Putusan MK : Logika Hukum vs Logika Religius

oleh Reporter

15 Desember 2017 | 08:13

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak Permohonan Judicial Review (JR) KUHP delik-delik kesusilaan pasal 284, 285 dan 292 dengan alasan;
  • MK tidak menolak pemikiran Pemohon,
  • Tetapi MK merasa tidak memenuhi syarat untuk melakukan perluasan atas delik-delik pidana.
  • Perubahan tersebut dinilai MK akan terlalu banyak mengubah sistem hukum pidana.
Putusan kasus ini sangat kental dengan nuansa logika hukum vs Logika religius, dengan perbandingan 5:4. 5 Hakim menolak JR dengan alasan MK tidak berwenang memperluas pasal. Sedangkan 4 Hakim dissenting opinion (memiliki pendapat berbeda) Hakim-hakim yang memberikan dissenting opinion termasuk Ketua dan Wakil Ketua MK. Yang Mulia Bapak Arief Hidayat, Bapak Anwar Usman, Bapak Wahiduddin Anwar dan Bapak Aswanto. Para Hakim yang memberikan dissenting opinion menyatakan bahwa upaya rekriminalisasi melalui putusan Pengadilan sejatinya juga bukanlah hal yang tabu atau diharamkan bagi hakim, sebab melalui judicial activism hakim ( khususnya hakim konstitusi) justru berkewajiban untuk menjaga, meluruskan, menyelaraskan hukum pidana dengan dinamika kehidupan masyarakat. Bahkan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) beranggapan bahwa memang ada kemungkinan arti satu kata atau pengertian yang dirangkumkan dalam perundang-undangan akan mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu, sehingga perbuatan yang dulu tidak tercakup. Sekarang justru masuk ke dalam rumusan delik tertentu, sehingga metode interpretasi harus dapat dilakukan oleh hakim guna menyelaraskan perkaitan antara masa lalu dengan masa kini. (die Verbindungen von Gedtern zu Heute herzustellen) (Jan Remmelik: 2003, hlm.56) Pasal 5 UU No.48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga memerintahkan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikutidan memahami nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Jika terdapat ketidaksesuaian antara norma UU dengan nilai nilai hulum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, maka hakim dan hakim konstitusi wajib mengikuti dan berpihak pada nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Diakhir pembacaan dissenting opinion, Para Hakim yang memberikan Dissenting Opinion mengatakan, maraknya perilaku main hakim sendiri yang selama ini dilakukan masyarakat terhadap pelaku hubungan seksual terlarang (baik dalam bentuk zina, perkosaan maupun honoseksual) justru terjadi karena nilai agama dan living law masyarakat di Indonesia tidak mendapat tempat yang proporsional dalam sistem hukum (pidana) Indonesia. Sehingga jika telah terdapat modifikasi norma hukum (legal substance) mengenai hal ini, maka diharapkan struktur (legal structure) dan budaya hukum (legal culture) masyarakat Indonesia dalam menyikapi fenomena perbuatan perbuatan a quo juga dapat berubah menjadi lebih baik. Dengan demikian, berdasarkan ratio decidendi sebagaimana tersebut diatas, kami berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya mengabulkan Permohonan Para Pemohon. Demikian menurut ke-4 Hakim MK yang memberika Dissenting Opinion. (/Feizal Syahmenan)
Reporter: Reporter Editor: admin