Perang Terminologi terhadap Islam

oleh Reporter

31 Januari 2018 | 05:31

Setiap Nabi yang diutus Allah pasti memiliki musuh-musuh baik dari jenis syaitan manusia dan jin. Sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah –زخرف القول- untuk menipu manusia. Perkataan indah tersebut tetapi maksud dan tujuanya penuh dengan tipu daya yang saat ini dikenal dengan term war (perang istilah). Hal ini adalah bukanlah sesuatu yang baru karena sejak 14 abad yang lalu al-Qur’an telah membahasnya (lihat : al-Anaa’m : 113). Dari sekian term war misalkan kata riba diganti dengan bunga, zina diistilahkan dengan dalih kebebasan individu, ikhtilat laki-laki dan perempuan dipandang dengan berkemajuan dan peradaban modern, musik dan lagu yang mengedepankan kekejian dan syahwat disebut dengan seni dan pelakunya disebut dengan seniman dan mega bintang. Pakaian yang mempertontonkan aurat disebut mode, dan minuman keras (khomer) disamarkan dengan sebutan minuman alkohol atau minuman ruhani. Berkaitan dengan ini Rasulullah SAW pernah bersabda : «ليشرب أناس من أمتي الخمر يسمونها بغير اسمها» Arinya : “Sebagian umat manusia dari pengikutku pasti akan meminum khomer yang mereka namakan (minuman itu) bukan dengan sebutan sebenarnya”. Hadist diriwayat Ahmad dan Abu Dawud. Yang paling terkini adalah terminologi tentang penerapan syariat Islam dan penegakkan hukum-hukum Allah dikerangkakan dengan keterbelakangan dan ketinggalan zaman. Pelecehan tehadap Islam dan Nabi Muhammad dengan alasan kebebasan berekspresi. Sementara berpegang teguh kepada nash al-Qur’an dan as-Sunnah dituduhkan sebutan fundamentalisme Islam dan “pemikiran” salafi. Perang istilah terhadap Islam dengan mengunakan terminologi terbalik secara terang-terang dan kasat mata disayangkan hal itu banyak diadopsi oleh pemikir dari kalangan umat Islam itu sendiri. Dalam masalah Palestina, penjajahan Yahudi terhadap negara yang pernah menjadi tempat tujuan isra dan mi’rajnya Rasulullah dengan propaganda hak pengakuan menderikan negara penjajah dengan dalih atas nama “perdamaian yang adil, komprehensif dan abadi”. Sebaliknya menjaga dan mempertahankan bait al-Maqdis dianggap sebagai musuh terhadap usaha perdamain dan telah melenceng dari tatanan legitimasi internasional. Istilah term war “membangun angkatan bersenjata negara sahabat” dengan dalih atas nama “tatanan dunia” dengan mendirikan pangkalan perang negara Barat di beberbagai negara muslim sangat sebagai upaya hegomoni Barat terhadap daratan, lautan dan udara karena dengan ada pangkalan perang Barat akan memudahkan untuk menguasai kekayaan negara Arab dan muslim. Saat ini ada umat Islam tampaknya tidak sedikit yang tabu dan malu-malu mengunakan kata jihad karena dicap sebagai fundamentalis atau teroris dan didentikan dengan kelompok ISIS. Bahkan Barat berupaya menekan dan mendikte para pemimpin Arab, termasuk Universitas Islam terkemuka al-Azhar di Mesir agar tidak memuat materi tentang jihad dalam kurikulumnya. Hal tersebut sengaja musuh Islam hembuskan agar mudah menguasai dan menjajah negara-negara Islam. Tetapi umat Islam tidak tunduk dengan tekanan dan pesanan Barat itu karena jihad adalah ajaran pokok muamalah Islam yang diperbolehkan untuk dilakukan pada saat umat Islam didholimi, atau pada saat negara Islam dijajah, maka jihad mengangkat senjata sebagaimana para pendahulu kita ketika mengusir para penjajah Belanda dan Jepang dari bumi pertiwi adalah sebuah keniscayaan. Dewasa ini di Indonesia, istilah kafir yang ditujukkan kepada non-muslim oleh sebagian umat Islam supaya ditinjau ulang saat disampaikan di mesjid-mesjid, majlis taklim, tempat pengajian dan lainnya karena dengan terminologi itu dianggap menyingung kelompok lain dan bahkan mendiskriditkan mereka. Sangat disayangkan hal tersebut disuarkan oleh sebagian umat Islam dan mencari pembenaran tanpa berupaya memahamkan kepada non-muslim tentang makna dan tujuan istilah kafir yang sebenarnya dalam Islam. Bukankah dalam terminologi agama lain seperti kristen memiliki terminologi agamanya, misalkan pangilan kepada selain umat kristiani dengan sebutan “domba-domba yang tersesat”. Dengan terminologi Kristen itu penulis dan juga pembaca mungkin tidak tersingung karena itu istilah dalam agama mereka, maka untuk itu sudah seharusnya mereka juga tidak tersingung dengan terminologi Islam karena semua agama memiliki kekhususan terminologinya masing-masing. Akhirnya, maka seorang muslim harus sadar dan memperhatikan terhadap war term dan khususnya dalam memahami istilah baru, juga umat Islam harus konsisten dalam penggunaan istilah dan terminologi agama. Selain itu ketika berinterkasi dengan media sosial kewaspadaan kita harus ditingkatkan karena terkadang istilah yang dihembuskan seperti madu tetapi sebenarnya racun dan bisa. Untuk itu di Persatuan Islam (Persis), terminologi Islam tetap dipertahankan dan seharusnya ditingkatkan sebagaimana pengunaan istilah jihad yang berarti menurut Persis adalah masa bakti adalah suatu hal yang positif. Sepengetahuan penulis, tidak ada Ormas Islam di dunia manapun termasuk di Indonesia yang menggunakan kata jihad dalam menjalankan program jamiyahnya kecuali Persis. Wallahu a’lamu bisshowab.   *** Penulis: Arip Rahman
Reporter: Reporter Editor: admin