus.
Bukan hanya madrasah, pusat ilmu dan pendidikan juga berupa perpustakaan yang menghimpun banyak sekali buku-buku yang sangat penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Tradisi perpustakaan ini sudah ada sejak zaman Umar ibn Khattab. Akan tetapi yang secara khusus membuat perpustakaan besar dan membiayai pengadaan buku serta riset-riset di sana adalah Harun Al-Rasyid seorang khalifah terkenal bani Abbasiyah. Ia mewakafkan hartanya untuk membangun Perpustakaan Baitul Hikmah di Baghdad. Perpustakaan ini dianggap sebagai prototipe awal universitas Islam yang modelnya dikembangkan di berbagai belahan dunia Islam.
Dalam hal wakaf untuk pengembangan ilmu dan pendidikan ini perlu diperhatikan bahwa wakaf bukan hanya untuk mendirikan bangunan-bangunannya. Dalam pendidikan, bangunan menjadi tidak ada gunanya sama sekali tanpa para guru (ulama) yang mengajar dan murid-murid yang belajar serta sumber-sumber belajar berupa buku-buku. Oleh sebab itu, dalam sejarah Islam, pembiayaan untuk pendidikan juga meliputi jaminan kehidupan untuk para guru, murid-murid, para penulis buku, hingga pencetakan buku-buku. Semua dibiayai dari wakaf-wakaf khairi dalam berbagai bentuk. Umat Islam mengumpulkan wakaf mereka di suatu lembaga khusus pengelola wakaf untuk kemudian digunakan sepenuhnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Inilah yang menyebabkan ilmu pengetahuan dalam Islam berkembang sangat pesat. Hampir semua orang yang memiliki harta memberikan perhatian pada lembaga-lembaga pengembangan ilmu dan pendidikan ini dengan menyerahkan wakafnya untuk tujuan ini. Dengan wakaf inilah para ulama yang mengkhususkan hidupnya untuk menggali ilmu dapat dibiayai kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmu pun, asal punya keinginan kuat dan kemampuan, dapat memilih ulama atau madrasah mana saja yang ia ingin datangi tanpa khawatir tidak bisa membayar. Sebab, umumnya sekolah-sekolah yang ditopang oleh wakaf kaum Muslim tidak memungut bayaran dari murid-murid. Para penulis buku pun bisa berkonsentrasi untuk terus membuat karya-karya baru tanpa harus memikirkan bagaimana dia bisa menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Wakaf juga diperuntukkan bagi para penulis buku.
b. Wakaf untuk Kegiatan-Kegiatan Sosial
Selain untuk kegiatan pendidikan yang memakan porsi paling besar dalam sejarah pendayagunaan wakaf dalam Islam, wakaf juga digunakan sebagai “jaring pengaman sosial”. Wakaf digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan sosial yang sifatnya charity (kebaikan untuk sesama). Salim Hani Mansur mencatat beberapa jenis pedayagunaan wakaf untuk kepentingan sosial yang ia dilakukan di berbagai negeri Muslim sebagai berikut. Di Maghrib (Maroko dan sekitarnya) sudah menjadi kebiasaan mengumpulkan wakaf untuk menikahkan orang-orang fakir yang telah cukup umur. Alasan utama di balik penggunaan dana wakaf ini adalah sulitnya anak-anak orang miskin untuk menikah, terutama karena biaya mahar untuk calon istri yang sangat mahal. Oleh sebab itu, untuk menjaga kerusakan masyarakat karena tersebarnya perzinaan yang diakibatkan sulitnya sebagian anak muda untuk menikah.
Bentuk wakaf-sosial yang lain adalah pembagian makanan pokok seperti roti dan gandum bagi fakir-miskin. Model ini dilakukan di berbagai negara, terutama yang tingkat ekonomi masyarakatnya sangat rendah. Makanan pokok merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu, menjadi sangat penting menjamin sebagian masyarakat miskin agar mereka dapat makan setiap hari sehingga kerawanan sosial berupa pencurian dapat dihindarkan.
Model pendayagunaan lain yang dilakukan di Beirut Libanon adalah wakaf untuk mengganti perabotan yang pecah. Model ini dibuat karena banyak kasus para pembantu yang tidak sanggup mengganti perabotan majikan mereka. Ini sangat memeberatkan mereka. Mereka harus bekerja lebih keras untuk bisa mengganti perabotan-perabotan mahal yang mereka pecahkan. Untuk itu, ada lembaga-lembaga wakaf yang menyiapkan wakaf untuk keperluan itu. Bentuk wakaf sosial lainnya yang tercatat dalam sejarah antara lain: pembagian baju-baju untuk yang tidak berpunya, wakaf pekuburan, wakaf jalan, wakaf rumah sakit, wakaf jaminan para pengungsi, wakaf haji bagi yang tidak mampu biayanya, dan sebagainya.
Secara singkat, bila kita perhatikan model pendayagunaan sosial ini dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat di lingkungan masing-masing. Sistem sosial apa yang menjadi beban masyarakat, dalam bentuk itulah wakaf didayagunakan. Tujuannya adalah untuk menjamin keamanan sosial. Sebab, bila ada sebagian anggota masyarakat yang kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi akan sangat berpotensi menimbulkan kriminalitas dan kerawanan sosial lainnya. Oleh sebab itu, wakaf dalat dijadikan salah satu isntrumen untuk menanganinya.
c. Wakaf untuk Kepentingan Politik dan Militer
Peran wakaf dalam menunjang kegiatan-kegiatan politik sesungguhnya sangat besar. Di antara tujuan politik adalah mewujdukan kesejahteraan masyarakat. Wakaf tentu saja sangat membantu tujuan ini melalui fleksibilitas pendayagunaannya. Para penguasa yang peduli kepada masyarakatnya akan sangat terbantu meringankan tugas-tugas negara dengan didayagunakannya wakaf. Bahkan bagi masyarakat sendiri, wakaf ini secara tidak langsung memberikan perlindungan politik kepada masyarakat sendiri dari kesewenang-wenangan penguasanya. Wakaf mampu memperkuat posisi politik masyarakat di hadapan penguasanya. Dengan wakaf, masyarakat dapat menjadi lebih mandiri sehingga para penguasa tidak dapat sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Dalam hal ini tentu saja politik menjadi lebih sehat.
Wakaf itu sendiri dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan politik yang positif. Salah satu bentuknya adalah wakaf yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan organisasi kemasyarakatan dan organisasi keulamaan. Organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam di seluruh negara Islam hidup sepenuhnya dengan topangan wakaf. Begitu juga para ulama dijamin kehidupan mereka oleh wakaf dari masyarakat. Memang ada organisasi atau ulama yang kehidupannya dijamin oleh penguasa jumlahnya, tetapi jumlahnya tidak dominan. Inilah yang menyebabkan di dalam Islam kekuatan masyarakat masih dapat diharapkan untuk mengendalikan arah kekuasaan menjadi lebih baik. Para pemimpin umat Islam dan para ulama akan semakin independen dari kekuasaan karena mendapatkan sokongan sepenuhnya dari masyarakat. Mereka akan dapat menjadi penyambung lidah rakyat yang efektif.
Sementara itu, wakaf juga dalam sejarahnya sejak zaman Rasulullah Saw. banyak juga digunakan untuk kegiatan-kegiatan militer. Pada masa Rasulullah Saw. wakaf-wakaf untuk kepentingan militer ini bentuknya cukup banyak. Ada sahabat yang mewakafkan senjatanya seperti pedang, tombak, perisai, dan baju besi. Senjata-senjata itu kemudian disimpan oleh petugas-petugas khusus untuk digunakan dalam setiap pertempuran. Ada pula yang mewakafkan hartanya untuk kepentingan logistik lain yang dibutuhkan oleh para tentara yang akan perang. Semuanya dikumpulkan untuk dikelola secara khusus oleh lembaga-lembaga yang menangani wakaf militer ini. Model-model ini juga terus berkembang pada era kekhalifahan Islam selanjutnya. Oleh sebab itu, keterlibatan masyarakat dalam rangka bela-negara menjadi lebih intens dan muncul dari kesadaran masyarakat sendiri.
Kesimpulan
Demikian uraian singkat mengenai pendayagunaan wakaf dalam lintasan sejarah Islam. Penjelasan singkat ini tentu saja tidak dapat menjelaskan secara detail bagaimana wakaf digunakan. Akan tetapi, secara umum penjelasan singkat di atas dapat memberikan gambaran kepada kita mengenai beberapa hal penting. Pertama, wakaf merupakan salah satu bentuk sedekah yang disyariatkan dalam Islam yang pengelolaannya khas, tidak seperti sedekah lain yang tidak ada ketentuan dalam pengelolaannya. Kekhasannya terletak pada posisi wakaf yang tidak boleh menjadi milik perorangan, melainkan harus menjadi milik Allah Swt. menurut pendapat jumhur ulama. Wakaf juga dipersyaratkan pokoknya tidak boleh berubah. Oleh sebab itu, pengelola wakaf bukanlah pemiliknya, akan tetapi bertanggung jawab penuh untuk menjaga agar nilai pokok dari wakaf yang dititipkan padanya tidak berkurang. Ketentuan ini tentu saja berbeda dengan sedekah lainnya yang dapat diperlakukan secara bebas, bahkan dapat dihabiskan oleh penerima sedekah.
Kedua, wakaf yang nilai pokoknya tidak boleh berubah dengan demikian harus dikembangkan atau minimal dijaga pokonya agar tetap dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Ketentuan ini menimbulkan konskwensi kepada pengelola wakaf bahwa ia harus memelihara dengan baik dan mengembangkan wakaf tersebut agar produktif. Wakaf tidak boleh dibiarkan secara pasif sehingga tidak berdaya guna untuk kepentingan-kepentingan masyarakat.
Ketiga, bila wakaf ini sudah dipelihara dengan baik, maka pendayagunaan wakaf ini harus juga direncakan sedemikian rupa untuk melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat, terutama wakaf khairi yang tujuannya memang untuk kesejahteraan umum. Wakaf harus dirancang dapat menjamin pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan sosial lainnya. Wakaf juga dapat digunakan untuk kepentingan politik dalam rangka menguatkan dan menyehatkan politik di suatu negara agar berjalan menuju tujuannya yang ideal. Wakaf juga dapat digunakan untuk menopang kebutuhan-kebutuhan militer yang sangat penting untuk menjaga keamanan dan pertahanan suatu negara. Wallahu A’lamu bi Al-Shawwâb.