Santri dan Pesantren Sebagai Penjaga Moral Ummat dan Bangsa

oleh Ismail Fajar Romdhon

22 Oktober 2025 | 17:24

Arman Nurhakim Maulana - Bidang Pendidikan dan Kebudayaan PP Hima Persis

Santri dan Pesantren Sebagai Penjaga Moral Ummat & Bangsa

Arman Nurhakim Maulana - Bidang Pendidikan dan Kebudayaan PP Hima PERSIS



Krisis moral, degradasi nilai, serta lemahnya kepekaan sosial menjadi potret buram bangsa hari ini. Di tengah derasnya arus globalisasi, kemajuan teknologi, dan derasnya informasi yang tak terbendung, banyak generasi kehilangan arah dan identitas. Ukuran keberhasilan sering kali hanya ditentukan oleh materi, kekuasaan, dan popularitas. Nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, dan keberkahan hidup mulai pudar dari ruang publik.


Dalam kondisi inilah santri dan pesantren dituntut hadir bukan sekadar sebagai penonton perubahan, melainkan sebagai penjaga moral umat dan bangsa. Santri dengan karakter keilmuannya, keikhlasannya, dan militansinya terhadap agama, menjadi benteng terakhir bagi kelestarian nilai-nilai Islam di tengah tantangan zaman. Sebab, sejak awal sejarah Indonesia, pesantren tidak hanya menjadi tempat menuntut ilmu agama, tetapi juga menjadi pusat perlawanan, pendidikan karakter, dan pembinaan ruh kebangsaan.


Hari Santri bukan hanya peringatan seremonial, tetapi momentum untuk merefleksikan kembali peran besar santri dalam menjaga marwah umat dan mengokohkan moral bangsa.


Sejarah, Makna, Peran & Fungsi Santri


Istilah santri telah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka. Dalam konteks sejarah Nusantara, santri adalah murid yang menuntut ilmu di pesantren sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional yang berakar kuat dalam masyarakat. Di pesantren, ilmu bukan sekadar pengetahuan (ma‘rifah), tetapi cahaya yang menuntun kepada amal dan akhlak. Di sana, seorang santri dibimbing bukan hanya agar menjadi pandai, tetapi juga agar menjadi beradab.


Secara historis, pesantren telah memainkan peran sentral dalam membentuk watak bangsa. Dari para santri-lah lahir para ulama, pejuang, dan tokoh nasional. KH. HOS Cokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan, KH. Ahmad Hasan, KH. Ahmad Sorkati, KH. Hasyim Asy‘ari dan banyak tokoh lain adalah produk pesantren yang memperjuangkan kemerdekaan dan membangun karakter bangsa.


Peran santri dalam sejarah Indonesia bukan hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam ranah sosial, budaya, dan politik. Fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat menjadikannya garda depan dalam membina umat bukan hanya agar taat beragama, tetapi juga berkontribusi dalam pembangunan bangsa.


Santri sebagai Mu’allim, Muaddib, Mufakkir, Mujaddid, dan Muharrik


Santri hari ini harus mampu bertransformasi dalam berbagai peran strategis.


1. Sebagai Mu’allim (Pengajar):


Santri memiliki tanggung jawab menyebarkan ilmu dan cahaya kebenaran. Dalam konteks kekinian, santri harus tampil sebagai pendidik yang menanamkan nilai-nilai keislaman di berbagai ruang sekolah, masyarakat, bahkan dunia digital. Di tengah banyaknya hoaks dan degradasi pemikiran, santri dituntut menjadi sumber ilmu yang meneduhkan, bukan yang memecah-belah.


2. Sebagai Muaddib (Pendidik Akhlak):


Santri bukan sekadar menyampaikan ilmu, tetapi juga membentuk kepribadian. Ia meneladani Rasulullah ﷺ sebagai mu‘allim al-insaniyyah, pendidik kemanusiaan. Dalam situasi bangsa yang krisis keteladanan, santri harus menjadi contoh akhlak, kesederhanaan, dan kejujuran baik di lingkungan akademik, sosial, maupun politik.


3. Sebagai Mufakkir (Pemikir):


Santri mesti menjadi bagian dari barisan pemikir yang kritis, ilmiah, dan visioner. Mereka tidak boleh tenggelam dalam romantisme masa lalu, tetapi harus menafsirkan Islam dalam konteks kekinian. Dengan bekal ilmu syar‘i dan wawasan modern, santri dapat menjawab persoalan umat dengan hikmah, tanpa kehilangan ruh keislamannya.


4. Sebagai Mujaddid (Pembaharu):


Santri dituntut menjadi pembaharu bukan dalam arti meninggalkan tradisi, tetapi memperbarui semangat dan metode dakwah agar tetap relevan. Dalam dunia yang terus berubah, santri harus mampu menghadirkan Islam sebagai solusi peradaban, memperkuat nilai-nilai keadilan, keberkahan, dan kemanusiaan universal.


5. Sebagai Muharrik (Penggerak):


Santri bukan hanya berpikir, tetapi juga bergerak. Ia hadir di tengah masyarakat untuk melakukan perubahan nyata: mengajar, memberdayakan, menolong, dan menegakkan keadilan. Santri adalah khadim al-ummah pelayan umat yang menggerakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial dan kebangsaan.



Menjaga Identitas dan Simbol Keislaman


Di tengah modernitas yang sering mengikis nilai-nilai agama, santri wajib menjaga identitas keislaman dengan tegas. Identitas santri bukan sekadar sarung dan kitab kuning, tetapi cara berpikir, berakhlak, dan bersikap. Santri tidak boleh kehilangan izzah (kehormatan) dan tsabat (keteguhan) dalam menghadapi zaman.

Globalisasi menawarkan kemudahan dan kemajuan, tetapi juga membawa arus hedonisme dan sekularisasi. Maka, santri harus menjadi pribadi yang selektif, mengambil manfaat dari kemajuan zaman tanpa kehilangan akar tradisi. Menjaga simbol-simbol keislaman seperti adab, pakaian, bahasa, dan sikap adalah bentuk keteguhan terhadap nilai yang diwariskan ulama.


Totalitas & Militansi Santri terhadap Agama dan Bangsa


Santri adalah pejuang yang mengabdikan diri secara total untuk agama dan bangsa. Totalitas dan militansi inilah yang dahulu membuat mereka berani melawan penjajahan, menegakkan kebenaran, dan membela tanah air. Sejarah mencatat, Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 adalah bukti nyata bagaimana semangat keagamaan melahirkan keberanian kebangsaan.


Kini, tantangan santri bukan lagi penjajahan fisik, tetapi penjajahan moral, budaya, dan ideologi. Karena itu, semangat jihad santri harus terus hidup dalam bentuk kerja keras, keikhlasan, dan pengabdian di berbagai bidang. Santri harus tampil di ruang akademik, ekonomi, politik, dan sosial sebagai representasi nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.


Penutup


Santri dan pesantren bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi juga penentu masa depan bangsa. Mereka adalah penjaga moral, pelanjut perjuangan ulama, dan pengawal keutuhan umat. Di tengah berbagai krisis yang melanda, santri harus terus menyalakan lentera ilmu, akhlak, dan perjuangan.


Hari Santri Nasional adalah momentum untuk meneguhkan kembali bahwa santri tidak boleh absen dari panggung keumatan dan kebangsaan. Karena dari tangan-tangan santri yang ikhlas dan hati yang bersih, lahir peradaban yang penuh keberkahan.


"Santri hari ini adalah pewaris ulama, penjaga agama, dan penggerak bangsa. Jika santri kuat, maka umat akan bermartabat dan bangsa akan bermarwah."

BACA JUGA:

Dari Santri untuk Indonesia: Inisiator Riset Pertanian Sirkular Lahir dari Pesantren PERSIS