Seorang Gubernur merupakan seorang pejabat negara. Dalam suatu Negara Hukum Kebijakan, Kewenangan, dan Sikap dari seorang Pejabat Negara harus dibatasi dan diatur oleh Undang-undang.
Dalam hal Berbicara di dalam forum resmi, seorang Gubernur sebagai pejabat negara harus diberikan hak Imunitas selama masih dalam lingkup fungsi, hak dan kewenangannya.
Hak Imunitas adalah hak anggota lembaga perwakilan rakyat, para menteri, atau pejabat negara untuk membicarakan atau menyatakan secara tertulis segala hal di dalam lembaga tersebut tanpa boleh dituntut di muka pengadilan.
Saat ini sering kali media mengekspose sikap seorang pejabat negara yang melakukan inspeksi terhadap bawahannya dengan sikap amarah dan kata-kata yang bisa dinilai “tegas”.
Seperti Ibu Risma di Surabaya, Zumi Zola di Jambi, bahkan yang terakhir Ibu Iti Octavia Jayabaya Bupati Lebak (Banten), terekspose sedang meluapkan emosinya karena sebuah bangunan tanpa izin berdiri di atas lahan taman.
Di sisi lain jika kita berkaca kepada sikap dan prilaku terpidana mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang sering meluapkan emosinya dengan kata-kata kasar, cenderung dapat dikategorikan sebagai perbuatan tidak menyenangkan, atau pencemaran nama baik.
Dalam kacamata hukum berdasarkan Prinsip
Equality Before The Law (Kesamaan dihadapan hukum), sudah seharusnya hal tersebut dapat dipidanakan. Sebab apabila hal tersebut dilakukan oleh masyarakat biasa, hukum akan sangat tajam dalam menjangkau perbuatan tersebut.
Namun hal tersebut tidak pernah terjadi terhadap Ahok, artinya ada Hak Imunitas yang melindungi seorang Pejabat Negara dalam mengeluarkan sikap, tidak bisa asal dipidanakan begitu saja.
Pelaporan atas Pidato Anies karena menggunakan kata PRIBUMI, di dasarkan pada Inpres No 26 tahun 1998 tentang menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, dan Pasal 4 huruf b angka 2 junco Pasal 16 UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Kekuatan hukum Intruksi Presiden mengikat, tapi tidak terdapat sanksi pidana apabila melanggar, hanya sangat memungkinkan terdapat sanksi etik, namun sanksi etik tersebut juga tidak tertulis. Sehingga sebuah laporan pidana tidak dapat hanya disandarkan pada sebuah aturan hukum yang tidak terdapat didalamnya sanksi pidana.
Kemudian jika Pidato PRIBUMI tersebut di hubungkan dengan Pasal 4 huruf b angka 2 junco Pasal 16 UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Disana disebutkan:
Pasal 4
Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa:
- Menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:
- berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata- kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
Dalam pasal tersebut jelas diatur delik pidananya terletak pada
“Menunjukan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis” yang salah satu perbuatannya adalah
“Berpidato ditempat umum” bukan terletak pada
ada dan atau tidak adanya kata PRIBUMI. Berdasarkan hal ini saja kita sudah dapat membedah persoalan diatas, apakah bisa mengkaitkan larangan pada Inpres no 26 tahun 1998 pada pasal 4 UU No 40 tahun 2008, dan apakah unsur pidananya telah terpenuhi atau tidak.
Sebuah Laporan di kepolisian memang hak setiap warga negara, namun menindak lanjuti sebuah laporan bukan merupakan suatu kewajiban. Sebab Polisi dalam menindak lanjuti sebuah lapopran pidana, harus bersandar pada KUHAP, KUHP dan Undang-undang.
Pidato resmi Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta yang menyinggung kata PRIBUMI tidak dapat dipidanakan, tanpa bukti permulaan yang cukup.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 junco pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebab kata PRIBUMI tersebut apabila di fahami secara utuh, kalimatnya tidak mendriskriminasi siapapun.
Melainkan istilah PRIBUMI itu dipakai dalam ruanglingkup Sejarah. oleh karena itu seorang Anies dalam jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta harus diberikan Hak Imunitas, untuk tidak panggil, dan dimintai keterangan terkait laporan yang melaporkan Pidato dirinya sebagai seorang Gubernur DKI Jakarta.
Artinya, laporan atas Anies Baswedan terkait Pidato PRIBUMI mesti di tolak oleh pihak kepolisian, sebab tidak memenuhi bukti permulaan yang cukup.
Bandung, 18 Oktober 2017
Zamzam Aqbil Raziqin
Aktifis LBH PERSIS