Jakarta - persis.or.id, Persistri sampaikan kegelisahan kaum Ibu dalam menghadapi teror kejahatan seksual pada sidang Judical Review pasal kesusilaan KUHP pada hari kamis (08/9) di Gedung Mahkamah Konstitusi.
Terlebih dahulu perkenankan Persistri untuk memperkenalkan organisasinya. Persatuan Islam Istri (PP Persistri) adalah bagian otonom dari ormas yang bernama Persatuan Islam (Persis) yang didirikan di Bandung pada tanggal 12 September 1923. Persis merupakan Badan Hukum Indonesia yang telah memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang disebut Qanun Asasi dan Qanun Dakhili serta telah mendapat Keputusan Menteri Hukum dan HAM dengan Nomor AHU-0000252.AH.01.08.TAHUN 2016. Salahsatu pimpinan Persistri adalah Bapak Moechammad Natsir (alm) yang telah mendapat gelar Pahlawan Nasional. Organisasi Persistri bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan.
Persis telah memiliki anggota serta kepengurusan di hampir seluruh propinsi di Indonesia. Jenjang kepengurusan Persistri mulai dari tingkat nasional disebut Pimpinan Pusat (PP), tingkat propinsi disebut Pimpinan Wilayah (PW), tingkat kabupaten/kota disebut Pimpinan Daerah (PD), tingkat kecamatan disebut Pimpinan Cabang (PC), tingkat desa/kelurahan disebut Pimpinan Ranting (PR), dan tingkat pemukiman disebut Pimpinan Jamaah (PJ).
Persistri sebagai bagian otonom dari Persis didirikan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1936 berkedudukan di Jalan Kalipah Apo 145/22 C Bandung 40241. Persistri berusaha membantu pemerintah dengan meyelenggarakan pendidikan bagi anak usia dini dan perempuan dewasa di atas 30 tahun atau sudah menikah. Persistri telah memiliki PAUD yang tersebar di berbagai propinsi. Dalam bidang pembinaan bagi perempuan dewasa, Persistri menyelenggarakan dakwah dan kajian di berbagai majlis taklim serta menyelenggarakan pendidikan non formal dan telah tersebar lebih dari 1300 tempat. Tujuan Persistri adalah agar masyarakat muslimah Indonesia menjadi perempuan shalihah sehingga terbentuk keluarga sakinah yang pada gilirannya mewujudkan ketahanan keluarga sebagai pondasi negara yang berkualitas.
Persistri mengajukan permohonan sebagai pihak terkait tidak langsung, selanjutnya disebut sebagai “pihak terkait” dalam Perkara Nomor: 46/PUU-XIV/2016 Permohonan Pengujian Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa Persistri sangat berkepentingan dengan pokok perkara yang sedang diuji. Permohonan yang diajukan Persistri dalam perkara di atas sangat terkait dengan kegiatan yang Persistri laksanakan baik pembinaan terhadap anak usia dini maupun pembinaan terhadap perempuan dewasa. Perzinaan yang dilakukan oleh orang yang tidak menikah, hubungan sesama jenis baik sesama orang dewasa maupun sesama anak-anak sudah menjadi teror kejahatan seksual yang sangat meresahkan bagi ketahanan keluarga yang berkualitas.
Demikian pula pemerkosaan yang dilakukan terhadap laki-laki. Bunyi pasal-pasal tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Dasar Negara Republik Indonesia yang Berketuhanan Yang Maha Esa dan tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Indoynesia Tahun 1945 terutama Pasal 28B, Pasal 28G, dan Pasal 28J. Dengan demikian, permohonan para Persistri dalam perkara di atas menurut pandangan Persistri sudah tepat.
Persistri berusaha mensosialisasikan perundang-undangan Negara Indonesia agar anggota Persistri khususnya dan masyarakat pada umumnya taat hukum yang berlaku di Indonesia. Dari berbagai pengalaman mengadakan sosialisai dan kajian hukum tentang kejahatan terhadap kesusilaan yang diatur oleh KUHP khususnya Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292, Persistri menyimpulkan bahwa pasal-pasal tersebut merupakan pasal yang tidak layak disosialisasikan. Masyarakat yang semula tidak mengira ada pasal-pasal yang sungguh bertentangan dengan persepsi dan nilai-nilai yang mereka anut sejak lama secara turun temurun, semuanya memberikan reaksi yang negatif, mulai dari terbengong-bengong keheranan, mencibir, memaki, bahkan geram dan marah.
Sudah tercatat dalam sejarah hukum bahwa sebelum Christian Snouck Hurgronye mengemukakan pendapatnya pada 1893, di kalangan ahli hukum dan ahli kebudayaan Hindia Belanda dianut suatu pendapat yang mengatakan bahwa di Indonesia berlaku Hukum Islam. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Solomon Keyzer (1823-1868), seorang ahli bahasa dan ahli kebudayaan Hindia Belanda. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Lodewijk Willem Christian (LWC) van Den Berg (1845-1727), seorang ahli hukum Belanda. Ia mengatakan bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya.
LWC van Den Berg mengatakan bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan tidak hanya bagian-bagian hukum Islam. Pendapat van Den Berg ini disebut teori receptio in complexu. Pendirian Peradilan Agama pada tahun 1882 besar kemungkinan dipengaruhi oleh pemikiran Mr. Scholten van Oud Harlem. Berdasarkan pola pemikiran tersebut pemerintah VOC meminta kepada D.W. Freijer untuk menyusun suatu compendium (intisari atau ringkasan) yang memuat hukum perkawinan dan kewarisan Islam.
Setelah disempurnakan oleh para penghulu dan ulama Islam, kitab hukum tersebut diterima oleh VOC (1760) dan dipergunakan oleh pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah-daerah yang dikuasai VOC. Kitab hukum ini dalam kepustakaan terkenal dengan nama compendium Freijer. Selain kitab tersebut, terdapat pula kitab hukum Muharrar karangan ar-Rafi’i yang memuat sebagian besar hukum pidana Islam.
Christian Snouck Hurgronye (1857-1936) sebagai penasehat Hindia Belanda urusan Islam dan bumiputera sangat menentang teori receptio in complexu yang dikemukakan oleh LWC van Den Berg, kemudian mengemukakan suat teori yang dikenal dengan teori receptie. Teori ini dikembangkan secara sistematis dan ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven dan Betrand ter Haar.
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa keberlakuan hukum Islam di Indonesia secara konstitusional memiliki tiga dasar.Pertama, dasar filosofis. Ajaran Islam merupakan pandangan hidup, cita-cita, dan landasan moral umat Islam di Indonesia sehingga memiliki peran penting bagi terciptanya norma fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, dasar sosio-historis.
Perjalanaan sejarah umat Islam di Indonesia membuktikan bahwa cita-cita hukum dan kesadaran hukum yang berdasarkan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan. Ketiga, dasar yuridis. Pasal 24, 25, dan 29 UUD 1945 memberi ruang terbuka bagi keberlakuan hukum Islam secara legal-formal.
Berdasarkan pendapat Hazairin, menurut Ichtijanto teori resepsi telah atau harus dinyatakan hapus (keluar) dengan berlakunya UUD 1945. Ini dibut teori Receptie Exit yang lahir setelah kemerdekaan Indonesia dan diundangkan UUD 1945. Intinya bahwa teori Receptie yang terdapat di dalam Pasal 134 ayat 2 IS secara otomatis sudah tidak berlaku setelah diberlakukan UUD 1945.
Manusia berasal dari Tuhan, diciptakan oleh Tuhan, dan akan kembali kepada Tuhan. Kenapa harus membenci hukum Tuhan lebih percaya kepada teori hasil pemikiran manusia daripada aturan ciptaan Tuhan ? kita sudah saksikan bersama betapa semakin hari semakin terbukti kekuasaan Tuhan tidak ada yang dapat menandingi apalagi mencegah.
Ajaran atau faham yang selalu menyepelekan aturan Allah telah merugikan hak konstitusional Umat Islam karena tidak dapat meyakini ajaran agamanya secara utuh.
Terjadinya kejahatan seksual berupa penjualan anak-anak laki-laki kepada guy karena genusnya tidak dilarang. Yang harus dilarang itu genusnya yaitu zinanya itu sendiri. Hubungan kelamin baru boleh dilakukan bila melalui perkawinan.
Jangan dibayangkan bahwa apabila Pasal 284 diubah, maka orang-orang yang sudah melakukan perbuatan tersebut sebelum Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Persistri dapat dipidana. Hukum Pidana tidak berlaku surut. Nulum dilectum Nulla peona siene praevia lege poenali sebagaimana diatur dalam Pasal 28I (1) UUD 1945. Hal ini sejalan dengan prinsip Islam yang disebut rukn al-syar’i.
Selain itu, Hukum acara Pidana Islam terutama tentang pembuktian perzinaan sangat ketat. Orang yang dapat dipidana terkait dengan perzinaan dalam Islam hanyalah orang yang berani melakukan zina di hadapan empat orang saksi bukan yang zina sembunyi-sembunyi. Pengakuan dari pelaku masih harus diklarifikasi kebenarannya. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Saw ketika ada orang yang mengaku telah berbuat zina dan minta ditegakkan hukuman kepadanya. Rasulullah Saw selain beberapa kali memalingkan muka, beliau bertanya kepada orang tersebut: “barangkali kamu cuma meraba saja, barangkali pikiranmu sedang tidak sehat ?”
Hasil FGD antara PP Persistri dengan dosen Fakultas Syariah Unisba ditemuan bahwa ketika menjelaskan pasal-pasal tersebut kepada para mahasiswa menjadi pasal yang bertentangan dengan hati nurani dan menjadi bahan tertawaan mahasiswa. Ketika mereka bertanya dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario yang hasilnya bahwa hubungan kelamin antara yang belum menikah itu tidak melanggar undang-undang asalkan suka sama suka. Perempuan memperkosa laki-laki tidak melanggar undang-undang. Perbuatan cabul sesama jenis kelamin asal sama-sama dewasa atau sama-sama anak-anak itu tidak melanggar undang-undang.
Bagi seorang pendidik tentu saja masalah ini menjadi beban moral yang sangat berat dan harus menjelaskannya dengan panjang lebar. Jika tidak demikian maka dikhawatirkan para mahasiswa kita yang notabene merupakan generasi harapan bangsa akan hancur dan dimurkai Allah Swt.
Perbuatan cabul sama kelamin.
Indonesia saat ini sudah darurat LGBT mengingat perilaku menyimpang tersebut dilakukan sudah tanpa malu dan tidak bersifat pribadi bahkan sudah menyasar kepada anak usia SD dan pra sekola. Yang lebih menghawatirkan, LGBT kini menjadi gerakan yang salahsatunya mengarah kepada keinginan mengubah tatanan hukum, budaya, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Perilaku LGBT mengusik rasa aman dan ketertiban masyarakat.
Sudah menjadi trend menakut-nakuti masyarakat dengan sanksi yang ada dalam hukum pidana Islam. Sadar atau tidak sadar bahwa cara berfikir seperti itu sudah memposisikan masyarakat sebagai calon penjahat bukan sebagai masyarakat yang akan terlindungi dengan hukum tersebut.
Alangkah teganya orang tua yang memposisikan anaknya sebagai calon pendosa, sebagai calon pelaku kejahatan. Bukannya seharusnya orang tua memiliki tekad yang kuat agar anaknya memiliki pandangan yang sama terhadap suatu kejahatan, bahwa kejahatan tetaplah kejahatan. Mari kita hentikan memposisikan anak kita, keluarga kita sebagai calon pelaku kejahatan, mari kita ganti/ubah menjadi dengan doa agar anak dan keluarga kita menjadi orang soleh. Keluarga yang baik akan berusaha sekuat kemampuan untuk menjaga anaknya agar hidup secara benar dan wajar.
Kesalehan anak harus dimulai dari kesalehan orangtuanya. Perilaku dipengaruhi oleh pandangan hidup. Pandangan hidup berketuhanan akan meluluhkan hati dan pikiran sehingga tunduk kepada hukum Tuhan.
Telah banyak penelitian bahwa perilaku seks yang tidak benar dapat menyebabkan pelakunya terjangkiti penyakit berbahaya. Pengakuan tentang adanya hasil penelitian bahwa tingginya penularan HIV AIDS di Indonesia disebabkan tabunya membicarakan penggunaan kondom, ini merupakan penelitian yang dikatarbelakangi dengan pemahaman bahwa zina tidak dilarang, bukan mencari penyebab aslinya.
Mari kita syukuri nikmat kemerdekaan dengan mencintai karya bangsa sendiri termasuk dalam masalah hukum bukan mempertahankan produk kolonial yang nyata-nyata bertentangan dengan nilai-nilai bangsa sendiri.
Idealnya suatu undang-undang itu disosialisasikan agar masyarakat tahu hukum walaupun berlaku teori ficti hukum. Pasal 284 tidak layak disosialisasikan dan sampai saat ini tidak secara sengaja disosialisasikan karena memang tidak pantas dan tidak layak disosialisasikan.
Bayangkan saja kalau ada orang tua yang menasehati anaknya agar tidak melakukan hubungan kelamin yang tidak benar, kemudian anaknya mengatakan: “Pa! Bu! yang dilarang berzina oleh undang undang itu bapa dan ibu yang sudah menikah. Saya yang belum menikah tidak dilarang, jadi biarkanlah mungpung belum menikah, yang penting rido sama rido. Pa! Bu! Hubungan sesama jenis yang diarang itu kalau orang dewasa terhadap anak, sesama dewasa dan sesama anak-anak tidak dilrang undang undang”.
Mungkin kelompok yang tidak sependapat dengan Persistri mengatakan bahwa di samping ada norma hukum kan ada norma lain. Tidak semua aturan hidup harus diangkat ke undang-undang. Di sini mereka ambigu memakai standar ganda. Suatu saat kalau ada pelaku kejahatan kesusilaan yang mendapat hukuman soaial, mereka akan mengatakan: “Kan tidak melanggar undang undang”. Bahkan tidak mustahil ke depan mereka akan menjadi pembela muda-mudi yang mendapat sanksi sosial akibat melakukan perzinaan. Pembelaan kemungkinan dilakukan di depan sidang pengadilan dengan tuntutan mempidanakan masyarakat yang memberikan sanksi soaial.
Mengenai alasan bahwa saat ini rancangan KUHP sedang dibahas, Persistri memiliki pengalaman belasan tahun. Persatuan Islam, Universitas Islam Bandung (Unisba) dan beberapa partai telah menyelenggarakan semiloka Nasional yang menghasilkan draft KUHP yang diberi nama KUHP harapan umat pada awal masa multi partai tahun 2001. Persistri terlibat di dalamnya. Diantara pasal yang paling banyak mendapat perhatian selain pasal penghinaan terhadap agama adalah pasal mengenai perzinaan. Draft KUHP harapan umat tersebut telah diserahkan kepada fraksi di DPR. Setelah lima belas tahun lamanya, sampai saat ini DPR masih belum selesai merumuskan KUHP nasional. Entah berapa lama lagi Persistri harus menunggu. Sementara menunggu, entah berapa banyak lagi tragedi akan terjadi, berapa banyak lagi korban akan berjatuhan.
Mahmud Syaltut mengemukakan ada lima hal berkaitan kebutuhan primer manusia yang dilindungi Hukum Islam, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Perilaku sex menyimpang telah menghancurkan tatanan agama bukan saja agama Islam. Tidak ada agama yang membolehkan perilaku sex menyimpang tersebut. Mengenai perlindungan terhadap jiwa, banyak pembunuhan terjadi karena diawali dengan perzinaan baik itu dilakukan oleh yang sudah menikah maupun yang belum menikah.
Mengenai perlindungan akal, perilaku sex tidak benar menimbulkan ketagihan yang berarti dapat mengganggu fungsi otak. Berkaitan dengan perlindungan terhadap keturunan, perzinahan dapat melahirkan anak yang rentan dengan kekerasan dan penelantaran, perilaku sex tidak benar merusak moral bangsa dan generasi muda. Mengenai perlindungan harta, berapa banyak pemerintah harus mengeluarkan biaya demi mengobati penyakit menular dan membahayakan akibat dari persetubuhan tidak sehat baik itu berganti pasangan maupun sesama jenis. Penyakit ini menyerang tidak pilih bulu hanya kepada yang sudah menikah saja. Beban biaya negara bertambah dengan harus menyediakan dana untuk memelihara kesehatan para pengidap penyakit akibat perzinaan.
Larangan melakkan hubungan kelamin yang tidak benar adalah karunia Allah Swt bagi manusia sebagai makhluk-Nya yang paling mulia. Firman Allah Swt di dalam Surah Al-Nur: 10 mengakhiri firman-Nya tentng aturan perzinaan menyatakan :”Sekiranya bukan karena karunia dan kasih sayang Allah kepadamu . . . ” ini maksudnya adalah manusia dilarang melakukan hubungan seksual yang tidak benar adalah semata-mata merupakan karunia dan kasih sayang Allah kepada seluruh manusia. Tinggal terserah kepada manusia itu sendiri apakah mau diberi karunia dan mau disayangi atau tidak.
Masayarakt banyak yang mempertanyakan kenapa undang-undang yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia itu tidak diubah, memangnya tidak bisa diubah ? Kini saatnya bagi Mahkamah Konstitusi untuk dapat mrealisasikan harapan jutaan umat yang ingin hidup normal dan nyata-nyata agamis sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Tahun 1945.
Jika setelah uji materil ini Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Persistri, maka akan semakin menjadi kekuatan dan alat pembenar bahwa perzinaan bagi yang belum nikah, hubungan sesama jenis kelamin selama tidak dilakukan terhadap anak, dan perempuan memperkosa laki-laki itu diakui sebagai perilaku normal.
Muhtar Kusumaatmadja pernah mengatakan bahwa hukum itu selain bisa menjadi alat kontrol sosial (sosial control) juga bisa menjadi alat rekayasa sosial (social enginereeng) menuju sesuatu masyarakat yang dicita-citakan. Kita diberi pilihan apakah mau merakayasa masyarakat agar menjadi pezina, homo lesbi, dan membiarkan perkosaan terhadap laki-laki atau akan mengembalikan manusia kepada fitrah dan martabatnya.
Persistri berkeyakinan bahwa Pasal Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan dimana Allah SWT melarang dengan tegas perbuatan zina, homoseksual dan segala bentuk kejahatan dan penyimpangan seksual, demi menjaga kehormatan dan harkat martabat manusia serta menjaga kejelasan keturunan. Jika selama ini dikatakan negara ini bukan negara Islam memang betul adanya, namun dengan nafas, darah, perjuangan, serta doa para ulama dan pejuang terdahulu negara Indonesia ini dapat merdeka. Jangan sampai hal ini menjadikan Indonesia kembali dijajah dengan invansi pemikiran import barat tentang kebebasan yang tanpa batas.
Hasil FGD antara PP Persistri dengan dosen Fakultas Syariah Unisba didapat kesimpulan bahwa perkosaan tidak lagi dilihat sebagai persoalan moral semata-mata (moral offence), di dalamnya juga mencakup masalah anger and violence, yang dianggap merupakan pelanggaran dan pengingkaran terhadap hak-hak azasi manusia, khususnya hak-hak wanita namun tidak terkecuali laki-laki. Dalam Al-Qura’an Allah Ta’ala menceritakan dimana Nabi Yusuf as pun pernah ‘dijebak’ oleh godaan perempuan, hal tersebut menjadi salah satu contoh bahwa tidak hanya perempuan saja yang menjadi korban perkosaan namun bisa pula menimpa pada laki-laki, sehingga selayaknya hukum dapat melindungi keduanya baik laki-laki maupun perempuan dalam masalah kesusilaan ini.
Demi memenuhi rasa keadilan dan menimbulkan efek jera (jawazir) dalam hukum bukan hanya membuat seseorang penindak kejahatan menjadi baik kembali tanpa memutus rantai kejahatan tersebut, maka diperlukan sebuah ancaman dan sanksi yang jelas. Darurat kejahatan seksual di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan sehingga perlunya kembali membangun nilai moral dan kesadaran masyarakat sesuai dengan isi pembukaan Undang Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 bahwa negara kita berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta menjadikan segenap rakyat Indonesia sebagai manusia yang adil serta ‘beradab’. Jika perzinaan, homoseksual, pedofilia dan bentuk kejahatan seksual berkeliaran bebas tanpa ada jerat hukum yang jelas menjadikan manusia terancam manjadi manusia yang tidak memiliki adab, karena dengan sesuka hatinya ia akan menumpahkan nafsu syahwatnya tanpa mengindahkan nilai moral, agama dan hukum.
Jika selama ini ada yang berpandangan bahwa dengan adanya pemidanaan pelaku kejahatan dan penyimpangan seksual akan menjadikan penjara penuh sehingga akan menghabiskan dana negara yang begitu banyak, hal tersebut merupakan kontruksi pemikiran yang salah dan tidak utuh. Darurat kejahatan seksual memiliki nilai madharat yang jauh lebih besar dari pada sekedar masalah kepadatan penjara. Perilaku sex yang tidak benar, selaian menimbulkan kemadharatan keamanan dan kehormatan yang terancam; juga dapat menimbulkan berbagai macam penyakit menular yang berbahaya yang akhirnya menguras biaya negara yang tidak sedikit. Perilaku sex yang tidak benar tersebut dapat mengakibatkan efek domino terhadap tindak kejahatan lainnya seperti prostitusi, pembunuhan dan banyak lagi.
Perumusan delik perzinaan yang hanya terikat oleh pernikahan, dalam konteks budaya Indonesia bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia serta bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama di Indonesia. Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bertentangan dengan jiwa dan ruh Pancasila dan UUD 1945 Pasal 28G karena tidak memberikan perlindungan terhadap keluarga, kehormatan, martabat, dan rasa aman serta bertentangan dengan Pasal 28J berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Perilaku seks tidak benar merupakan ancaman bagi ketahanan keluarga yang pada akhirnya akan mengancam ketahan bangsa.
Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, maka Persistri terkait tidak langsung memohon agar Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat mengabulkan uji materi No. Perkara: 46/PUU-XIV/2016, Permohonan Pengujian Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di atas atau memutus yang seadil-adilnya.